Mohon tunggu...
Kasman Anton
Kasman Anton Mohon Tunggu... profesional -

Am a brilliant shiftless, mocha and sex holic, a red devil fan, earth walker... a free architect

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Distrust Pengadilan

21 April 2010   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan Anggodo Widjojo atas praperadilan terkait Surat Ketetatapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dari Kejaksaan terhadap dua Pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah membuat rakyat semakin bingung dan bertanya-tanya menyaksikan dagelan di negeri ini. Alasan Lemah Alasan hakim bahwa aspek sosiologis yang mendasari penerbitan SKPP tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan perkara memang bisa diterima. Yang menjadi pertanyaan apakah hakim sudah menyelami bahwa inti penghentian kasus tersebut didasari tidak adanya bukti-bukti yang kuat untuk membawa kasus ini ke meja pengadilan? Hal ini didukung kuat oleh temuan Tim Pencari Fakta bentukan Presiden yang terdiri dari tokoh-tokoh bangsa yang diketuai pengacara senior Adnan Buyung Nasution di TIM 8. Dari temuan yang terangkum dalam laporan Rekomendasi ke Presiden terdapat beberapa poin penting, yaitu; Pertama, dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau pemerasan namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit. Kedua, Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar penyalahgunaan wewenang. Ketiga, dalam gelar perkara tanggal 7 Nopember 2009, Jaksa Peneliti Kasus Chandra dan Bibit juga menilai bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh penyidik masih lemah. Keempat, aliran dana dari Anggodo Widjojo ke Ari Muladi terputus dan tidak ada bukti yang menyatakan uang tersebut sampai ke tangan pimpinan KPK. Kelima, tim 8 berkesimpulan profesionalisme penyidik dari Kepolisian dan penuntut dari Kejaksaan sangat lemah mengingat sangkaan dan dakwaan tidak didukung oleh fakta dan bukti yang kuat. Fenomena mengikuti ‘apa yang diinginkan oleh atasan’ dikalangan penyidik dan penuntut umum masih kuat, sehingga penyidik dan penuntut umum tidak bebas mengembangkan temuannya secara obyektif dan adil. Sehingga terkesan adanya rekayasa. Munculnya intruksi dari atasan tersebut, tidak terlepasdari adanya benturan kepentingan pada atasan yang bersangkutan. Strategi Berputar Jika pengadilan tetap ngotot ingin melanjutkan proses hukum terhadap Bibit-Chandra alangkah baiknya jika bukti-bukti baru yang lebih kuat dikumpukanl terlebih dahulu agar kita tidak berputar-putar dan menghabiskan energi di kasus ini. Jangan sampai setelah dilanjutkan tetapi di kemudian hari berhenti dan mentok lagi. Fenomena banyaknya bermunculan kasus-kasus belakangan ini sangat menarik untuk dicermati di tengah-tengah kevakuman tindak lanjut kasus Century. Munculnya kasus-kasus ini ke permukaan sangat positif bagi pemberantasan korupsi tetapi di sisi lain timbul pertanyaan mengapa sampai saat ini belum ada satu kasus pun yang betul-betul tuntas, jelas, dan menyeret aktor utama korupsi tersebut? Kasus-kasus ini hanya ikut berputar-putar, yang ditangkap hanyalah penjahat teri golongan IIIA sementara penjahat kakapnya disembunyikan, yang diusut hanya aparat bawahannya sementara atasannya dibiarkan cuci tangan, itupun hanya 'dicutikan'. Para petinggi Pajak, Keungan, Polisi, Jaksa, dan Hakim saling cari selamat dan menyerang balik dengan pencemaran nama baik. Jadi jangan salahkan publik jika mencurigai bahwa ini hanya akal-akalan pemerintah yang ingin kasus Century teralihkan dan dilupakan. Distrust Pengadilan Kasus Kriminalisasi Pimpinan KPK tidak akan menjadi rumit dan kacau balau begini jika hukum kita mendapatkan kepercayaan dari publik. Fakta-fakta bahwa kasus Bibit-Chandra muncul di saat gencarnya KPK menyelidiki kasus korupsi Century, tuduhan yang dibuat-buat dan berubah-ubah, alasan penahanan yang lemah dan terburu-buru, adanya bukti upaya rekayasa dan kriminalisasi yang terungkap dari rekaman Anggodo semakin menumbuhkan pesimisme terhadap Pengadilan. Pengadilan kita sudah sering mempertontonkan dagelan di mana keadilan justru tidak didapatkan di meja hijau. Masih ingat kasus Prita dan Nenek Minah? Atau vonis pengadilan yang justru membebaskan Gayus Tambunan? Putusan diskon hukuman untuk Artalyta Suryani dan Auilia Pohan? Vonis 4 tahun untuk mega koruptor Robert Tantular yang menyebabkan negara rugi sampai 9 triliun akibat manajemen buruk dan perampokan di Century? Bandingkan dengan vonis 5 tahun untuk pencuri semangka. Bahkan tragedi di Koja Priok merupakan bukti lemahnya penerimaan masyarakat terhadap keputusan pengadilan yang memang selalu berpihak ke kelompok yang berduit dan memiliki kekuasaan. Mental korupsi sudah masuk jauh ke dalam aparat hukum kita. Untuk satu kasus Gayus saja, kebusukan sudah melibatkan secara lengkap para penjaga hukum kita, mulai dari peran Polisi yang membuka rekening hasil korupsi, Jaksa yang mengurangi tuntutan, Pengacara yang justru jadi negosiator perkara, dan Hakim yang memvonis bebas. Semuanya memperlihatkan betapa akutnya kanker korupsi ini. Jika orang-orang di sekeliling Presiden yang ditempatkan adalah individu-individu yang jauh dari ‘track record’ yang tidak sedap dan memiliki komitmen kuat dalam memberantas korupsi, kemungkinan kepercayaan publik terhadap Pengadilan bisa pulih. Jika orang-orang itu bermental Baharuddin Lopa dan Hoegeng, yakin, justru rakyat yang akan meminta Chandra-Bibit agar segera dimeja hijaukan karena Pengadilan kita betul-betul sudah dapat dipercaya dan jauh dari manipulasi. Kecewa Presiden Presiden sebagai pemimpin bangsa dituntut sebagai pelopor dan penggerak awal gerakan pembersihan koruptor ini. Sayangnya Presiden belum mengambil langkah-langkah strategis dan ekstrim dalam memperbaiki keadaan. Presiden cenderung pasif dan bertahan, bahkan bola yang disodorkan pun jarang yang ditindak lanjuti. 'Governance audit' yang disarankan Tim 8 di bulan November tahun lalu mengapa belum dijalankan? Apakah presiden sudah lupa? Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum bentukan presiden hanyalah birokrasi baru bermuka lama yang saling tumpah tindih dan menambah beban anggaran negara, mengapa tidak memaksimalkan institusional yang sudah ada dengan mereformasi dan melakukan reposisi personel sebagai bukti komitmennya terhadap janji 'clean governance' saat kampanye dulu?

"Jika orang-orang itu bermental Baharuddin Lopa dan Hoegeng, yakin, justru rakyat yang akan meminta Chandra-Bibit agar segera dimeja hijaukan karena Pengadilan kita betul-betul sudah dapat dipercaya dan jauh dari manipulasi"

Presiden justru masih ngotot mempertahankan Kapolri dan Kajagung yang sudah terbukti tidak kapabel menangani kasus yang menyebabkan kriminalisai terhadap pimpinan KPK, keduanya juga tidak mampu mengawasi bawahannya yang ikut terlibat permaian korupsi Gayus. Selama ini hanya bawahan yang selalu dikorbankan dan dimutasi. Melihat gambaran sekarang sangat mengecewakan bahwa Presiden kita yang berstatus sebagai pilihan rakyat, berlatar belakang militer, dan sangat kuat di parlmenter tetapi berbanding terbalik dengan kemauan dan keberaniannya dalam memberantas koruptor. Suka tidak suka keinginan Presiden untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya hanya mimpi di siang bolong. Seperti yang digambarkan Eep Saefulloh bahwa pemimpin kita saat ini mengalami ‘Disfungsi Presiden’, sepertinya presiden kita memang ‘lemah syahwat’…Nafsu besar kemampuan kurang[] La Kase Johore | Wednesday, April 21, 2009 | 13:03 PM Read more: 1. Angkara Negeri di Priok 2. Sekalipun! 3. Character Suicidal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun