Bulan Agustus 2020, bertepatan dengan Ulang Tahun Indonesia ke 75, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Uang Baru dengan nominal 75.000. Nominal ini benar-benar baru terbit dan gencar diberitakan oleh media. Siapa yang tidak penasaran? Ya, saya pun ikut penasaran, walaupun warna dan rupanya sebenarnya dapat saya jumpai kapan saja di Internet.
Terlepas dari rasa penasaran saya akan bentuk uang baru ini. Sebenarnya saya pun juga bertanya-tanya: apakah kebijakan cetak uang baru di masa pandemi yang telah menuntut pemerintah melonggarkan defisit anggaran negara adalah kebijakan yang tepat? Mengingat kebijakan cetak uang saat keuangan negara sedang jatuh juga pernah dilakukan pemerintah pada Era Indonesia Terpimpin di Masa Presiden Soekarno. Kala itu pemerintah cetak uang karena butuh banyak uang untuk akomodir pembangunan proyek mercusuar.
Untuk menjawab rasa penasaran tersebut, maka saya coba mengumpulkan kembali data dan beberapa perspektif akan Dampak Cetak Uang Baru di Masa Pandemi.
Buruk Karena Menimbulkan Resesi Hyperinflasi
Dalam Publikasi Komite Standar Akuntansi Pemerintahan yang berjudul Dampak Disrupsi Ekonomi pada Laporan Keuangan Pemerintahan disebutkan bahwa pemerintah amat keliru apabila menetapkan obat resesi adalah mencetak uang.Â
Hal itu karena pada saat resesi pengangguran akan semakin tinggi, menyebabkan pekerja produktif akan semakin sedikit, sehingga Produk Domestik Bruto (PDB) pun akan ikut turun, dan tentu akan menurunkan sisi penawaran.
Apabila hal itu kemudian diiringi dengan pencetakan uang secara besar-besaran, maka sisi penawaran yang menurun akan ditambah dengan peningkatan harga barang yang disebabkan jumlah uang yang beredar semakin tinggi akibat dari cetak uang.Â
Keadaan seperti itu tentu akan sangat berbahaya ketika menyentuh kebutuhan pokok. Harga kebutuhan pokok akan semakin melambung. Daya beli masyarakat akan anjlok dan itu berarti masyarakat akan kesusahan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan perut.
Bagus untuk Tambahan Likuiditas Pembiayaan Ekonomi
Menurut Keyness, apabila suatu negara mengalami disrupsi maka kebijakan untuk memulihkan keadaan ekonomi seperti semula yang cukup populis adalah perlu berhutang lebih banyak dan Belanja APBN diperbesar. Kebijakan ini diambil karena tidak memberatkan dunia usaha dengan pajak tinggi atau tidak pula memangkas belanja layanan pemerintah.
Dalam menghadapi era disrupsi akibat pandemi, pemerintah Indonesia sepertinya juga melakukan hal yang sama dengan saran kebijakan Ekonom Keyness. Terbukti dengan Perpres No 54 Th 2020, Defisit APBN Indonesia mengalami kenaikan dari 1.76% dari PDB menjadi 5.07% dan kemudian direvisi lagi menjadi 6.34% atau defisit setara dengan 1039.2 Triliun Rupiah (Tirto.id, 2020).
Sementara itu, menurut lembaga penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia dalam Kontan.co.id (2020) sebaiknya pemerintah mendahulukan sumber pembiayaan dalam negeri lewat penerbitan surat berharga negara. Untuk menambah likuidatas pembiayaan dalam negeri yang kering, menurutnya mencetak uang adalah solusi yang tepat.
Tidak Berpengaruh, Karena Uang Baru Hanya Menjadi Souvenir Peringatan NKRI ke 75
Disebutkan oleh Gubernur Bank Indonesia dalam Katadata.co.id (2020), uang edisi khusus hari ulang tahun kemerdekaan ke 75 dalam nominal 75 ribu hanya dicetak sebanyak 75 juta lembar.Â