Mohon tunggu...
Laila NurAini
Laila NurAini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya memiliki hobby bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Thrifting Memicu Penurunan Minat Beli terhadap Brand Lokal

27 Maret 2023   16:00 Diperbarui: 27 Maret 2023   16:08 1669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masyarakat Indonesia terutama di kalangan anak muda, pastinya sudah tidak asing dengan istilah 'Thrift' atau 'Thrifting'. Kata 'Thrift' berasal dari bahasa inggris yang berarti hemat atau dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengurangi atau meminimalisir pemborosan keuangan. Kegiatan thrifting ini berupa jual beli barang-barang bekas berupa baju, celana, tas, sepatu, topi, ataupun barang lain yang berhubungan dengan fashion yang masih layak dipakai dan biasanya barang-barang ini diimpor dari luar negeri seperti Jepang, Korea, Singapura, Australia, dll. 

Barang-barang bekas yang diperjual belikan dalam kegiatan thrift ini biasanya adalah barang-barang branded, oleh karena itu kegiatan thrift ini banyak digemari oleh kalangan anak muda Indonesia. Di Indonesia sendiri thrift shop ini tersebar di berbagai daerah di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan masih banyak lagi. Tak jarang masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil tetap bisa melakukan kegiatan thrift ini melalui sosial media ataupun e-commerce.

Keputusan masyarakat untuk membeli barang-barang thrift ini dipengaruhi oleh minat beli, dimana minat beli merupakan kemungkinan konsumen membeli suatu merek atau kemungkinan konsumen berpindah dari merek satu ke merek lain (Kotler & Armstrong, 2018). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli kaum muda Indonesia terhadap barang thrift diantaranya yaitu sikap orang lain dimana sikap orang lain iniakan mempengaruhi seseorang terhadap apa yang ia suka. 

Faktor kedua adalah sikap konsumtif dari kaum muda Indonesia yang ingin memiliki atau menggunakan barang-barang branded dengan harga yang terjangkau. Yang ketiga karena banyaknya pilihan atau model dari thrift juga turut menjadi faktor kalangan muda memilih membeli pakaian thrift daripada produk lokal buatan Indonesia yang dinilai kurang modis, harga yang cukup menguras dompet, dan pilihan model yang dirasa terlalu biasa.

Dalam sebuah penelitian ditemukan adanya penjualan pakaian bekas ini menciptakan suatu pola budaya, hal ini kemudian membawa dampak bagi orang-orang disekitar sehingga fenomena pembelian pakaian bekas ini memiliki nilai guna bagi masyarakat terutama anak muda yang memiliki gaya hidup kekinian (Hochtritt, 2019).

Kegiatan thrift sendiri memiliki dampak positif selain untuk diri sendiri juga untuk bumi, thrift dapat menghemat pengeluaran, menambah koleksi pakaian yang jarang digunakan oleh orang lain (limited edision), membuka peluang usaha bagi masyarakat, dan mengurangi penumpukan sampah di bumi akibat adanya limbah dari proses produksi pakaian. Namun dibalik hal positif tersebut, thrift memiliki banyak dampak negatif baik bagi kesehatan, bagi negara yang mengimpor pakaian bekas, dan bagi pelaku bisnis lokal. 

Dampak negatif dari thrift bagi kesehatan diantaranya dapat menimbulkan penyakit kulit akibat dari jamur yang berada di pakaian tersebut karena telah lama ditimbun. Bagi negara yang mengimpor pakaian bekas termasuk Indonesia, adanya thrift ini dinilai menambah jumlah limbah karena tidak semua pakaian masih dalam kondisi layak pakai.

Dampak negatif lain dari thrift yaitu dapat merusak industri domestik di bidang konveksi dan garment. Adanya thrift juga menjadikan minat beli masyarakat terhadap brand lokal semakin menurun karena perbedaan harga yang cukup jauh. Kementrian perdagangan Indonesia mengeluarkan surat tentang bahaya pakaian bekas impor, pemerintah juga menetapkan UU No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan yang menyebutkan bahwa "Setiap Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru".

Akibat dari adanya larangan thrifting yang mengganggu industri tekstil lokal, pemerintah menyita baju impor bekas yang akan di perjual belikan dan akan dimusnahkan. Upaya pemusnahan ini merupakan tindak lanjut pengawasan terhadap perdagangan dan impor pakaian bekas yang dilakukan secara berkelanjutan.

Adanya larangan impor pakaian bekas ini berdampak bagi para pengusaha thrift, larangan tersebut menyebabkan pendapatan pengusaha thrift menyusut. Masyarakat Indonesia sendiri pro dan kontra mengenai kebijakan yang diambil pemerintah. Para pengusaha thrift berpendapat bahwa impor pakaian bekas ini bukanlah menjadi musuh bagi pengusaha lokal karena sejatinya musuh dari brand lokal sendiri adalah barang-barang palsu atau kw. 

Adapun masyarakat yang setuju dengan larangan thrift berkembang di Indonesia namun tidak dengan keputusan yang diambil pemerintah untuk membakar pakaian bekas impor tersebut, melainkan mengembalikan pakaian impor bekas tersebut sesuai fungsi awalnya yaitu untuk membantu korban bencana. Sampai saat ini para pelaku usaha thrift masih menunggu solusi atas larangan thrift di Indonesia, mereka berharap pemerintah dapat memberikan solusi terbaik yang nantinya dapat menguntungkan masyarakat dan juga negara dengan tidak menjatuhkan salah satu usaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun