Mentari senja menaungi sorak sorai gang kecil di sepanjang jalan menuju Dukuh. Aktivitas pedagang dan pembeli cukup ramai sore itu. Aku masih sibuk memilah memilih sayur mayur apa yang cocok untuk dimasak esok hari. Tak ada niat mau mampir kemari. Tiba-tiba teringat oseng jamur kesukaan suamiku. Belok arah siapa tahu ada jamur.
      Aku berjalan hampir sampai pada ujung gang ternyata masih kosong juga. Sesekali bertanya pada si penjual ternyata gak ada. Terpaksa harus cari alternatif lainnya yang masih disukai beliaunya. Hari itu fikiranku cukup berkecamuk. Antara fokus pada pekerjaan yang sedang kujalani saat ini atau mencari pekerjaan sampingan. Menjalani peran sebagai abdi negara kiranya tak menghentikan niatku untuk berwirausaha. Hitung-hitung sebagai usaha sampingan yang bisa dikerjakan dari rumah. Tapi apa ya enaknya. Sepanjang jalan aku coba menggali ide yang sesuai dengan passion dan kemampuanku.
      Melihat suamiku yang susah payah siang bekerja, sore mengajar hingga hampir larut malam. Beban di pundaknya terlalu berat, banyak peurt yang harus diberi makan olehnya, banyak cita-cita besar yang harus segera diwujudkan. Sedang usahanya naik turun, tidak setiap hari mendapatkan hasil. Dari situ aku berusaha mencari jalan lain. Hari-hariku memang cukup sibuk di sekolah, namun tak ada salahnya memanfaatkan sisa waktu luang untuk usaha dari rumah.
      Pasar sore itu memang sengaja digelar di pinggir jalan. Sehingga sistem drive thru bisa diterapkan disini. Banyak pembeli yang melakukan transaksi dari atas sepeda. Sedangkan kendaran lainnya juga berupaya untuk melintas. Keadaan demikian membuat kendaraan menumpuk dan lalu lintas padat merayap. Belum lagi pejalan kaki sepertiku yang lebih memilih parkir sepeda di tempat parkir terdekat juga ingin menerobos antrean kendaraan.
      Di tengah runyamnya kendaraan, pedagang, dan pembeli kulihat dua orang berjalan beriringan. Si ibu berkalung sound kecil di dadanya, berjalan tertatih sambil mengenakan kacamata hitam. Tangannya menengadah ke depan dengan membawa plastik bekas bungkus minyak goreng yang sudah bersih dan kering. Di belakangnya seorang laki-laki bertubuh tinggi memegang microfon sambil menyanyikan lagu dangdut. Suaranya cukup merdu.
      Aku bertanya dalam hati. Mengapa si ibu yang ada di depan? Si ibu kan buta harusnya digandeng saja di belakangnya biar si bapaknya menyanyi sambil menunjukkan jalan. Apalagi ramai seperti ini. Kuamati lagi dari sebrang jalan. SI bapak memegang tongkat di tangan kirinya sambil memperkirakan sekitarnya melalui tongkat tersebut. Si bapak memang tidak mengenakan kacamata hitam seperti si ibu. Tapi kuamati lagi ternyata di bapak juga buta. Kudekati pelan-pelan mereka yang masih berjalan begitu pelan. Bahkan mereka tak tahu jika aku di depannya. Saat ada orang memasukkan uang kecil di plastiknya si ibupun tak bereaksi apapun dan masih tetap berjalan pelan.
      Gusti, aku seperti ditampar melihat pemandangan demikian. Kemana saja aku selama ini. Apa aku hanya berfokus pada yang ada di depanku saja hingga tak pernah menoleh bagaimana kanan kiriku. Aku merencanakan terlalu jauh dan berbelit, padahal mereka yang begitu sederhana juga masih bisa hidup. Perlahan air mataku menitik. Dasar aku yang tak pandai bersyukur. Aku yang berkecukupan mengapa masih merasa kurang, padahal mereka yang kekurangan saja bisa merasa cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H