Mohon tunggu...
lairah
lairah Mohon Tunggu... -

Fans garis keras Maruko

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sesama Rakyat Saling Marah, Raja Jadi Gusar, Tuhan pun Murka

30 Januari 2016   15:16 Diperbarui: 30 Januari 2016   16:02 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak sembarang orang boleh marah apalagi murka. Tampaknya itu tercermin dalam bahasa kita, bahasa Indonesia. E.St. Harahap dalam Kamoes Indonesia Ketjik yang diterbitkan pada zaman penjajahan Jepang mendaftar kata marah sebagai salah satu lema beserta padanan kata dan konteksnya.

Alih-alih menjelaskan definisi dari lema marah, Harahap langsung memberikan informasi soal konteks penggunaan kata marah yang tepat. Orang kecil berang kepada orang kecil disebut: marah. Begitu tulisnya. Jadi, kata marah hanya boleh dipergunakan untuk menggambarkan rasa berang yang terjadi di antara sesama rakyat biasa atau orang kebanyakan.

Sementara itu, untuk orang yang berkedudukan tinggi, yaitu raja, penguasa, dan lain sebagainya, diksi yang tepat adalah gusar. Harahap menulisnya, baginda marah disebut: gusar. Rakyat jelata jelas tidak diperkenankan untuk gusar. Selain itu, Harahap juga menuliskan perbedaan lain antara marah dan gusar, yaitu dari segi emosi yang terlihat. Kalau marah, emosinya nyata terlihat sedangkan gusar tidak alias marah terpendam. Dalam bayangan saya, marah itu matanya membelalak sambil teriak-teriak sementara gusar itu muka bertekuk, ambil napas panjang lalu berdehem.

Jadi, jika berdasarkan penjelasan di atas, seorang biasa bebas memperlihatkan kemarahannya (pada sesama orang biasa). Semarah apa pun. Sementara itu, seorang pemimpin harus bisa menyalurkan rasa marahnya dengan bijak. Ia boleh gusar, tetapi jangan sampai kemarahannya terlihat. Sayangnya, Harahap tak mencantumkan apa kata yang biasa digunakan masyarakat pada saat itu untuk menggambarkan marahnya rakyat pada pemimpin.

Setelah rakyat marah dan raja gusar, ada tuhan yang murka. Ya, Harahap mendaftar kata murka sebagai marahnya tuhan. Allah dan dewa marah disebut: murka, tulisnya. Sayangnya lagi, Harahap tak mendeskripsikan sifat murka lebih lanjut.

Sekarang, ketiga kata tersebut tampaknya mengalami generalisasi. Kita tidak merasa aneh saat menulis, "guruku menjadi gusar, tuhan tidak pernah marah, atau ayahku sedang murka. Ketiganya juga terasa memiliki level kemarahan yang berbeda bagi masyarakat sekarang. Murka sepertinya berarti 'sangat marah' sedangkan gusar sedikit di bawah marah.

Begitulah bahasa berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Dulu orang hanya punya satu jenis marah. Sekarang, mungkin karena hidup yang semakin kompleks, duli-duli jelata seperti saya ini pun bisa murka :D.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun