Mohon tunggu...
Laksito Hedi
Laksito Hedi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta di properti

hal terbesar bukanlah atas apa yang didapatkan, tetapi atas apa yang diberikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mahasiswa dan Peranannya di Masa Kini

17 Maret 2011   01:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:44 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sebuah survey yang diadakan harian Kompas pada Senin 14 Maret 2011 disebutkan bahwa masyarakat tidak mempercayai terhadap fungsi oposisi yang terdapat pada parpol-parpol di Parlemen. Masyarakat malah berpendapat bahwa fungsi oposisi telah dijalankan dengan lebih baik oleh lembaga-lembaga ekstraparlementer, yaitu (dengan persentase terbesar) adalah pers. Selain insane pers, survey menunjukkan bahwa masyarakat juga menilai organisasi mahasiswa telah menjalankan fungsi oposisi dengan baik dengan persentase sebesar 10,8 %.

Hal ini menarik, karena menandakan bahwa mahasiswa (dengan semakin terdegradasinya gerakan politik moralnya, baik secara substansi maupun aksi) masih diharapkan oleh masyarakat dalam mengawal opini mereka –walaupun secara persentase mungkin semakin mengecil -.

Kita yang saya maksud pada tulisan ini adalah kaum mahasiswa. Sebuah golongan social di tatanan masyarakat yang diberi banyak embel-embel julukan pada masa kejayaan heroiknya. Mulai dari middle class, agent of change, guardian of value sampai iron stock. Entah sejak kapan sebenarnya julukan-julukan tersebut seakan melekat pada identitas kaum mahasiswa, mungkin karena factor sejarah Indonesia yang pergerakan kemerdekaannya dimulai dari pemuda (yang distimulus oleh Sumpah Pemuda), atau mungkin memang pada dasarnya sudah begitu, mengacu pada gelora jiwa anak muda yang (seringkali) selalu mengagungkan semangat dan totalitas idealism. Dan disini seorang mahasiswa diposisikan sebagai kaum muda yang punya kelebihan pada sisi intelektualitas, yang menjadi pegangan dalam setiap melangkah dengan mengacu pada kebenaran ilmiah.

Sehingga pada tataran hubungan kemasyarakatan, kaum mahasiswa selalu dikaitkan dengan yang namanya gerakan rakyat. Entah apakah frase di atas masih relevan dipakai sekarang ini atau tidak, akan tetapi saya - dengan didukung beberapa fakta - masih meyakini bahwa di mata masyarakat, mahasiswa itu dipandang sebagai sebuah status social tersendiri dan dihormati.

Saya mencontohkan ketika pada beberapa kesempatan saya menyempatkan diri sekedar mengobrol-ngobrol santai dengan beberapa warga tempat saya tinggal di Bandung. Misalnya ketika saya belanja di toko kecil dekat kosan saya, entah kenapa tiba-tiba Bapak penjaga toko curhat ke saya “Wah tumben dek masih ada mahasiswa yang belanja di toko saya. Soalnya biasanya saya lihat mahasiswa lebih suka belanja di minimarket-minimarket itu”. Wah dalam hati saya merasa tersindir juga mendengarnya. Lain waktu ketika saya ngobrol-ngobrol dengan mas penjaga warung kacang ijo langganan saya, dia nyeletuk “Mas Tito, teman-teman mas gaya hidupnya itu gimana ya?”

Saya heran dia bertanya seperti itu dan balik bertanya. “Memang kenapa gitu Mas?”

Dia menjawab “Gak papa, pengin tau aja. Soalnya kan saya lihat mahasiswa sekarang makin kaya-kaya, jadi kayaknya udah gak mikirin nasib orang-orang kecil kayak saya gitu lho Mas!”

Saya berpikir ‘waduh, berat euy pernyataan dia’. Di satu sisi mungkin benar yang dikatakannya, tapi di sisi lain saya juga menemukan fakta bahwa banyak juga teman-teman saya yang tergolong the have yang tidak seperti yang ditudingkan. Tapi berangkat dari sini setidaknya kita bisa melihat pandangan beberapa orang yang menjadi bagian masyarakat menilai profil kita sebagai mahasiswa, terlepas dari benar atau tidak apa yang mereka persepsikan.

Saya juga menjadi ingat sebuah cerita ketika akan berangkat dari kota asal saya Malang menuju Bandung untuk masuk pertama kalinya kuliah di ITB. Seorang bapak penunggu kios koran langganan saya yang tahu bahwa saya akan kuliah di ITB tiba-tiba berpesan dalam bahasa Jawa ”Le, lek wis dadi mahasiswa iku berarti wis dadi wong gede, wong gede ora oleh lali karo uripe wong-wong cilik”. Pesannya itu kalau diartikan dalam bahasa Indonesia kira-kira punya arti ‘Nak, kalau sudah jadi mahasiswa itu berarti sudah menjadi bagian orang besar (sukses maksudnya), kalau sudah jadi orang besar tidak boleh lupa dengan hidupnya orang-orang kecil’. Saya yang waktu itu 50:50 level pahamnya cuma mengangguk-ngangguk saja.

Satu lagi, saya pernah diceritakan oleh teman saya dimana waktu itu dia mengobrol dengan seorang Ibu yang punya warung makan di Gelap Nyawang Barat. Ibu itu bilang ke teman saya “mahasiswa ITB sekarang kok kesannya sombong-sombong dan gak ramah ya, terus kayak sibuk sendiri di dalam kampusnya”.

Saya yang mendengar cerita ini langsung tertawa. Benar juga apa yang dibilang Ibu itu. Mungkin karena saking padatnya kehidupan akademis yang diciptakan oleh ITB, ditambah dengan kegiatan non-akademik mahasiswa yang selalu berkutat di dalam kampus saja, membuat si Ibu bisa berkata seperti itu. Hal inilah yang menyebabkan kampus saya (dalam hal ini ITB) sering disebut sebagai menara gading.

Oleh karena itu saya pikir penting bagi kita semua yang merasa memiliki status mahasiswa untuk tidak hanya excellent secara akademik dan kapasitas diri, tetapi ternyata masih terasing dengan konstituen terdekatnya yaitu warga sekitar. Seorang mahasiswa mestinya selain berkutat dengan segala aktivitasnya (nge-lab, diskusi, organisasi dll) tetapi juga mampu memiliki wisdom sehingga dapat berbaur dengan masyarakatnya dan dapat dijadikan teladan oleh sekitarnya. Seorang mahasiswa yang dapat memberikan manfaat dan mengambil peranan di masyarakat, meski sekecil apapun peran yang ia mainkan disana.

Banyak sekali saya kenal dengan para mahasiswa atau alumni muda yang telah sukses atau setidaknya sedang berusaha mengambil peranannya masing-masing di masyarakat tanpa harus meninggalkan academi life dan mimpi-mimpi pribadi. Ada yang membina anak-anak jalanan, ada yang mengkampanyekan gerakan peduli lingkungan, ada yang menjadi pengusaha berbasis social, ada yang menjadi guru SD dan masih banyak lagi yang lain.

Semoga saya dan kita semua bisa mengikuti jejak mereka dan mengukir kisah kepahlawanan dan keteladanan kita masing-masing. Amin.

Siap mengambil peranan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun