Beberapa waktu lalu, saya dan dua kawan mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan yang terletak sepelemparan batu dari kantor saya. Seperti biasa, meskipun tidak berniat membeli sesuatu, kami selalu memasuki toko-toko fast fashion sekadar untuk melihat-lihat model pakaian terbaru saat itu.
Saya memang sempat menggemari produk-produk keluaran retailer penganut fast fashion, terutama produk denimnya. Akan tetapi, semenjak saya menonton film The True Cost, saya selalu berusaha untuk tidak membeli dari toko fast fashion. Kalau pun saya terlanjut kepincut ingin membeli, saya akan mengecek asal pembuatan pakaian tersebut (setidaknya saya tidak akan membeli pakaian yang dibuat di Bangladesh, Vietnam, dan Kamboja).
Saat itu, alih-alih menjumpai nama-nama negara berkembang di Asia yang sudah lazim dikenal sebagai penyedia pekerja alih daya untuk industri garmen, seperti yang sudah saya sebut di atas, saya malah membaca label bertuliskan made in Turkey pada sejumlah produk garmen di beberapa toko.
Bukannya apa-apa --mungkin karena pengaruh film The True Cost yang kuat sekali dalam diri saya. Kemunculan made in Turkey ini membuat saya bertanya-tanya. Kenapa tiba-tiba ada "serbuan produk asal Turki"? Saya bukan pengunjung mal yang rutin jadi mungkin saja kemunculan itu sudah beberapa waktu lamanya.
Namun, seingat saya, terakhir kali saya ke mal tersebut (dan beberapa mal lain di Jakarta), yaitu sekitar dua bulan sebelumnya, garmen-garmen berlabel made in [negara berkembang Asia] masih mendominasi toko-toko fast fashion.
Setelah saya berselancar di dunia maya, saya menemukan beberapa berita sehubungan dengan garmen buatan Turki tersebut. Ada cerita di balik made in Turkey. Sebagai gambaran, industri garmen adalah industri kedua terbesar di negara itu dan Turki berada di peringkat ketiga, setelah Bangladesh dan Tiongkok, sebagai pemasok pakaian terbesar ke Eropa (sumber: Guardian). Seperti halnya Bangladesh, pekerja garmen Turki juga memiliki permasalahan yang sama: gaji di bawah standar, kerja melebihi batas, dan minimnya perlindungan kerja.
Selain itu, dari beberapa berita yang saya baca, industri garmen Turki juga mempekerjakan mereka yang tidak selayaknya dipekerjakan: anak-anak Suriah. Mereka mengungsi ke Turki dengan harapan bisa melanjutkan mimpi mereka akan masa depan yang cerah.
Namun, kenyataannya, sekolah masih harus menjadi mimpi yang tertunda bagi mereka dan bertahan hidup adalah mimpi yang harus mereka wujudkan setiap harinya. Anak-anak itu tak punya pilihan selain bekerja. Bekerja secara ilegal tentunya karena mereka masih di bawah umur.
Berstatus sebagai pengungsi dan pekerja ilegal, secara otomatis, mereka bisa dibayar lebih rendah dari standar gaji dan bekerja lebih keras dari pekerja yang legal. Membaca berita-berita mengenai pekerja anak Suriah di industri tekstil Turki membuat hati saya getir saat membaca label made in Turkey yang terjahit rapi di sisi dalam pakaian-pakaian bermerk itu. Di balik jahitan itu, ada kerja keras yang tak dibalas dengan upah sepadan.
Isu pekerja anak Suriah ini memang bukan hal yang baru muncul. Artikel-artikel berita daring yang saya baca rata-rata berumur setengah tahun lebih (diunggah awal tahun 2016). Saya dengar beberapa negara Eropa memboikot produk garmen buatan Turki dan mendesak retailer fast fashion dan pemerintah Turki untuk membersihkan mata rantai industri tekstil Turki dari pekerja di bawah umur, yang tak lain tak bukan anak-anak Suriah. Apakah mungkin, karena boikot itu, helai-helai pakaian buatan Turki itu dilimpahkan ke pasar Indonesia? Sementara itu, mungkin garmen-garmen buatan negara lain, seperti Vietnam atau Kamboja, yang biasanya menghiasi pasaran tekstil Indonesia dioper ke Eropa.
Sebenarnya, pemerintah Turki bukannya tidak peduli terhadap nasib anak-anak pengungsi Suriah. Mereka yang tinggal di kamp pengungsi mendapat perhatian penuh dari pemerintah, seperti kesehatan dan pendidikan. Namun, masalahnya, hanya 9 % dari mereka yang tinggal di kamp pengungsi tersebut. Sisanya berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidup dan anak-anak pekerja garmen ini termasuk dalam sisa itu.