Malam itu adalah saat pertama kalinya aku bertemu dengannya, dirumah sakit saat aku sedang terbaring sakit karena luka robek yang kuterima akibat dipukul oleh kakakku. Dengan masih memakai seragam sekolahnya Dia menangis disampingku dengan tiada hentinya, serta sempat pula kudengar dia berdo’a untuk kesembuhanku. Siapa dia pikirku, karena baru kali ini aku bertemu dengannya dan seingatku aku tidak punya adik atau saudara yang duduk disekolah menengah pertama. Akupun menyapanya dan mengajaknya berkenalan, dia bilang dia ingin menjadi temanku mulai sekarang dan dia ingin menjagaku agar aku tidak menderita lagi. Sejak saat itulah kami menjadi dekat bahkan sangat dekat, kami sering bermain bersama, diapun sering mengunjunggiku saling berbagi cerita suka dan duka, kami cepat sekali dekat mungkin karena kami memiliki pengalaman hidup yang hampir sama, sama-sama disiksa oleh keluarga yang kami sayanggi.
Sampai akhirnya orang-orang disekitarku mulai melihatku dengan pandangan aneh, aku tidak tahu kenap tapi mereka bilang aku sering bicara sendiri dan suka bermain sendiri. “What?” kataku, aku berbicara dan bermain dengan temanku kog, apa mereka tidak lihat, seenaknya mengataiku. Puncaknya pun terjadi ketika aku mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor, saat itu aku sedang menghindar dari temanku “dia” yang hampir tertabrak oleh motorku. Tapi mereka bilang aku berusaha bunuh diri dengan menabrakkan motorku kesebuah pohon. Sejak saat itu Sikap mereka mulai diluar nalarku, orang tuaku membawaku kerumah sakit bahkan menyuruhku untuk dirawat intens. Aku dirawat didalam ruangan yang terisolasi hanya aku sendiri bahkan aku tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan orang lain selain dokterku, apakah aku sakit? Aku tidak merasa sakit..., kenapa aku dijauhi atau lebih tepatnya dijauhkan? Apa aku berbahya bagi mereka?. Apa yang sebenarnay terjadi padaku?. Mereka bilang aku boleh keluar dan bisa bertemu dengan orang lain lagi bila aku sudah tidak melihat “dia” lagi, “why?” akupun bertanya-tanya dia temanku, dia tidak membahayakanku, kanap aku tidak boleh melihatnya, bagaimana aku melakukannya? dia selalu muncul dihadapanku walaupun ruanganku terjaga ketat yang bahkan orang tuaku pun tidak dapat masuk.
Dadaku berdetak kencang saat mendengarkan pernyataan yang disampaikan oleh dokterku, rasa takut, tidak percaya, sedih menyerangku bahkan sempat aku berpikir bohongkan dokterku ini? Bagaimana bisa?. Pertanyaan itu yang terlintas dipikiranku ketika dokter bilang bahwa “dia” yang kuangap temanku sebenarnya adalah aku sendiri “dia” yang aku ciptakan untuk mengobati luka masa laluku, “dia” yang kujadikan alasan untuk bunuh diri?. Aku tidak mengerti dengan semua ini, aku kenapa? Mataku mulai kabur lalu gelap aku tidak bisa melihat apapun....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H