Heningnya bentangan alam nan asri dari sabang hingga merauke dalam gugusan pulau-pulau yang tiada tertandingkan keindahannya. Lalu lalang sosialita masyarakat nan dinamis membentuk struktur-struktur yang harmonis. Bangsa yang besar ini kini telah beranjak menggapai cita-cita. Negeri dengan seribu satu macam budaya dan ciri khasnya semakin hari semakin berkembang mengikuti zaman.
Kemerdekaan telah terlalui, perjuangan-perjuangan dengan bersimbah darah kini hanya menjadi kenangan yang tak sepatutnya terlupakan. 77 tahun berlalu, bangsa ini telah berdaulat selama puluhan tahun lamanya. Pemerintahanpun telah siap dengan berbagai macam program dan perencanaan yang sebaik mungkin untuk kebaikan seluruh komponen bangsa. Milyaran rupiah telah dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya alam yang begitu besar untuk memenuhi kebutuhan bangsa yang semakin kompleks ini.
 Kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis mengiringi perjalanan zaman yang kian canggih. Generasi semakin hari semakin cepat mengerti kemudahan untuk menunjang terwujudnya tujuan hidup. Bagaimanapun bentuknya tidak dapat dipungkiri jika keberadaan teknologi dan kemudahan informasi semakin memudahkan proses kehidupan manusia. Namun sangat disayangkan kenyataannya tidak sedikit ditemukan buruknya keadaan yang disebabkan modernisasi. Salah satu kasus yang kini begitu marak dibicarakan adalah kekerasan seksual.
Keadaan yang sungguh memprihatinkan. Satu persatu terungkap kasus kekerasan seksual yang datang dari berbagai macam lapisan masyarakat. Dari orang awam hingga tokoh-tokoh yang sarat penghormatan. Ambil saja beberapa kasus kekerasan seksual yang justru dilakukan oleh para pemuka agama, pemangku pondok pesantren yang notabene dianggap sebagai tempat paling aman bagi anak untuk menuntut ilmu. Umumnya kekhawatiran para orangtua akan perkembangan anaknya di dunia luar mendorong mereka untuk memondokkan anaknya. Ternyata pulang dari pondok yang terdengar tangisan merasa akibat kelakuan kyainya.
Beberapa hasil penelitian di dunia mengenai penyebab pelecehan seksual menunjukkan hasil yang menyatakan bahwa penyebab terjadinya pelecehan sosial adalah kecenderungan pada objek yang lemah baik secara fisik, psikologis, ekonomi maupun sosial dibandingkan dengan pelaku. Sehingga objek cenderung tidak memiliki kemampuan untuk menentang atau melawan pelaku kejahatan tersebut. Dalam dunia pesantren budaya sami'na wa atho'na kepada kyai dan keturunannya masih sangat kental. Budaya ini mendorong para santri untuk melakukan apapun yang diperintahkan oleh kyainya dengan embel-embel harapan barokah dari sang kyai. Miris sekali, kondisi ini seringkali disalahgunakan untuk memuaskan nafsu dorongan setan.
Selain dampak psikologis yang dialami olehobjek, tentu kekerasan seksual ini juga berdampak pada kesehatan mental. Keadaan ini jika terus berlanjut tentu akan menghambat berkembangnya potensi diri mereka sehingga tidak dapat melakukan aktualisasi diri.
Begitu besar mudharat yang ditimbulkan dari kekerasan seksual ini. Paling tidak tindakan-tindakan pelecehan seksual ini dapat diminimalisir sehingga lambat laun dapat terselesaikan. Jika tidak, dikhawatirkan ke depan akan terus-menerus menjadi patologi sosial yang melekat dan seolah-olah menjadi hal yang biasa di masyarakat. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakasanakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pelecehan seksual:
Pertama, peran orangtua. Dalam kacamata seorang anak tentu orangtua merupakan sosok hebat yang senantiasa berada di sampingnya. Dalam hal ini pengawasan orangtua terhadap perilaku dan perkembangan anak menjadi suatu hal yang mutlak harus ada. Hal ini agaknya telah dijelaskan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa': 9.Â
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaknya mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.(Q.S. An-nisa':9)
Kedua, daridiri anak sendiri. Tindak kekerasan ini terkadang tidak hanya berasal dari niat jahat pelaku tetapi juga upaya dari sang anak untuk membentengi dirinya dengan kesederhanaan dan tingkah laku yang sesuai dengan ajaran islam. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Luqman:19
Artinya: Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.(Q.S. Luqman: 19)