Mohon tunggu...
Dita LailiNur
Dita LailiNur Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Opini Jangan Dipilih Caleg Koruptor

7 Desember 2018   01:59 Diperbarui: 7 Desember 2018   02:00 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berdasarkan data KPK, sebanyak 205 anggota dilevel DPR-RI dan DPRD terjerat kasus korupsi, 19 gubernur dan sebanyak 83 orang bupati dan wali kota. Demi terwujudnya calon legeslatif (caleg) yang bersih dan berintegritas, peraturan KPU No 20 Tahun 2018 tentang larangan caleg bagi napi koruptor perlu kita dukung. Tindakan heroik KPU dalam membangun regulasi tersebut berperan sebagai filter mencari pemimpin yang ideal bagi rakyat Indonesia.

Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 tidak hadir dari ruang hampa. Sebagai lembaga independen, KPU bersifat self legulatory body. Artinya, KPU memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri tatkala undang-undang kekurangan untuk mengatur hal-hal yang bersifat substantif. Peraturan ini dilegasi atas perintah Undang-Undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD pasal 58 ayat 3 yang berbunyi bahwa "ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut melalui peraturan KPU".Pendapat pro kontra mulai memenuhi gelagat media. Mereka yang menolak peraturan ini, sebut saja dia adalah sosok yang bersembunyi di balik Perpu. Dengan dalil bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan dirinya, termasuk juga mengajukan dirinya sebagai caleg. Mereka terus teriak-teriak dan menjatuhkan bahwa KPU tidak tau prosedur. Mereka mengatakan KPU telah mencekal "hak politiknya" sebagai warga negara.

Berbicara mengenai hak, kita bisa membuka kembali konfensi hak asasi manusia soal civil and political rightsyang menegaskan, bahwa ada 9 poin yang menyatakan kapan pembatasan hak itu bisa dilakukan. Salah satunya ialah "demi menjaga moral masyarakat". Seorang pemimpin yang telah diberikan kepercayaan dalam mengatur dan mewujudkan cita-cita rakyat justru membelot melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya. Mereka menghianati dengan memakan hak rakyat melalui tindakan korupsi, dan tanpa rasa malu sekarang mau mencalonkan sebagai wakil rakyat lagi. Atas kelakuan "keji" tersebut, salahkah apabila KPU melarang? Tentunya KPU lebih berhak mengatur siapa yang pantas dan layak menjadi wakil rakyat.

Hari-hari ini, marwah bangsa Indonesia benar-benar diuji. Penetapan KPK terhadap anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka korupsi adalah satu diantara rentetan bencana yang mencederai moral rakyat Indonesia. Pasalnya, selepas kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang menyeret nama Setya Novanto dan kasus korupsi dana PLTU yang menyeret Idrus Marham, kini, seluruh rakyat Indonesia harus bertubi-tubi menelan bencana korupsi yang dipertontonkan oleh politisi. Tidak main-main, sebanyak 41 orang anggota DPRD Kota Malang dari jumlah 45 anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka.

Sosok pemimpin bermental koruptor harus diberantas dari demokrasi Indonesia. Presiden Joko Widodo melalui "Revolusi Mental" harus berani meneken peraturan KPU No 20 Tahun 2018 sebagai upaya memberangus para koruptor. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan ancaman sanksi dan pendidikan anti korupsi. Setegas dan sekejam apapun ancaman jika para pemimpin bermental koruptor pasti juga akan korupsi. Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 adalah upaya untuk menutup keburukan para koruptor agar tindakan korupsi tidak terulang kembali.

Dalam Islam kita bisa temui konsep istinbat hukum yang berbunyi "Sadz Dariah". Istilah ini diartikan oleh Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya yang berjudul "Ushul Fiqh" sebagai upaya menutup hal-hal yang bisa mengakibatkan seseorang melakukan keburukan. Seperti halnya menutup diri dengan memberi kesempatan kepada caleg mantan napi koruptor.Sebagai aktivis yang menyuarakan pemberantasan korupsi, tentunya kita berharap bahwa peraturan KPU No 20 Tahun 2018 di sah-kan dan diterima oleh segenap pihak. Agar upaya dalam memberantas bibit-bibit koruptor bisa diminimalisir. Pun, pada akhirnya pemerintah melalui putusan Mahkamah Agung pada kamis 13 september 2018 menolak dan tanpa rasa malu memberikan kesempatan kepada bakal caleg mantan napi koruptor.

Data KPU menunjukkan bahwa pemilihan calon legeslatif mendatang ada tambahan 15 kursi di DPR-RI dan puluhan kursi DPRD. Sebanyak 7.796 caleg telah terdaftarkan oleh 16 parpol. Termasuk bakal caleg perempuan (40,32%). Ironisnya, para calon yang terdaftar banyak didominasi oleh narapidana koruptor". Nasi sudah menjadi bubur. Putusan mahkamah agus sudah final. Mantan napi koruptor sah secara konstitusional berhak mendaftarkan diri sebagai calon legeslati.(Harian-Bhirawa)

Salah satu upaya yang harus kita gerakkan secara massif adalah "jangan memilih dia (red:Koruptor)". Kita pilih caleg yang bersih. Caleg yang belum memiliki riwayat tindakan korupsi dan tindakan kriminal lainnya. Dan ini merupakan bentuk partisipasi kita sebagai warga negara untuk memberangus korupsi. Meskipun "wajah baru" belum bisa menjamin apakah nantinya ia tidak korupsi. Tapi setidaknya pilihan ini lebih baik dan rasionalis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun