Suka maupun tidak, dalam kenyataannya para pendukung Jokowi sejak pencalonan, kemudian saat pilpres, dan sampai menjadi Presiden sekarang ini bukanlah sekumpulan pendukung yang sipatnya avonturir, atau sekedar ikut meramaikan – sebagaimana biasanya dalam setiap pemilihan, melainkan pendukung yang memiliki karakteristik tersendiri. Di samping menaruh harapan akan adanya perubahan keadaan ke arah yang lebih baik lagi, merekapun lebih mengedepankan akal sehat, alias tidak taqlid (Hanya ikut-ikutan belaka) buta. Buktinya sekarang ini, para pendukungnya memberi support terhadap pemerintah bukan hanya yang terkait program pro-rakyat saja yang saat ini sudah dilaksanakan, melainkan juga bila pemerintah ‘lalai’ pada komitmennya, maka tanpa segan-segan lagi langsung berteriak, mengingatkan Jokowi agar tetap konsisten sebagaimana janji yang telah diucapkannya.
Sebagaimana yang dilakukan baru-baru ini, terkait penyelesaikan isu pelanggaran HAM masa lalu yang sekarang sedang sedang hangat dibicarakan, para pendukung Jokowi yang tergabung dalam kelompok Almisbat, Projo, Seknas Jokowi, JNIB, RPJB, PIR, Duta jokowi, Garda Pemuda Nasdem, Jasmev, dan Kornas telah mendesak pemerintah (Jokowi) agar lebih serius dalam menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Mereka menilai penuntasan pelanggaran HAM, baik yang terjadi di masa lalu atau yang terjadi baru-baru ini, sangat penting untuk segera diusut tuntas.
"Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak memiliki pilihan lain selain menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu dan segera memutus rantai kekerasan. Hanya dengan ini maka pemerintahan ini memiliki tonggak baru, yang membedakannya dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya," kata Sekjen Almisbat, Hendrik Sirait.
Hendrik menjelaskan, sepanjang tahun 2014 saja, pelanggaran HAM sudah berulang kali terjadi, terutama kepada warga Papua. Dia menyebutkan kasus itu di antaranya pembunuhan Jesica Elisabet Isir dan Paulus Petege di wilayah hukum Polresta Yogyakarta, pembunuhan Petius Tabuni di wilayah hukum Polda Sulawesi Utara, pembunuhan Carles Enumbi di wilayah hukum Polres Sulawesi Selatan.
Selain itu, ada pula kasus pelanggaran HAM di masa lalu seperti pembunuhan aktivis Munir yang belum tuntas walau terpidana kasus pembunuhan ini, Pollycarpus, telah bebas bersyarat. Belum lagi kasus Trisakti-Semanggi, Talang Sari, Wasior-Wamena, penculikan aktivis 1998 dan kekerasan 1965.
Padahal para pendukung Jokowi pun sadar memang. dalam beberapa kasus pelanggaran HAM itu disinyalir telah melibatkan beberapa tokohyang sekarang ini dinilai ‘dekat’ dengan Jokowi. Seperti misalnya mantan Kepala BIN, AM Hendroproyono diduga sebagai dalang dalam kasus Talangsari, dan pembunuhan aktivis HAM, alm. Munir. Begitu juga ketua Umum Partai Hanura, Jenderal (Purn.) Wiranto dianggap bertanggung jawab dalam kasus Trisakti-Semanggi.
Terlepas benar-tidaknya dugaan yang melibatkan orang dekatnya tersebut, sudah sepatutnya dibuktikan di depan meja pengadilan. Untuk pelaksanaan eksekusi pembuktian secara hukum itupun akan bergantung sepenuhnya pada sikap Jokowi sendiri, apakah yang bersangkutan sanggup atau akan menghindar dengan seribu alasan – sebagaimana sikap pemerintahan sebelumnya.
Akan halnya seorang tokoh yang sejak pencapresan hingga sekarang bersikap 'bersebrangan' - kalau tidak dikatakan membenci setengah mati terhadap Jokowi, yakni Prabowo Subianto yang menjadi rivalnya, dan sampai dikalahkan dalam pilpres 9 Juli lalu, sebagaimana ramai dibicarakan ada dugaan sebagai dalang penculikan para aktivis, maka Jokowi pun seharusnya jangan ragu lagi untuk 'mengajak' yang bersangkutan agar mau membuktikan dugaan keterlibatannya itu juga di pengadilan HAM tentunya.
Bagaimanapun hal penegakkan hukum, terutama kasus pelanggaran HAM tersebut, merupakan PR besar, dan harus menjadi prioritas utama bagi pemerintahan Jokowi-JK. Apalagi saat ini para pendukungnya sendiri telah berteriak, mendesaknya agar Jokowi tidak berpaling dalam mengemban amanat rakyat. Dan jangan ada istilah tebang pilih, atau pandang bulu lagi.
Sikap para pendukung Jokowi seperti itu, yakni di samping menaruh harapan besar terhadap yang didukungnya, sikap kritis pun tetap dijaganya. Maka hal semacam itu bisa jadi merupakan sebuah fenomena yang baru pertama kali terjadi dalam iklim demokrasi di negeri ini. dan hal itu merupakan pembelajaran yang sudah wajib hukumnya untuk dikembangkan lagi. paling tidak agar kondisi politik menjadi sehat, dan tidak hanya membodohi rakyat saja seperti yang terjadi selama ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H