Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Umum PDIP, Megawati, dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh dianggap sebagai biang perpecahan Partai Golkar yang terjadi belakangan ini. Tudingan itu dilontarkan dengan begitu gamblang oleh seorang pengamat politik.
Lebih jauh dikatakannya bahwa ketiga orang yang memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan Jokowi tersebut, sudah melakukan politik pecah-belah di internal partai berlogo pohon beringin dengan maksud supaya merapat ke pemerintah. Tidak lagi beroposisi sebagaimana dilakoni partai warisan Orde Baru tersebut bersama koalisi merah putih (KMP) selama ini.
"Ini jelas dibuat oleh KIH, Kalla, Mega dan Paloh melalui boneka mereka yang bernama Joko Widodo," kata Hendri Satrio, pengamat politik tersebut.
Tudingan itu, sebagaimana biasanya dalam politik, memiliki kemungkinan benar, juga memiliki kemungkinan sekedar sebuah dugaan yang salah. Bagaimanapun di dalam politik segala kemungkinan bisa saja terjadi, tapi bisa jadi bukanlah suatu hal yang pasti sebagaimana dalam ilmu matematika.
Seumpamanya saja Jokowi cs. memang sebagai dalang terjadinya kisruh di partai beringin itu, sduah tentu akan segera merangkul kubu Agung Laksono yang saat melaksanakan Munas di Ancol telah mendeklarasikan diri akan bergabung ke KIH, dan telah mendaptarkan susunan kepengurusan DPP PG versi mereka ke Kemenhukham pun akan diakuinya sebagai pemegang partai golkar yang sah.
Tapi dalam kenyataannya, Presiden Jokowi sendiri menolak untuk mengesahkan kubu Agung Laksono maupun Aburizal Bakrie. Dan pemerintah dengan tegas mengatakan tidak akan ikut campur-tangan.
Bahkan secara kasat mata, sebagaimana dikabarkan berbagai media, timbulnya perpecahan di internal partai Golkar disebabkan ulah ketua umumnya, ARB yang dinilai kader-kader yang sekarang berseberangan telah berbuat banyak kegagalan yang dianggap sangat fatal.
Anjloknya perolehan kursi di DPR merupakan kegagalan ARB yang pertama. Sebelumnya dalam setiap pemilu, partai beringin ini selalu mendapatkan kursi di atas seratusan lebih, sedangkan di pemilu April lalu ternyata hanya mendapat 91 kursi saja. Kemudian dalam pilpres di bulan Juli, ARB pun seolah tak punya nyali untuk maju jadi capres. Padahal sebelumnya begitu gegap-gempita beriklan di layar kaca yang disiarkan stasiun televisi miliknya sendiri. Selanjutnya ARB pun dianggap sebagai ketua umum partai yang suka ingkar janji. Salah satunya saat setelah memenangkan pemilihan ketum yang membuat keok Surya Paloh ketika itu, ARB menjanjikan akan mendirikan gedung mewah yang representatif untuk kepentingan partainya. Tapi janjinya itu sampai di ahir jabatannya sama sekali tidak ditepati.
Jadi mana yang benar, omongan pengamat politik itu, atau pendapat kader-kader partai golkar sendiri ?
Kalau ditelaah, secara logika, pendapat kader yang sekarang berseberanganlah yang mendekati kebenaran latar belakang terjadinya perpecahan di partai golkar itu. sedangkan pendapat pengamat politik tadi, tidak menutup kemungkinan sebagai pendapat pribadi belaka. Paling tidak untuk membuat dirinya dapat dikenal banyak kalangan, misalnya. Bisa jadi juga untuk memprovokasi agar suasana semakin meruncing saja. Atau jangan-jangan, orang itu memebawa pesan sponsor yang telah memberinya segepok duit ?
Ah, entahlah. Probabilitas dalam politik begitu banyak memang. Sebagaimana kebiasaan manusia juga. Bisanya hanya mereka-reka suatu peristiwa yang terjadi - yang kadang tepat sasaran, kadang bisa meleset juga.
Sehingga hal seperti itu (banyak pendapat dari suatu kejadian),sudah bukan sesuatu yang aneh lagi. Malahan tampaknya tudingan itu kalau saja tidak benar adanya, sudah bukan suatu perbuatan yang melanggar hukum, atau sudah dianggap bukan suatu dosa (fitnah) lagi. Mereka selalu berlindung pada: “Di negara yang menganut paham demokrasi, semua orang bebas mengeluarkan pendapat”.
Ya, terserahlah. Suka-suka mereka.... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H