Mohon tunggu...
Laksita Wikan Nastiti
Laksita Wikan Nastiti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2011."tindakan adalah wujud usaha. usaha menuju neraka atau surga" @laksitawii

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kehilangan Identitas Diri

26 September 2012   22:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu di daerah Jogja nampaknya mulai terkikis di kalangan generasi masa kini. Ironisnya lagi, justru orang-orang di desalah yang perlahan mulai meninggalkan bahasa Jawa. Fenomena ini terjadi karena orang-orang telah kehilangan orientasi tentang budaya lokal. Sejak dini banyak keluarga muda mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk lebih membiasakan diri berbahasa Indonesia. Oleh karena bahasa Indonesia dianggap lebih kosmopolit, gaul, modern, dan mentereng dari bahasa Jawa yang dianggap kuno atau ketinggalan zaman.Kenyataannya belajar bahasa Jawa itu lebih sulit daripada bahasaIndonesia.

Di Yogyakarta bagian selatan tepatnya di Bantul sudah banyak ditemui anak kecil yang tidak lagi berkomunikasi dengan bahasa Jawa di kalangan teman sebayanya, keluarga maupun dengan lingkungan sekitar. Pasangan muda atau keluarga muda yang beranggapan bahwa bahasa Indonesia lebih kosmopolit, mentereng , dan modern dikarenakan bahasa Indoensia berhasil bertansformasi menjadi bahasa gaul yang sekarang sering digunakan. Adanya juga anggapan bahasa Indoensia sama dengan bahasa betawi yang ketika menyebut“kamu” menjadi “lo” dan “aku atau saya” menjadi “gue”, padahal bahasa tersebut adalah bahasa betawi bagian dari suku asli kota Jakarta, hanya saja mirip dengan bahasa Indoensia dan dianggap bahasa gaul.

Terdapat kesalahan persepsi dimana bahasa Indonesia dinggap bisa merepresentasikan bahasa gaul. Padahal bahasa Indonesia bukan bahasa gaul. Oleh karena itu orang-orang menggunakan bahasa Indonesia supaya dianggap modern dan gaul. Sedangakan bahasa lokal (Jawa) dianggap kuno, ketinggalan zaman, dan tidak dapat bertranformasi atau berubah menjadi bahasa gaul.

Di dunia pendidikanpun kuirkulum nasionalnya tidak menjadikan mata pelajaran bahasa Jawa sebagai pelajaran wajib, melaikan hanya muatan lokal, sehingga anak-anak sekolah cenderung menyepelekan pelajaran bahasa Jawa. Diharapkan adanya mata pelajaran bahasa Jawa sebagai salah satu upaya untuk melestarikan bahasa Jawa.

Fakor lain yang membuat generasi penerus menipis dalam penggunakan bahasa Jawa dikarenakan serangan budaya global, westernisasi melalui teknologi misalnya handphone, laptop, tablet PC, dll. Sedangkan media massa misalnya, televisi, radio, koran, majalah, dll. Media massa dan teknologi menyebarkan budaya pop seperti halnya sekarang ini yang sedang merebak seperti girlband, boyband, dan Korean style. Penyebaran informasi tentang budaya pop yang begitu mudah dan cepatnya melalui berbagai media massa dan teknologi tanpa disadari mempengaruhi orientasi budaya masyarakat. Seharusnya orang Bantul yang berasal dari suku Jawa tahu bahwa orientasi budaya yang dia miliki adalah budaya Jawa. Namun kenyataannya orientasi tentang budayanya sendiri kian menipis.

Media massa sekarang ini tidak bermuatan lokal, namun berlomba-lomba untuk menyebarkan informasi budaya pop, namun masih terdapat koran, majalah, dan stasiun televisi lokal yang mengusung budaya lokal, seperti halnya Koran Kedaulatan Rakyat (KR), Majalah Djoko Lodhang, radio lokal dan stasiun televisi Jogja TV. Setiap hari Minggu KR memuat tema budaya Jawa, salah satunya cerita wayang dengan menggunakan bahasa Jawa. Majalah Djoko Lodhang yang terbit setiap minggu sekali adalah satu-satunya majalah yang masih eksis memuat tentang budaya Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa. Radio-radio lokal masih menyuguhkan budaya lokal, seperti wayang dan cerita-cerita pendek dengan menggunakan bahasa Jawa. Jogja TV salah satu televisi lokal yang menyampaikan berita (pawarta berita) menggunakan bahasa Jawa. Namun media massa yang masih menyuguhkan budaya lokal cenderung kurang diminati dan kurang diperhatikan masyarakat. Jika acara dan tulisan memuat tentang budaya lokal, masyarkat memilih untuk mengganti saluran atau membalik kertas tanpa menggubris kolom budaya lokal.

Menindak lanjuti menipisnya bahasa Jawa dalam kehidupan masyarakat perlu ditumbukan lagi kepekaan terhadap budaya sendiri, supaya tidak salah berorientasi. Melalui keluarga generasi penerus ditanamkan sejak kecil tentang budaya dan kearifan lokal, dapat dimulai dengan berbahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah sebagai pendidik setelah keluarga ikut menanamkan budaya dan kearifan lokal terhadap generasi penerus. Media massa yang berperan sebagai penyebar luas informasi sebaiknya lebih selektif dalam memilih berita, dan muatan budaya lokal di berikan porsi lebih. Sehingga masyarkat tidak kehilangan identitas dirinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun