Tentu saja, kesempatan itu segera datang. Dalam perjalanan ke Kepulauan Riau bulan lalu, aku mendapatkan jawaban langsung darinya: "Di sana, saya dokter. Di sana, saya punya kedudukan yang baik. Di sana, saya melayani kemanusiaan juga. Namun ada yang kurang..." ujar Lie. "Mereka itu bukan saudara sebangsa setanah air. Itu yang membedakan."
Ah, jawabannya terdengar terlalu politically correct. Kalau saja aku tak menangkap ketulusan dalam suaranya, kuanggap pernyataannya mirip dengan jawaban para politikus. Tetapi...
"Itu jawaban politik," tiba-tiba Lie tertawa. Kemudian ia menyambung dengan perlahan dan sungguh-sungguh, "Sebelum menghembuskan napas terakhir, saya ingin melihat sila kelima dari Pancasila terwujud di negeri ini."
Jawaban yang terakhir ini terdengar begitu khidmat, sehingga getarannya mengalir seperti sebuah doa. Dan, ketika kutanya apakah panggilan terhadap pelayanan kemanusiaan sudah dirasakannya sejak kecil, Lie mengangguk.
Menjelang kelulusannya di SMP Pius di Padang, Lie kecil yang saat itu sudah yatim dan keluarganya hidup serba pas-pasan, dipanggil oleh kepala sekolah. Sang kepala sekolah ingin memasukkan Lie ke Sekolah Guru Atas (SGA) agar keluarganya tak terbebani biaya. Lie akan diberi beasiswa dan setelah lulus bisa langsung mengajar di Sekolah Dasar (SD). Tetapi, apa jawaban Lie kecil? Seperti tertulis di buku biografinya, Lie menjawab:
"Enggak mau, Menir. Saya nggak mau masuk SGA. Saya mau masuk SMA."
"Siapa bayar uang sekolahmu?"
"Nggak tahu, Menir. Pokoknya saya mau masuk SMA."
Lie memilih masuk SMA karena sejak kecil, sekitar umur tujuh tahun, ia sudah bertekad menjadi dokter. Kematian adik bayinya karena diare di pengungsian di masa krisis perang kemerdekaan, menjadi salah satu pendorongnya. Diare bukan penyakit mematikan. Tetapi tanpa obat-obatan dan tenaga kesehatan - penyakit sederhana pun dapat merenggut nyawa. Setelah ayahnya meninggal dunia, tekadnya menjadi dokter tak tergoyahkan lagi. Meski menerima banyak cibiran dan tertawaan, serta menghadapi berbagai rintangan berat, Lie pantang menyerah.
Selanjutnya, kehidupan Lie memang pantas dibukukan sebagai biografi yang sangat inspiratif. Mengapa? Karena semua jalan hidupnya sangat sulit dan nyaris tak mungkin dijalani kecuali ada keajaiban. Semua jalan seperti selalu buntu, hingga pada saat yang tepat tiba-tiba ada saja celah yang terbuka.Â