[caption id="attachment_76187" align="alignleft" width="453" caption="Puncak Rantemario (g.tertinggi di Sulawesi)"][/caption] Sering bahkan sering sekali ada yang bertanya untuk apa sih naik gunung? dan yang sering naik gunung pun masih banyak yang bingung kenapa ia naik gunung.. bernacam-macam alasan pun muncul, baik yang berbau praktis, nasionalis, idealis sampai tataran filosofis selalu menghiasi argumen-argumen agar terkesan logis (apalagi kalau berhadapan dengan Orang Tua saat minta izin, atau ketika ketahuan pergi dengan cara bergerilia). Seorang pendaki tersohor pernah ditanya kenapa sih kamu naik gunung? jawabannyya pun sangat singkat "Because it's there"..Dialah George Leigh Mallory yang hilang bersama Andrew Irvine pada tahun 1924 saat melakukan pendakian di gunung everest, dan sampai sekarang teka-teki mengenai sipakah yang pertama menaklukkan puncak everest, apakah Mallory atau Sir Edmund Hillary (yang tercatat sebagai pendaki pertama menaklukkan everest bersama Tenzing Norgay (seorang sherva) pada tahun 1953).. "Because It's There", jawaban yang singkat Mallory pun menuai keritikan, seperti tulisan PENCINTA ALAMOLOGI PASCAPENCINTA ALAMOLOGIE 03 oleh Ostaf Al Mustafa dan A.Indra Wahyudi "George Leigh Mallory, sang pendaki legendaris terkenal dengan kalimat ’Because it’s there’ (karena ia ada disana). Ia merupakan sosok penakluk yang akhirnya ‘tidak berhasil menemukan sisi kemanusiaanya’ di puncak gunung dan tebing. Sisi kemanusiaannya tercerabut oleh konsep penaklukan alam yang teramat diyakininya. Alam tak memberikan hikmah apa-apa kepadanya kecuali kesan bahwa Mallory telah sukses menjadi penakluk. ”Because it’s there’ merupakan sebuah kalimat yang tak punya makna apapun bagi pembangkitan sisi manusiawi. Kalimat itu hanya merupakan arogansi dangkal dan rendah dari emosi kesombongan manusia, yang kehilangan spiritualitas di tengah alam yang ditaklukkannya. Kalimat itu tak lebih dari suatu ’penaklukan kosong tanpa arti apa-apa’. Ungkapan Mallory ini dijadikan kalimat kebanggaan bagi 'Pencinta Alam' dalam sticker, baju, pamflet dan sejenisnya. 'Pencinta Alam' tersebut, ’terlalu tinggi’ menilai ungkapan penaklukan tersebut. Penilaian yang tak teramat pas, bila disesuaikan dengan arti 'Pencinta Alam'. 'Pencinta Alam' sama sekali tak punya visi dan misi penaklukan apapun, kecuali ”menaklukkan arogansi diri sendiri”. Arogansi adalah saudara sulung Iblis yang bersemayam dalam hati dan pikiran manusia, sejak masa puber. ”Menaklukkan arogansi diri sendiri” memang terlalu berat, penaklukan itu harus diselesaikan hingga ajal tiba" (sumber)Berbeda dengan Soe Hok Gie, dalam tulisannya " Menaklukkan Gunung Slamet", ia menjelaskan dengan gamblang kenapa ia naik gunung, "kami katakan bahwa kami manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari Hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar dan disamping itu menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi" (Soe Hok-Gie...sekali lagi). Alasan nasionalis dan idealis dari Soe Hok Gie yang seorang aktivis yang sangat senang naik gunung, namun dalam tulisan-tulisan lainnya terlihat bahwa Gie juga mengalami 'semacam' tanda-tanya, pergolakan akan makna, seperti dalam puisinya yang indah,'
Mandalawangi-Pangrango
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu aku datang kembali ke dalam rimbamu, dalam sepimu dan dalam dinginmu walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi sungaimu adalah nyanyian keberadaan tentang tiada hutanmu adalah misteri segala cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua "hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar terimah, dan hadapilah" dan diantara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara aku terima semua melampaui batas-batas hutanmu melampaui batas-batas jurangmu aku cinta padamu Pangrango karena aku cinta pada keberanian hidup (Soe Hok-Gie...sekali lagi) yah,,, "walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan" ataupun "hidup soal keberanian menghadapi yang tanda tanya" dan kata-kata "sungaimu adalah nyanyian keberadaan tentang tiada, hutanmu adalah misteri segala, cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta" mengisyaratkan pergulatan filosofis juga dialami Gie dari kegiatan mendaki gunung. [caption id="attachment_76185" align="alignnone" width="500" caption="Pemandangan dari puncak Rantemario (awal tahun 2009)"][/caption] Mendaki gunung memang selalu menarik, apalagi kalau sudah terlanjur "jatuh cinta" dari anak kecil sampai yang berusia lanjut, dari yang opurtunis sampai yang idealis maupun yang sekedar "asal" dan yang profesional bahkan untuk kepentingan ritual tak mampu berkelit dari 'sihirnya". Namun apa pun maksud, tujuan ataupun alasannya, keaslian dan kelestariannya harusnya jadi proriotas, karena sangat disayangkan selain panorama yang indah sampah dan vandalisme turut menjadi tontonan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H