Mohon tunggu...
Lailatul Mufidah
Lailatul Mufidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Realita Penegakan Hukum Kasus Revenge Porn di Indonesia

30 Mei 2023   12:07 Diperbarui: 30 Mei 2023   12:07 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Davies Surya

Teknologi berkembang pesat di era digital ini untuk memenuhi tuntutan manusia yang semakin rumit. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi merupakan fenomena yang sangat nyata. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi semakin penting dalam membantu manusia dalam menjalankan tugasnya. Namun, teknologi diakui memiliki dua wajah karena, di satu sisi, teknologi informasi dan komunikasi mengarah pada peningkatan pembangunan, kekayaan, dan peradaban manusia, tetapi juga merupakan alat yang sangat baik untuk melakukan kejahatan ilegal. Salah satunya adalah tindak pidana yang dikenal dengan istilah Revenge Porn, yaitu kejahatan menyebarkan pornografi non-konsensual dengan maksud mempermalukan korban atau mendapatkan uang, hiburan, atau ketenaran.

Tindak pidana Revenge Porn ini diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." Pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut diancam oleh Pasal 45 ayat (1) UU ITE yakni pidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah.

Namun, UU ITE tidak mampu melindungi korban dari kriminalisasi karena korban dianggap ikut terlibat memproduksi konten pornografi yang merupakan unsur pidana dalam UU Pornografi. Padahal dalam kasus penyebaran pornografi non-konsensual melalui media sosial, undang-undang yang relevan untuk ditegakkan adalah UU ITE, terlebih korban tidak memiliki niat untuk memproduksi dan menyebarkan pornografi. Seperti yang pernah terjadi di tahun 2019 dengan dirilisnya film mesra seorang wanita berinisial VA bersama tiga pria di Garut. A, mantan suami VA sengaja mengedarkan video tersebut. VA mengaku suaminya sengaja merekam video tersebut karena diancam dan khawatir suaminya berselingkuh. Menurut Asri Vidya Dewi, kuasa hukum VA, VA sudah melaporkan hal tersebut ke polisi sebelum video tersebut viral namun tidak dibalas karena kurang bukti. Kemudian, VA dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda satu miliar rupiah dengan skorsing tiga bulan karena melanggar UU Pornografi. Hukuman itu lebih keras daripada penjahat lain dalam kasus ini. Kasus ini menunjukkan bahwa korban pornografi balas dendam dapat dikriminalisasi sehingga korban takut untuk mengungkapkannya kepada pihak berwajib. Kriminalisasi mengacu pada membuat suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan kejahatan menjadi kejahatan.

Kasus Revenge Porn ini marak terjadi. Menurut laporan Komnas Perempuan dalam Catahu 2022, Revenge Porn masuk ke dalam 13 kategori Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) dengan jumlah terbanyak sepanjang tahun 2021. Ada sebanyak 21 laporan kasus revenge porn yang diterima oleh Lembaga Layanan dan 81 laporan diterima oleh Komnas Perempuan. Data tersebut belum mencakup semuanya karena banyak kasus seperti ini yang tidak dilaporkan. Semakin banyaknya contoh pornografi non-konsensual (pornografi balas dendam) yang tersebar melalui media sosial menunjukkan bahwa ada masalah dengan penegakan kejahatan ini.

Selain itu, penegakan hukum Revenge Porn melalui media sosial juga belum optimal karena dalam pelaksanaannya, proses penegakan hukum tindak pidana ini membutuhkan waktu yang lama. Hal ini membuat kasus revenge porn melalui media sosial masih banyak yang belum tuntas. Aparat penegak hukum, khususnya polisi, sulit dipercaya oleh masyarakat, bahkan trendingnya tagar #PercumaLaporPolisi menjadi bentuk ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum. Hal ini terjadi karena polisi tidak jarang menghakimi korban bahkan tidak menerima laporan korban. Ada beberapa oknum polisi yang menganggap bahwa penyebaran pornografi selalu atas izin korban, menganggap bahwa korban hanya mengada-ada. Bahkan ada beberapa oknum polisi yang menyuruh korban menyelesaikannya dengan jalur lain selain melalui jalur hukum karena kasus ini dianggap aib, apalagi jika pelakunya merupakan keluarga korban maka kasus ini dianggap merupakan aib keluarga yang harus diselesaikan secara internal. Kemudian pada saat proses hukum kasus ini, konten asusila korban tidak dapat di-take down. Hal ini sungguh membahayakan karena bisa saja konten tersebut terus disebarkan oleh orang lain sehingga semakin menyebar dan tersangka semakin meluas. Hal ini pun membuat proses penyelidikan dan penyidikan semakin terhambat karena tersangka utama semakin sulit ditemukan jejaknya.

Selain itu, maraknya pelaku Revenge Porn juga menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami bahwa Revenge Porn merupakat kejahatan yang serius yang telah diatur dalam undang-undang. Masyarakat juga terlalu mudah menghakimi orang lain. Jika ada korban Revenge Porn, masyarakat malah menganggap hal itu aib korban dan video tersebut malah dijadikan bahan untuk mencemooh korban, masyarakat lebih berfokus pada moral korban dibanding melihatnya sebagai kejahatan Revenge Porn. Masyarakat juga senang main hakim sendiri dan tidak mengindahkan asas presumption of innocent. Begitu menerima berita Revenge Porn, masyarakat sering kali mencari tahu siapa pelakunya untuk kemudian dicemooh bahkan melakukan tindakan yang melanggar hak privasi terduga pelaku seperti penguntitan. Penegakan hukum tindak pidana penyebaran pornografi non konsensual (Revenge Porn) melalui media sosial yang masih belum optimal membuat pelaku belum mendapatkan balasan dari perbuatannya. Selain itu, seiring dengan terjadinya kasus Revenge Porn melalui media sosial yang marak, ketertiban masyarakat pun belum terwujud. Untuk mengoptimalkan penegakan hukum Revenge Porn melalui media sosial perlu dilakukan upaya preventif dan
represif. Upaya preventif dan represif ini sangat penting untuk dilakukan karena kurang optimalnya penegakan hukum Revenge Porn melalui media sosial dalam faktor aparat penegak hukum yang kinerjanya belum optimal, masyarakat yang sulit bekerja sama dengan aparat penegak hukum, serta kebudayaan masyarakat yang turut menghambat penegakan hukum Revenge Porn melalui media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun