'Cuci piring itu seperti berduka. Tidak ada orang yang suka melakukannya, tapi pada akhirnya, seorang harus melakukannya.'
Akhirnya saya bisa kembali mereview buku kesukaan saya lagi setelah sekian lama. Buku yang saya beli tepat di hari ulangtahun saya sebagai sebuah perayaan kecil setelah sebelumnya 'zoo date' with my fience dulu, tapi saya tidak akan membahas 'dating' itu melainkan hadiah kecil dari ulangtahun saya ini.
Bagaimana tidak, ini tentang acara mencuci piring dan berduka. Dua hal yang bertolak belakang namun malah disatukan di sebuah buku. Kegiatan yang sebagian orang menyukainya dan sebagian lagi menganggap itu adalah hal yang merepotkan termasuk saya.
Saat pertama kali saya menemukannya di rak toko buku bersama dengan buku lainnya, pertanyaan yang keluar dari pikiran saya adalah 'apa hubungannya?'. Secara berduka adalah tentang keadaan hati, sedangkan mencuci piring adalah kegiatan rumah tangga sehabis memasak atau yang lainnya.
Buku yang ditulis dr. Andreas selama masa Covid, tentang rasa dukanya dan para pasien yang pernah beliau tangani di rumah sakit. Duka tentang kepergian malaikat kecilnya yang ia perjuangkan keberadaannya agar tetap di keluarga kecilnya, meski pada akhirnya sebuah perpisahan tetaplah ada.
'jangan buru-buru meminta seseorang untuk menerima.'
Kalimat ini membuat saya tertegun untuk kesekian kalinya. Seperti acara mencuci piring yang tidak semua orang menyukainya tapi pada akhirnya harus tetap dilakukan. Sama seperti sebuah penerimaan. Seberat apapun rasa duka sebuah penerimaan harus tetap dilakukan, hanya saja jangan memintanya untuk buru-buru menerima. Mana tau konsep penerimaan orang berbeda-beda, entah cara atau lama waktunya.
dr. Andreas bilang menerima itu adalah hal yang mudah untuk lakukan. Kita tidak perlu melakukan apa-apa dan hanya perlu menerima fakta alam semestar yang ada. Namun menerima juga akan menjadi hal yang sulit jika kata 'Mengapa? Kenapa? Kok bisa?' ada dalam pikiran kita. Seolah memang kita sudah lebih dulu dikecewakan dengan ekspektasi diri karena penerimaan yang akan dilakukan tidak sesuai dengan bayangan kita.
Buku yang memiliki halaman sebanyak seratus sembilan puluh ini membuat saya menangis beberapa kali. Mengesampingkan isi dari buku ini, saya menangisi diri sendiri karena alasan yang sebenarnya tak begitu pasti. Mungkin karena perasaan duka semacam ini memang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang sudah masuk di dalam sebuah klub, kalo di buku ini disebut 'Klub Berduka'. Pada akhirnya derita, luka, duka atau perasaan lainnya yang menyangkut hati memang hanya bisa dimengerti oleh orang yang benar-benar pernah mengalaminya.
Selain mencuci piring dan penerimaan, merayakan rasa duka juga perlu dilakukan. Tidak, kamu tidak salah membacanya. Awalnya saya sempat heran dengan judul di poin tersebut, tapi setelah membacanya saya mulai paham. Seperti ulangtahun saya yang dirayakan dengan membeli buku, duka juga harus dirayakan dengan cara mereka sendiri.
Saya mengingat sebuah kutipan di salah satu buku yang pernah saya baca, 'Kematian yang sebenarnya adalah saat kita sudah dilupakan.' Di buku ini menjelaskan seseorang yang pergi meninggalkan kita tidak benar-benar pergi dari sisi kita, melainkan hanya berpindah ke suatu tempat yang lebih baik dari tempat sebelumnya. Selama kita masih mengingatnya, selama kita masih merayakan setiap hal kecil yang pernah kita lakukan bersamanya saat mereka masih disisi kita, kematian tidak benar-benar terjadi pada mereka.