Sejak Ramadhan kemaren saya benar-benar mulai merasa bahwa hidup ini hanya sementara. Menjadi ingat seingat-ingatnya. Menjadi nyesel, senyesel-nyeselnya. Kenapa tidak dari dulu saya mengikuti dakwah-dakwah Ustadz Weemar Aditya sehingga saya bisa memperbanyak ibadah sejak dulu. Â Semua pesan yang beliau sampaikan melalui NGEFAST- yang banyak membahas akidah Islam benar-benar menggertak sisi lemah dari iman saya.
Awalnya, saya hanya mendengarkan dakwah beliau begitu saja, namun lama-kelamaan dakwah beliau kena di dasar hati saya, sampai-sampai banyak sekali pemikiran-pemikiran yang muncul mengenai akidah yang belum bisa saya pahami secara utuh. Memang benar semakin kita belajar semakin kita merasa bodoh dan kecil.
Kata pepatah yang mengatakan bahwa hidup ini hanya numpang minum sebentar, sekarang sudah memberikan makna yang lebih buat saya.Â
Pertama, numpang, berarti kita bukanlah siapa-siapa. Sesungguhnya kita tak punya hak untuk sombong dengan merasa memiliki dunia dan seisinya, terutama pada harta dunia. Segala yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan. Dan pemilik yang sebenarnya bisa mengambil kapanpun yang Dia inginkan. Kita sama sekali tidak bisa mengambil bagian atas hal ini.Â
Kedua, minum, sebuah pekerjaan yang sudah ditentukan dan hanya ada satu pilihan saja. Seperti Allah juga telah memwahyukan dalam Al Quran bahwa manusia diciptakan di dunia ini untuk melakukan satu hal, yakni Ibadah. Jadi tepat sekali peribahasa itu memiliki makna yang sangat mendalam.
Akhir-akhir ini saya mulai sadar tentang betapa sesungguhnya kematian itu tepat di depan mata. Â Seperti jarak antara Surga dan Neraka hanya terdapat pembatas Shirotol Mustaqim, maka jarak antara hidup dan mati itu hanya pada urat nadi. Jika nadi sudah tak berdetak lagi, bisa dipastikan ajal menjemput. Tinggal menunggu kapan waktu itu tiba.
Ustadz Weemar pernah bercerita bahwa beliau suka berdakwah karena semakin banyak beramal ibadah semakin banyak persiapan kita untuk menghadapi kematian. Ini penting sekali karena di akhirat kelak catatan amal ibadah dan maksiat kita akan dilaporkan dan ditimbang. Jika amal ibadah kita lebih berat masih selamatlah kita. Namun sebaliknya jika timbangan maksiat kita lebih berat. Na'udzubillaimindzalik. Tidak ada satu orangpun yang bisa menolong kita dari siksa api neraka.
Salah satu pemikiran yang mulai muncul dalam kepala saya, Allah menciptakan saya di dunia ini cuman satu, ya saya sendiri. Allah mencipatakan makhluk-makhluk yang lain, tetapi kok tidak ada yang mirip dengan saya ya? Kenapa? Semakin saya berpikir, semakin saya tidak mengenal konsepnya.
Menurut ilmu sosiologi, manusia disebut sebagai makhluk sosial, yang saling membutuhkan dan saling menolong satu sama lainnya. Begitu juga di dalam Al quran, "Jika semua urusanmu ingin dipermudah oleh Allah maka bantulah uruan orang lain. Niscaya Allah akan menyelesaikan urusanmu." Â Nah dari sini, saya mulai berpikir bagaimana jika dari sekarang kita hidup tak perlu memperhatikan orang lain sebagai bentuk persiapan nanti di akhirat kita akan hidup sendiri.
Saya tahu ini pertanyaan yang tidak perlu dijawab namun barangkali teman-teman mau membantu meluruskan pemirkiran nyeleneh ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H