Sejarah pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan budaya yang terjadi di Nusantara sejak masa pra-kolonial hingga pasca kemerdekaan. Pada masa sebelum kedatangan penjajah Eropa, pendidikan di Indonesia sudah ada, meskipun sifatnya masih tradisional dan terbatas pada komunitas tertentu. Pendidikan pada masa ini terutama terkait dengan nilai-nilai agama, seperti di kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang mengajarkan ajaran keagamaan dan spiritual melalui pendidikan nonformal. Salah satu contoh adalah pendidikan di kuil-kuil atau pusat keagamaan, tempat para biksu dan pendeta mendidik para bangsawan atau kalangan tertentu tentang teks-teks suci.
Seiring dengan datangnya Islam ke Nusantara, sistem pendidikan juga mengalami perubahan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam menjadi pusat pengajaran agama dan moral, serta keterampilan dasar seperti membaca dan menulis. Pendidikan pesantren ini memberikan kontribusi yang besar dalam menyebarkan ajaran Islam sekaligus membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran spiritual dan sosial. Namun, pendidikan ini tetap bersifat terbatas dan hanya diakses oleh kalangan tertentu.
Perubahan besar dalam pendidikan di Indonesia mulai tampak saat Belanda menjajah Indonesia. Pendidikan modern mulai diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda, namun sistem yang diterapkan sangat diskriminatif. Pendidikan formal yang diberikan oleh Belanda pada awalnya hanya untuk anak-anak bangsa Eropa dan elit pribumi yang bekerja untuk pemerintah kolonial. Sekolah-sekolah seperti "Europeesche Lagere School" (ELS) diperuntukkan khusus bagi anak-anak Eropa, sementara sekolah pribumi, seperti "Hollandsche Inlandsche School" (HIS), hanya dapat diakses oleh golongan pribumi tertentu, terutama bangsawan dan pegawai rendahan.
Pendidikan yang diberikan oleh kolonial Belanda bertujuan untuk mencetak tenaga kerja yang bisa membantu administrasi kolonial, bukan untuk meningkatkan kapasitas intelektual atau kesejahteraan masyarakat pribumi secara umum. Kurikulum yang diterapkan juga lebih fokus pada keterampilan praktis dan penanaman loyalitas kepada pemerintah kolonial. Akses pendidikan untuk rakyat biasa sangat terbatas, dan bahkan banyak wilayah yang tidak memiliki sekolah sama sekali. Ini menciptakan jurang yang dalam antara kaum terdidik dan mayoritas rakyat yang tetap buta huruf.
Pada awal abad ke-20, muncul kesadaran di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan sebagai sarana pembebasan dari penjajahan. Pendidikan dianggap sebagai alat yang dapat meningkatkan kesadaran nasional dan membantu perjuangan melawan kolonialisme. Organisasi-organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo (1908) dan Sarekat Islam (1912) melihat pendidikan sebagai elemen penting dalam mengembangkan kesadaran politik dan identitas kebangsaan. Mereka memperjuangkan agar pendidikan tidak hanya menjadi hak kaum elit, tetapi juga untuk rakyat jelata.
Ki Hadjar Dewantara, salah satu tokoh penting dalam sejarah pendidikan Indonesia, mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, sebuah lembaga pendidikan yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan kemerdekaan. Berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda, Taman Siswa memberikan pendidikan yang lebih inklusif, memperkenalkan pengajaran yang berlandaskan budaya nasional, serta menanamkan semangat kebangsaan kepada para siswa. Ki Hadjar Dewantara juga terkenal dengan semboyannya, "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani," yang menggambarkan peran penting guru dalam mendidik generasi penerus.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pendidikan menjadi salah satu prioritas utama dalam upaya membangun negara yang baru. Sistem pendidikan Indonesia mulai dibenahi untuk menyesuaikan dengan semangat kemerdekaan dan nilai-nilai kebangsaan. Akses pendidikan yang lebih merata menjadi salah satu cita-cita yang ingin dicapai oleh pemerintah. Pada era ini, bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan, menggantikan bahasa Belanda yang selama masa kolonial menjadi bahasa pengajaran utama.
Kurikulum pendidikan di Indonesia juga mulai bertransformasi, dengan menekankan pentingnya pendidikan umum yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan, moral, serta ilmu pengetahuan modern. Pemerintah Indonesia juga memperkenalkan kebijakan pendidikan dasar yang wajib diikuti oleh semua anak, sebagai bagian dari upaya meningkatkan angka melek huruf di seluruh pelosok negeri.
Namun, meskipun banyak upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan akses pendidikan di Indonesia, tantangan masih tetap ada hingga hari ini. Ketimpangan dalam akses pendidikan di berbagai wilayah, terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara daerah barat dan timur Indonesia, masih menjadi masalah serius. Infrastruktur yang kurang memadai, kurangnya guru yang berkualitas, serta beban administrasi yang sering kali membebani sistem pendidikan adalah beberapa tantangan yang dihadapi.
Selain itu, pendidikan di Indonesia juga dihadapkan pada tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi. Sementara di satu sisi teknologi dapat menjadi alat yang membantu meningkatkan kualitas pendidikan, di sisi lain ia juga menuntut adanya penyesuaian dalam sistem pengajaran, kurikulum, dan infrastruktur pendidikan. Pembelajaran daring, misalnya, menjadi solusi dalam kondisi-kondisi tertentu, tetapi juga mengungkapkan kesenjangan akses teknologi antara siswa di daerah perkotaan dan pedesaan.
Secara keseluruhan, pendidikan di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang, dari masa tradisional hingga era modern. Meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai, tantangan yang ada menunjukkan bahwa pendidikan akan terus menjadi bidang strategis yang menentukan masa depan bangsa. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya soal mentransfer pengetahuan, tetapi juga membangun karakter, identitas, dan daya saing bangsa di kancah global.