Mohon tunggu...
Lakon Hidup
Lakon Hidup Mohon Tunggu... -

Menulis itu bagiku serupa sarapan pagi, dan identik dengan helaan nafas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Miris, Jangankan Mengemban Amanat Rakyat Simbol Negara Saja Dilecehkan

16 Desember 2014   06:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:13 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mencermati hiruk-pikuk politik dewasa ini, sepertinya hanya berkutat dalam satu kata ‘perseteruan’ saja tampaknya. Yang terjadi di internal partai politik, semisal PPP dan partai Golkar, pertentangan antar kubu yang satu dengan yang lainnya sampai sekarang ini belum ada sinyal segera terselesaikan. Begitu juga perseteruan yang terjadi antara legislatif dengan eksekutif, atau anggota dewan dengan pemerintah, sepertinya kian berkepanjangan saja tampaknya. Bahkan gambar Presiden dan wakilnya, sampai sekarang belum tampak dipasang di gedung dewan.

Sebagaimana dimaklumi, kekuasaan di parlemen (DPR) dewasa ini dikuasai oleh kubu yang dimotori Prabowo Subianto. Koalisi Merah Putih (KMP) namanya. Bisa jadi kubu KMP masih menyimpan dendam berkepanjangan setelah dikalahkan pasangan Jokowi-JK di Pilpes 9 Juli lalu. Saking sakit hatinya kubu tersebut, gambar Presiden dan Wakil Presiden pun tak dipajang di Senayan.

Padahal jangankan orang dewasa, bocah kecil saja tahu, bahwa Presiden dan Wakilnya merupakan simbol negara yang mesti dihormati. Sedangkan di gedung dewan saja simbol negara tersebut malah terkesan dilecehkan. Sebagaimana pernyataan anggota dewan dari kubu KMP, bahwa hal itu tidak ada aturannya, dan bukan suatu kewajiban memasang foto presiden dan wakilnya di ruang sidang. Sedangkan foto-foto mantan presiden sebelumnya masih lengkap terpajang.

Terlepas dari tidak ada aturan dan bukan suatu kewajiban, simbol negara sendiri harus oleh siapa lagi kalau bukan oleh kita sendiri yang menjaga dan menghormatinya. Masa musti oleh warga negara lain ? Dan hal itu sudah tentu berkaitan erat dengan etika, baik etika secara umum, maupun dalam koridor etika politik sendiri. Bukankah secara etika, biasanya para anggota dewan pun suka di panggil: Yang Terhormat Anggota Dewan...

Jangan-jangan akibat dendam berkepanjangan itu pula sehingga anggota dewan sudah mempersetankan etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Sikap saling menghormati antar manusia rupanya sudah tak ada lagi dalam kamus hidup anggota dewan dari kubu KMP tersebut.

Malah dengan pongahnya, anggota dewan dari kubu KMP, alias The looser takes all itu, karena merasa memiliki kekuatan besar (Partai Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, plus Demokrat yang ahirnya bersikap tidak jelas) selain menguasai seluruh posisi penting dan strategis, mereka pun mengobrak-abrik segala aturan perundang-undangan (MD3 dan UU Pilkada) sekehendak hati sendiri.

Sehingga karena sibuknya mereka (anggota dewan dari kubu KMP) mengurusi dendam-kesumat terhadap rivalnya, amanat yang dibebankan rakyat di pundak mereka pun malah dikesampingkan. Coba apa saja yang sudah mereka perbuat untuk rakyat, bahkan aspirasi pilkda langsung saja dengan sadisnya langsung dikebiri, meskipun pada ahirnya muncul pernyataan sebaliknya. Dan sampai memasuki masa reses sekarang ini, mereka sudah tak malu lagi memakan gaji buta.

Maka bila muncul anekdot di kalangan rakyat akar rumput yang mengatakan: Jangan berantem kayak anggota dewan, adalah suatu yang wajar memang. dan sudah sepantasnya dikatakan demikian. Malah ada pula yang mengatakan, janganlah lagi anggota dewan dianggil dengan diembel-embeli 'yang terhormat'. Mereka lebih baik kalau diganti menjadi 'anggota dewan yang brengsek' saja sekalian. Karena kenyataannya, anggota dewan periode 2014-2019 pekerjaan sehari-harinya bukan lagi memikirkan nasib rakyat, mereka justru sibuk mencari gagasan bagaimana cara yang paling jitu untuk membuat malu, bahkan kalau bisa menggulingkan presiden dan wakilnya bila perlu.

Sungguh terlalu memang. Melihatnya saja jadi miris bukan alang-kepalang.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun