"Ini bukan salah kami kalau mereka sampai bekerja. Negara yang gagal memenuhi kebutuhan mereka," begitu ujar salah seorang supervisor pabrik tekstil di Istanbul, seperti dikutip oleh Guardian.Â
Membaca kutipan si supervisor itu, membuat saya bertanya: siapakah kami dan siapakah negara? Tidakkah kami masuk sebagai bagian dari negara? Ataukah yang disebut negara hanyalah mereka yang memerintah? Negara, dalam hal ini Turki, tentunya memiliki andil besar dalam hal ini dan semoga pemerintah Turki dapat mengakomodasi anak-anak pengungsi Suriah yang berada di luar kamp pengungsi, tidak sebatas pada mereka yang tinggal di dalam kamp.
Namun, ini bukan hanya tugas Turki semata. Sebagai konsumen, menurut saya, masyarakat juga bisa turut andil dalam hal ini. Salah satunya dengan cara cerdas dalam membeli. Kalau saya pribadi, cara cerdas itu adalah sebisa mungkin tidak membeli produk fast fashion atau setidaknya, kalau pun harus membeli, bukan produk buatan negara yang perlindungan terhadap pekerja garmennya rendah dan Turki termasuk dalam daftar negara produsen yang saya hindari.
Tapi, bukan berarti pula saya antipati terhadap orang-orang yang membeli pakaian fast fashion, termasuk yang made in Turkey. Toh, setiap orang punya alasan masing-masing dan berhak menentukan apa yang ingin mereka beli dan kenakan. Fast fashion adalah persoalan gaya hidup dan meskipun di balik sebuah gaya ada tangan yang tak berdaya, kalau sudah persoalan gaya, siapa manusia yang bisa membelok-belokkan selera?
*****
Referensi:
Arslan, Rengin. 2016. "Made in Turkey, stitched by Syrian children".
Deeb, Ahmed. 2016. "Insiders investigates the exploitation of Syrian child labour in Turkey".
Hansen, Suzy. 2016. "The Erdogan Loyalists and the Syrian Refugees".
Johannisson, Frederik. 2016. "Hidden child labour: how Syrian refugees in Turkey are supplying Europe with fast fashion".Â