Mohon tunggu...
Adek Aidi
Adek Aidi Mohon Tunggu... -

Indonesian | Student | Living in Stockholm | Interested in culture, traveling, tech research, information and communication technology, and startup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Bangsa Swedia dan Jerman

20 Agustus 2011   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:36 2315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berikut salah satu tulisan yang saya buat saat berdiskusi di sebuah milist tentang 2 pendekatan yang ditawarkan oleh peneliti-peneliti saat ini untuk mengatasi keterbatasan ketersedian spektrum yang menjadi masalah dalam dunia wireless dan telekomunikasi.

Topik berkembang menjadi diskusi tentang bagaimana negara – negara eropa bisa menjadi maju, dan mencoba menganalisa 2 bangsa berbeda, yaitu Jerman dan Swedia, karena kebetulan approach yang ditawarkan memang berasal dari 2 penelitian yang berbeda juga, salah satunya dari seorang peneliti Jerman yang saat ini mengajar di Inggris, dan lain nya dari seorang peneliti Amerika yang sedang belajar di Swedia saat memunculkan ide penelitiannya.

Tulisan dibawah sedikt-banyak diwarnai dengan generalisasi, yang saya lakukan bukan untuk men-judge setiap pribadi di suatu bangsa, karena tentu selalu ada banyak pengecualian, juga tidak untuk menyampaikan suatu bangsa lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Tentu, selalu ada kekurangan dan kelebihan, dan tulisan ini hanya untuk memudahkan menarik benang merah dan juga mencoba mengambil sedikit ibrah atau pelajaran dari karakter kedua bangsa yang berbeda ini, bagaimana kita bisa mengendalikan kekurangan dan kelebihan kita, sehingga kitapun bisa menjadi bangsa yang maju. Mohon dikritisi kalau ada yang kurang berkenan. Selamat membaca.

--

From: Adek Aidi

Date: 20 augusti 2011 00.04.34 CEST

Subject: Re: [OOT] Forget WiFi, Connect to the Internet Through Lightbulbs

Salah satu approach which come out to solve scarce and limited radio waves spectrum, ide dari profesor di Edinburg (actually, he is a german scientist).

Ide hangat lain yang sudah dan sedang booming untuk menyikapi masalah ini adalah cognitive radio approach, which surprised me, is an idea that came out from a phd student at KTH.

Let's -not just- wait what the future would bring.

http://www.good.is/post/forget-wifi-it-s-lifi-internet-through-lightbulbs/

Forget WiFi, Connect to the Internet Through Lightbulbs

Whether you’re using wireless internet in a coffee shop, stealing it from the guy next door, or competing for bandwidth at a conference, you’ve probably gotten frustrated at the slow speeds you face when more than one device is tapped into the network. As more and more people—and their many devices—access wireless internet, clogged airwaves are going to make it increasingly difficult to latch onto a reliable signal.

But radio waves are just one part of the spectrum that can carry our data. What if we could use other waves to surf the internet?

One German physicist, Harald Haas, has come up with a solution he calls “data through illumination”—taking the fiber out of fiber optics by sending data through an LED lightbulb that varies in intensity faster than the human eye can follow. It’s the same idea behind infrared remote controls, but far more powerful.

Haas says his invention, which he calls D-Light, can produce data rates faster than 10 megabits per second, which is speedier than your average broadband connection. He envisions a future where data for laptops, smartphones, and tablets is transmitted through the light in a room. And security would be a snap—if you can’t see the light, you can’t access the data.

You can imagine all kinds of uses for this technology, from public internet access through street lamps to auto-piloted cars that communicate through their headlights. And more data coming through the visible spectrum could help alleviate concerns that the electromagnetic waves that come with WiFi could adversely affect your health. Talk about the bright side.

Best Regards,

Adek Aidi

--

From: I Putu P

Date: 20 augusti 2011 10.12.30 CEST

Subject: [OOT] Forget WiFi, Connect to the Internet Through Lightbulbs

Makasi infonya.

Jerman memang ga ada matinya untuk inovasi dari sejak jaman PD. Hm, makek fiber yah?

Btw apakah ada dampak dgn kesehatan juga? Yg saya pernah baca, untuk wifi gelombangnya (konon) berpengaruh thd kesehatan.

--

From: Adek Aidi

Date: 20 augusti 2011 18.55.03 CEST

Subject: [OOT] Forget WiFi, Connect to the Internet Through Lightbulbs

Dear rekan,

Jerman dan jepang adalah negara dengan peringkat paten top 3 besar, alias paten terbanyak didunia. And guess who is the other one? USA.

Jerman dan jepang tau betul bagaimana memajukan negara nya paska perang dunia dengan secepat-cepat, tanpa bergantung pada hasil alam, kenapa?  Karena paska perang dunia dunia, mereka dilarang mengembangkan industri berbasis hasil alam itu, terutama yang bertipe logam. Dan mereka memilih jalan yang tepat, pendidikan. Dan mereka memetik hasilnya berpuluh tahun kemudian. Mereka sadar betul, pendidikan adalah investasi, you cannot see the result instantly!

Salah satu contoh lain juga saya lihat betul juga di negara - negara skandinavia, dimana mereka juga menggratiskan pendidikan untuk semua jenjang, dan memang negara nya berkorban banyak untuk itu, tapi lihatlah sekarang, dari negara termiskin di eropa, mereka menjadi negara dengan GDP terbesar di eropa bahkan dunia, dan selalu diperingkat atas untuk negara dengan rakyat yang punya quality of life tertinggi di dunia, bahkan mendapat predikat sebagai "the happiest place to life on earth". Rahasianya? Karena mereka meletakan pendidikan sebagai nomor 1.

Sedikit cerita apa yang ada dipikiran saya tentang kedua bangsa yang berbeda ras ini, ras aria, dan ras viking, ketika saya hidup di sana dan sedikit menganalisa dan membandingkan bagaimana cara mereka sehingga menjadi bangsa maju.

Salah satu perbedaan mencolok orang jerman dengan skandinavia, terutama swedia adalah, orang jerman hidup dengan spirit: "work hard, because you have to be number one", Klo orang skandinavia hidup dengan spirit: "work and give the best, and enjoy your life". Orang skandinavia, berhenti bekerja ketika sudah saatnya berhenti bekerja, orang jeman ga akan berhenti bekerja klo belum puas, mirip seperti orang jepang, "life is to work hard", sedangkan orang skandinavia "life is to be enjoyed", sehingga wajar klo kita melihat banyak orang lembur di jerman, tidak halnya di skandinavia (jam 4 sudah tidak sopan untuk menelpon membicarakan bisnis). Klo saja orang - orang skandinavia tidak terlalu menjunjung prinsip "lagom" atau hidup biasa saja dan tidak mau mencolok, dan mau punya anak sedikit lebih banyak (jumlah penduduknya sangat sedikit), mungkin mereka bisa mengalahkan jerman.

Salah satu bukti, orang skandinavia bekerja keras sepanjang winter, dan berhenti bekerja ketika summer (mereka bisa libur 3 bulan dalam setahun), karena memang musim dingin sangat keras di utara, sehingga orang-orang benar2 ingin menikmati matahari ketika summer. Jadi bisa dikatakan, klo ingin menguasai skandinavia, seranglah ketika summer, karena skandinavia itu lumpuh total ketika summer, bagaimana tidak kantor - kantor, baik pemerintah dan swasta kosong melompong ketika summer! Sedangkan orang jerman, bekerja keras ketika winter, dan tidak berhenti ketika summer, seluruh eropa sudah libur, mereka masih bekerja, bahkan lembur pulak. Mereka libur sangat sedikit, dibandingkan orang skandinavia

Hal lain yang mencolok menurut saya adalah sikap terhadap minuman keras. Di skandinavia, terutama swedia, pemerintah melarang penjualan minuman keras secara bebas, kalau mau membeli minuman keras harus di satu-satunya toko yang sudah ditentukan pemerintah, namanya systembolagget. Dan toko itu hanya buka seperti jam kantor, 9 to 5, dan tutup ketika weekend, dan untuk membeli produk minuman keras apapun di toko itu, harus menunjukan bukti bahwa anda sudah 17 tahun keatas, dan distribusi nya dikontrol sangat ketat oleh pemerintah dengan pajak yang selangit.

Mengapa mereka memberlakukan ini, cukup aneh menurut saya pada awalnya saat saya datang ke negara dingin ini, karena skandinavia adalah negara dengan iklim ekstrem, jauh lebih ekstrem dibanding di eropa daratan. Sebagai gambaran untuk membayangkan perbandingan winter dikedua negara ini, kawan indonesia saya di swedia, hanya pakai kaos oblong keluar rumah belanja ke super market, ditengah-tengah winter terdingin saat ia mampir di belanda. Swedia termasuk dalam belt Vodka, yang notabene rakyatnya secara intuisi dan budaya, pasti suka minum minuman keras yang sangat keras untuk mengatasi dingin. Tapi ternyata tidak, rakyat swedia berubah sejak setengah abad lalu, ketika mereka memutuskan untuk bangkit dari kemiskinan. Pemimpin negaranya tau pasti, untuk dapat maju, rakyat tidak boleh terlalu banyak minum - minuman keras, terutama anak - anak, sehingga dibuatlah aturan itu, yang pada awalnya ditertawakan oleh negara2 tetangga, tapi lihatlah sekarang? mereka menuai hasil, dan dengan perpaduan filosofi "lagom", atau klo mabok jangan sampai mabok banget, atau mabok yang dikendalikan: dikendalikan distribusinya, dikendalikan kadar maboknya, bahkan dikendalikan juga waktu maboknya, sehingga wajar, merekapun bisa cepat menjadi bangsa maju.

Sedangkan di jerman, saya melihat cukup banyak orang "nyekek botol", karena memang peredaran minuman keras di jerman tidak ketat seperti di skandinavia, dan harganya jauh lebih murah sekali. Juga banyak gelandangan - gelandangan (bule / orang jerman), yang tidak mau bekerja dan menunggu subsidi pemerintah untuk lalu dipakai untuk membeli minuman keras. Fenomena ini menjadi gangguan utama di jerman akhir-akhir ini. Di skandinavia, tidak mungkin kita melihat ada bule / orang skandinavia yang menjadi gelandangan, gelandangan umumnya hanya imigran berwajah timur tengah. Dan tidak mungkin melihat orang mabuk sambil "nyekek botol" disiang hari bolong di jalanan skandinavia. Dari sana, saya berkesimpulan, hanya dengan spirit bekerja keras yag masih dipegang sebagaian besar bangsa jerman dan jumlah rakyat yang cukup banyak (mereka negara terbesar di eropa), yang membuat jerman masih bisa melangkah maju. Lihatlah bagaimana spanyol atau Italy atau Yunani? dinegara-negara itu minuman keras bahkan lebih murah lagi, sayangnya mayoritas mereka tidak punya spirit kerja keras seperti orang jerman (tidak semua tentunya), sehingga tidak ada yang menyeimbangkan, jadi wajar klo negara - negara itu saat ini terlilit hutang, atau  disebut sebagai "pigs belt", alias "portugal, italy, greece, spain belt".

Semoga kita anak- anak muda Indonesia, bisa belajar dari semua itu, bahwa bangsa eropa pun tidak semua nya maju, mereka pun tidak luput dari sifat - sifat pemalas, dsb, bahwa dibalik kekurangan dan kelebihan karakter bangsa kita, klo kita bisa mengendalikan, kita pasti menjadi bangsa maju, tidak ubahnya seperti bangsa - bangsa maju di eropa sana. Untuk itu bangsa ini perlu pemimpin - pemimpin yang kuat karakternya, bukan yang pinter jaga image saja, yang bisa meyakinkan bangsanya, untuk bisa maju memang tidak bisa kita melihat hasilnya secara instan, tapi dengan kerja keras yang konsisten dan determinasi, kelak semua akan terbayar tunai, insyallah.

Salam dari utara.

Best Regards,

Adek Aidi

Tulisan ini juga terdapat di http://lailiaidi.blogspot.com/2011/08/belajar-dari-bangsa-swedia-dan-jerman.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun