Moral Peneliti dalam Menggunakan Generative AI untuk Analisis
Tanggung Jawab
Dalam era digital yang semakin kompleks ini, hubungan antara profesional IT dan eksekutif di organisasi sering kali tidak berjalan mulus. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan terkait dengan cara komunikasi, pemahaman terhadap data, serta perbedaan perspektif antara kedua pihak. Artikel berjudul 5 Ways IT Professionals Drive Executives Crazy karya Phillip G. Clampitt, yang diterbitkan dalam Journal of Information Technology Case and Application Research (2024), mengidentifikasi lima masalah utama yang menyebabkan gesekan antara IT dan eksekutif. Salah satu masalah utamanya adalah kurangnya sensitivitas terhadap aspek manusia di balik data. Profesional IT sering kali terlalu fokus pada angka dan teknologi, sementara eksekutif lebih memperhatikan dampak nyata terhadap karyawan dan bisnis.
Dalam artikelnya, Clampitt mengutip survei yang menunjukkan bahwa 16% dari populasi adalah laggards, atau kelompok terakhir yang mengadopsi inovasi teknologi. Ini menciptakan tantangan besar bagi organisasi yang ingin bergerak cepat menuju digitalisasi penuh. Sementara itu, eksekutif sering kali merasa frustrasi dengan penggunaan jargon teknis oleh profesional IT yang tidak dapat mereka pahami, yang semakin memperparah masalah komunikasi. Forbes Technology Council (2023) bahkan mencatat bahwa istilah-istilah seperti "AI" dan "Big Data" sering kali disalahartikan atau dipahami secara berbeda oleh berbagai pihak, menciptakan kesenjangan pemahaman yang signifikan.
Oleh karena itu, penting bagi profesional IT untuk menyesuaikan pendekatan mereka dan lebih fokus pada komunikasi yang jelas dan efektif. Tanpa pemahaman yang sama antara profesional IT dan eksekutif, perusahaan akan kesulitan mencapai potensi optimal dalam memanfaatkan teknologi untuk kemajuan bisnis.
***
Salah satu poin utama yang diangkat dalam artikel Clampitt adalah perlunya profesional IT untuk beralih dari pendekatan berbasis teknologi semata ke pendekatan yang lebih manusiawi dan kolaboratif. Dalam banyak organisasi, IT sering dipandang sebagai unit teknis yang berfungsi seperti "plumbing"---beroperasi di belakang layar dan hanya mendapat perhatian saat ada masalah. Padahal, peran IT seharusnya jauh lebih strategis, terutama di era transformasi digital yang pesat. Namun, kesenjangan pemahaman antara IT dan eksekutif sering kali menghambat kolaborasi yang produktif.
Dalam hal adopsi inovasi, teori difusi inovasi yang dikemukakan oleh Rogers (2003) menjelaskan bagaimana populasi berbeda-beda dalam menerima teknologi baru. Berdasarkan model tersebut, hanya 2,5% dari populasi yang dikategorikan sebagai inovator, sementara kelompok early adopters mencakup 13,5%. Sebaliknya, mayoritas populasi (68%) terdiri dari kelompok early dan late majority yang lebih konservatif dalam mengadopsi teknologi baru. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri bagi profesional IT yang sering kali merupakan bagian dari kelompok inovator, tetapi harus berurusan dengan mayoritas organisasi yang lebih lambat dalam mengadopsi perubahan.
Clampitt juga menekankan pentingnya menghitung learning and absorption costs, yaitu biaya yang terkait dengan pelatihan dan adaptasi teknologi baru. Banyak profesional IT mengabaikan atau meremehkan biaya ini, padahal dampaknya sangat signifikan bagi organisasi. Misalnya, penerapan teknologi baru yang dianggap "keren" oleh tim IT sering kali tidak dipahami atau diterima dengan baik oleh karyawan lainnya. Penelitian dari Harter (2023) menunjukkan bahwa kesalahan dalam menghitung biaya ini dapat menyebabkan resistensi perubahan dan masalah motivasi, seperti fenomena "quiet quitting," di mana karyawan hanya melakukan pekerjaan minimal karena kurangnya motivasi atau pemahaman terhadap teknologi baru.
Di sisi lain, kesenjangan komunikasi antara IT dan eksekutif semakin diperparah oleh penggunaan istilah teknis atau "IT speak." Menurut Forbes Technology Council (2023), istilah-istilah seperti AI, blockchain, dan big data sering kali memiliki definisi yang berbeda di kalangan profesional IT dan eksekutif. Tanpa adanya penyelarasan pemahaman, diskusi tentang penerapan teknologi sering kali menemui jalan buntu. Oleh karena itu, penting bagi profesional IT untuk menghindari jargon teknis yang membingungkan dan beralih ke bahasa yang lebih mudah dipahami oleh eksekutif dan departemen lainnya.
****
Sebagai kesimpulan, hubungan antara profesional IT dan eksekutif harus dibangun di atas fondasi komunikasi yang jelas dan pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan bisnis. Artikel Phillip G. Clampitt menyoroti pentingnya kolaborasi yang lebih erat antara kedua pihak untuk memastikan adopsi teknologi yang lebih efektif dan efisien. IT harus bergerak melampaui sekadar pengelolaan teknis dan mulai memahami sisi manusiawi dari data dan teknologi. Dengan demikian, organisasi dapat lebih cepat beradaptasi dengan perubahan dan memanfaatkan teknologi secara optimal untuk mencapai tujuan bisnis.
Implikasi dari penelitian ini jelas: jika profesional IT tidak memperbaiki cara mereka berkomunikasi dan bekerja sama dengan eksekutif, organisasi akan terus menghadapi kesulitan dalam mengadopsi inovasi baru. Dengan memperhitungkan biaya pelatihan dan adaptasi, serta menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami, IT dapat menjadi mitra strategis yang benar-benar mendorong perubahan positif dalam organisasi. Ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang bagaimana teknologi tersebut dapat menguntungkan orang-orang di dalam organisasi.
Referensi: