SYUKUR ALHAMDULILLAH, jalan Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) Â terlaksana dengan damai, berkualitas, dan bermartabat. bermusyawarah ini merupakan langkah awal yang baik sehingga muktamar nu ke-34 ini dapat benar -- benar berjalan dengan khidmat. Benar adanya, sebelumnya muktamar ada kegelisahan terulangnya kembali kegaduhan Muktamar Ke-33 NU di Jombang (2015).Â
Kegelisahan ini merupakan sesuatu yang sangat wajar karena kuatnya polarisasi yang terjadi di kelompok elite PBNU, saling mendukung di antara dua kandidat utama, dan lemahnya jembatan yang menghubungkan kedua kandidat.Â
Kedua pendukung calon pemimpin baru NU, yang dalam fase tertentu ini terlibat perseteruan, sebenarnya tidak sekadar mengedepankan relasi kuasa yang timpang. Akan tetapi, kedua pihak yang terlibat itu ingin memberikan pelajaran yang sama yakni demokrasi kepada warga NU.Â
Dalam sebuah peralihan kepemimpinan ini, memerlukan proses kontestasi mempromosikan calon terbaiknya secara sportif dan humanistis. Keberkahan kasih sayang dan pertolongan Allah SWT, doa para masyayikh, serta etos kerja, dan kompaknya panitia pelaksana dan pengarah. Perbedaan pandangan, dan dinamikanya dapat dikelola dengan memanfaatkan ruang musyawarah dan demokrasi.
Dalam setiap figur, potensial NU yang dipercaya setiap pengusungnya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengakses tampuk kepemimpinan NU. Kendati dalam proses pengusungan calon ketua umum PBNU, para pendukungnya melakukan beragam cara untuk meyakinkan para muktamirin bahwa calonnya adalah figur yang terbaik.Â
Kedua belah pihak tetap menyadari bahwasanya melestarikan harkat dan martabat NU jauh lebih penting daripada mempertahankan konflik kepentingan.Â
Siapa pun yang terpilih harus didukung, semua pihak demi terciptanya kemaslahatan bersama, dan kemajuan jam'iyah dan jama'ah NU di masa yang akan datang. Penentuan Rais Aam KH Miftachul Akhyar oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) sepenuhnya dilakukan melalui musyawarah dengan penuh keadaban, kesantunan, dan ketawadukan.
Itulah yang dilaporkan Juru Bicara AHWA Prof KH Zainal Abidin di depan rapat pleno AHWA. Sedangkan, pemilihan ketua umum diawali dengan musyawarah serta dilanjutkan dengan proses pemilihan yang sangat demokratis, dewasa, matang, dan berkualitas. Proses menuju muktamar itu memang dilingkupi aneka rupa perubahan waktu pelaksanaan.Â
Bahkan, di sela-sela proses tersebut terjadi persitegangan yang dialektis antara pihak yang pro dan pihak yang kontra untuk menunda dan memajukan hajatan lima tahunan itu. Tapi, semua pihak tetap bersepakat untuk menyukseskan muktamar dengan legawa dan bersahaja. Itulah keunikan (antiquity) NU, yang selama ini terjadi.Â
Sekeras apa pun persaingan yang terjadi dalam proses perhelatan muktamar, setiap pihak yang semula mengedepankan egoisme personal, dan komunalnya dalam berkontestasi selalu mengalami antiklimaks ketika berhadapan dengan tanggung jawab untuk menjaga martabat NU.
Gambaran tersebut bisa dicermati dari perhelatan muktamar NU pada tahun 1984 di Situbondo yang dilingkupi perseteruan. Perseteruan antara syuriah dan tanfidziyah kala itu berdampak pada terbelahnya kepengurusan antara kubu Cipete dan kubu Situbondo.Â