Mohon tunggu...
Laily Maslihah
Laily Maslihah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapitalisasi Standar Kecantikan Kaum Feminis

24 April 2017   22:45 Diperbarui: 25 April 2017   08:00 2268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecantikan bagi perempuan saat ini sudah seperti oksigen yang harus mereka hirup untuk membuat jantung tetap berjalan dan menghidupkan sel-sel tubuh lainnya. Kecantikan adalah sebuah keharusan yang seolah-oleh telah terstandarisasi oleh sebuah sistem kapitalisme. Kapitalisme adalah sebuah paham yang memandang bahwa kehidupan berdasar pada materi (capital, modal) saja. Dunia berlomba-lomba untuk memunculkan produk serta inovasi terbaru untuk memikat kaum wanita agar terpenuhi standar kecantikannya. Saat ini sudah mulai adanya pergeseran pandangan mengenai kecantikan. Yang awalnya kecantikan dinilai dari inner beautydan outer beauty, saat ini dunia telah membentuk stigma bahwa wanita dengan fisik luar yang indah adalah segalanya.

Sarte dan Merleau Ponty mengatakan “Sexuality is co-extensive with existence”. Artinya, seksualitas berdampingan dengan eksistensi. Menurut mereka eksistensi selalu lebih cenderung mengarah kepada perempuan. Buktinya, perempuan lebih mendominasi dalam hal eksplorasi tubuh. Sangat tidak mengherankan jika banyak kaum wanita yang merasa tidak puas dengan tubuh yang sudah ada. Ketidak puasan di dalam diri perempuan inilah yang menjadikan perempuan sebagai sasaran utama produk kapitalis.

Eksplorasi yang dimaksudkan disini dimana wanita dalam dunia kapitalisme harus berjuang dan rela diperjual belikan dengan cara sadar bahkan tidak sadar. Dalam kapitalisme, wanita diibaratkan sebagai komoditi  yang bisa mendatangkan keuntungan. Perempuan masa kini memiliki persaingan yang semakin ketat, dengan obesesi menggunakan daya tarik fisik untuk menuju sukses. Coba saja kita tengok wanita-wanita yang ada di jaman sekarang, mereka dipaksa untuk memakai pakaian yang serba terbuka untuk dapat diterima bekerja di berbagai instansi, mall, dan dunia kerja lainnya yang mewajibkan memakai pakaian terbuka sebagai seragam. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lowongan pekerjaan yang mengutamakan outer beauty, atau dengan kata lain yang mampu berpenampilan menarik merupakan salah satu syarat terpenting dalam penerimaan pekerjaan.

Dalam dunia kapitalisme ternyata angka pelecehan seksual terhadap wanita justru semakin meningkat. Hal ini dikarenakan konsep pergaulan yang diterapkan dikalangan mereka adalah konsep permissif, apa pun serba boleh. Sungguh ironi dan tidak adil di dalam dunia kapitalisme, standar kecantikan yang dipatok untuk wanita adalah standar fisik semata. Banyaknya derita yang harus dialami wanita di era sekarang ini, mereka hanya menjadi objek pemuasan seks belaka, bahkan mereka dianggap tak ada lagi harganya. Coba saja kita tengok negara-negara yang menganut sistem kapitalisme, hal-hal seperti berciuman, berpelukan, bahkan free sex sudah bukan hal tabu lagi untuk diumbar didepan umum. Saat ini pun juga sudah banyak ajang kecantikan seperti Miss World, Miss Universe, Miss Indonesia dan berbagai ajang kecantikan lainnya, dimana kecantikan mereka juga diukur dengan standarisasi yang telah menjadi tolak ukur kecantikan yang diatas rata-rata.

Kontes kecantikan pada kenyataannya juga membentuk streotipe perempuan tentang makna cantik. Juara yang mendapatkan mahkota kemenangan secara tak langsung telah menginterpretasi tentang makna cantik itu sendiri. Ajang ini juga menjadi bentuk eksploitasi oleh kelompok kapitalis di mana perempuan dalam konteks ini dijadikan barang komersil dan dibuat sedemikian rupa sehinga menarik pemodal untuk mengambil kesempatan meraup untung sebesar-besarnya. Hal ini membuktikan bahwa perempuan hanya dijadikan sebagai ikon semata dalam kontes kecantikan, untuk memperkenalkan ke khalayak luas “beginilah tampilan cantik yang sesungguhnya”.Sehingga memunculkan pandangan-pandangan terhadap kaum feminis mengenai standar kecantikan dan pergeseran makna dalam memaknai kecantikan yang sesungguhnya, bukan hanya dinilai dari outer beauty tetapi juga inner beauty.

Standarisasi sering kali mampu memanipulasi seseorang hingga membentuk pola pikir bahwa ikon yang ditampilkan sebuah produk kecantikan merupakan dimensi tunggal lambang kecantikan. Hal inilah yang menjadikan wanita memiliki keseragaman keinginan untuk serupa dengan ikon yang ditampilkan tersebut. Wanita dalam hal ini difungsikan sebagai konsumen, dimana banyak produk kecantikan yang berlomba-lomba meyakinkan wanita bahwa pemakaian dan aplikasi produk yang ditawarkan  akan menghasilkan seperti dimensi model yang telah ditunjuk sebagai ikon tersebut. Produk kecantikan yang ditawarkan pun beragam mulai dari perawatan yang ada di salon-salon hingga tanam benang dan operasi plastik. Semua kalangan kapitalis sangat berlomba dan selalu memunculkan inovasi terbaru, agar kaum feminis tetap mengejar standart kecantikan yang berubah-ubah.

Mereka bukan lagi wanita dengan apa adanya, bukan lagi dengan kecantikan alami yang sudah ada pada dirinya, melainkan dalam penjelmaan impian. Mereka sebagai sosok yang harus bisa memenuhi standarisasi untuk bisa dianggap cantik. Begitulah, para perempuan akan selalu terpengaruh untuk memeragakan konstruksi dari standarisasi yang telah dibuat oleh sekelompok golongan atau pihak tertentu. Bisa jadi kaum kapitalis yang akan mendapatkan keuntungan dari situasi itu, meskipun standarisasi tersebut tidak jelas relevansinya dengan kepentingan pribadi para perempuan.

Media secara tidak langsung memunculkan patokan standar kecantikan yang merupakan alat produksi utama untuk mendukung industri kapitalis. Media seperti majalah wanita yang memunculkan ikon-ikon model dengan maksud memberi standar kecantikan terhadap pembaca, dan berbagai media lain yang memunculkan hal serupa. Melalui standarisasi  perempuan ini dapat menyebabkan ketidak percayaan diri, sebab mereka tak sesuai dengan standar kecantikan yang telah dibuat oleh kelompok kapitalis. Dan demi mendapatkan keuntungan kapital dari ketidak puasan konsumen, akhirnya secara tidak langsung perempuan-perempuan ini terjaring dalam industri kapitalisasi yang dibuat agar mereka memenuhi standar kecantikan yang telah direncanakan melalui ikon yang dijadikan dimensi tunggal kecantikan.

Segala macam upaya mempercantik diri yang dilakukan kaum perempuan harus dipertahankan agar perusahaan-perusahaan kapitalis terus mendapatkan keuntungannya. Berbagai citra dan cita-cita kaum perempuan  yang bahkan tidak wajar harus selalu terpelihara, dan trend kecantikan yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dapat kita lihat berbagai kasus dimana wanita di dunia berlomba-lomba untuk membuat dirinya layaknya barbie dalam kehidupan nyata.  Hal ini  semata-mata dengan tujuan agar pendapatan perusahaan-perusahaan kapitalisme terus bertambah, seiring dengan dikeluarkannya banyak dana untuk mencapai patokan yang telah  ditanamkankan perusahaan kapitalis.

Naomi Wolf mengatakan dalam bukunya “The Beauty Myth”, “Perekonimian yang bergantung pada perbudakan harus mampu menampilkan citra budak dapat melegitimasi lembaga perbudakan itu sendiri”. Saat ini kapitalisme berhasil membujuk perempuan dengan cara-cara membentuk pandangan seperti cantik itu langsing dan putih, yang telah secara luas disebarkan melalui iklan industri kecantikan. Terlebih lagi dengan adanya pandangan bahwa “kecantikan adalah jalan menuju sukses”sehingga mengakibatkan perempuan yang memiliki citra seperti itulah yang lebih beruntung, dan yang tak memenuhi standar menjadi terpuruk, tidak percaya diri, dan akhirnya masuk ke dalam jurang kapitalisme untuk mendapatkan citra tersebut.

Menurut Ellen Riordan, kapitalis berhasil menempatkan perempuan pada posisi inferior dan menjadi alat berlangsungnya suatu kekuasaan penundukan. Sebuah hegemoni semacam inilah yang dimaksud dengan hegemoni baru. Bukan hanya sekedar hegemoni yang melawan arus kungkungan tradisi setempat, melainkan hegemoni ini muncul secara senyap, tidak eksplisit namun terasa. Cara kerja sistem ini memang cukup halus, sehingga tidak semua perempuan memiliki kesadaran yang tinggi akan hegemoni kapitalis yang sedang bekerja saat ini. Perempuan di subordinasikan sebagai sebuah objek seksualitas, tapi justru mereka merasa lebih percaya diri karena dikenal secara luas, di domestikkan tapi malah merasa tersanjung, merasa diposisikan sebagai seorang ratu padahal sesungguhnya dilecehkan secara halus.

Seperti itulah perempuan, akan merasa tersanjung ketika di domestikkan dan mendapatkan popularitas tinggi. Hal ini akan memunculkan obsesi perempuan untuk menjadi yang tercantik dengan produk kapitalis bernilai tinggi. Semakin banyak popularitas yang didapat, semakin berani pula untuk menjadi konsumen produk kapitalis yang setinggi langit, kemudian mereka merambah dengan gaya hidup yang semakin tenggi atau dikenal dengan hedonisme. Jika sudah seperti ini, maka patokan kecantikan di kalangan perempuan pun juga berubah, kecantikan mulai dinilai dari warna kulit, bentuk tubuh, bentuk rambut, hingga semahal apa produk yang digunakan dalam pandangan perempuan, pada akhirnya kapitalis berhasil merauk keuntungan yang paling besar.

Ketika stigma yang dibuat oleh kapitalis berhasil hidup dalam keseharian perempuan, maka hegemoni era kapitalis bisa dikatakan telah mulai mengakar dalam kehidupan perempuan. Di masa globalisasi seperti ini, jika melawan arus kapitalis tentu bukan pembicaraan yang bagus, karena bagaimanapun era kapitalisme tidak akan pernah bisa dihindari. Kesadaran pengetahuan harusnya dimiliki oleh setiap jiwa perempuan, karena perempuan juga harus pintar berhegemoni dengan sesuatu yang secara halus membodohi mereka dengan stigma-stigma yang telah ditanamkan kaum kapitalis. Perempuan di era kapitalis, kecanggihan teknologi, standar ilmu pengetahuan dan kesadaran yang tinggi sekarang seharusnya diimbangi dengan kesadaran pemikiran  akan perlunya melawan hegemoni baru yang tinggi pula, seperti halnya perempuan pada zaman dahulu yang habis-habisan menentang budaya patriarki. Jangan sampai terbawa arus terlalu dalam yang selalu mengikuti perkembangan kapitalisme, jadilah wanita yang sadar akan pembodohan.

Stigma-stigma yang berhasil ditanamkan oleh kapitalis membuat kita tidak dapat berdiri diatas kaki sendiri. Kita hidup bergantung dengan adanya standarisasi yang ada dan diciptakan tanpa kita sadari. Kita telah didekte penguasa, sehingga apa pun yang kita konsumsi dan kita lakukan pada kenyataannya membuat kita selau tidak merasa nyaman dan puas, selalu ingin lebih.  Sementara, sesungguhnya cantik adalah sesuatu yang relatif, bersifat sangat individual. Apa yang menurut seseorang cantik, belum tentu orang lain memiliki pandangan yang sama atas tingkat kecantikan yang dimaksudkan. Masing-masing mata memiliki konsep penilaian yang berbeda untuk memaknai sebuah makna kecantikan. Tidak akan pernah ada parameter khusus untuk menetapkan seorang wanita sudah dalam kriteria cantik, karena kecantikan tidak akan bisa diukur berdasarkan standarisasi yang diberlakukan oleh golongan tertentu. Sebagai perempuan masa kini jangan sampai terbawa arus terlalu dalam yang selalu mengikuti perkembangan kapitalisme, jadilah wanita yang sadar akan pembodohan, sehingga kaum feminis tak lagi menjadi objek eksplorasi demi keuntungan kapital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun