Afifah dan Malam Berdarah di Pandan
Oleh : Lailan Syafira
Pantai Pandan Sibolga, 2010 (Riyanthi Sianuri)
Pandan, pantai termahsyur di Kota Elanga, Sibolga. Keindahan panorama pantai dengan Pulau Situngkus di tengah-tengahnya itu membuat siapapun yang melihatnya pasti berdecak kagum. Sibolga, surganya para nelayan. Pandan, tempat nelayan bergumul mencari ikan. Dan Pandan, tempat semua orang bersuka cita bersama keluarga tercinta. Tapi tidak untuk dia...
Langit di ufuk barat Pandan sore itu semburat jingga, tanda sang surya akan pergi dari pelukan sang alam, berganti malam bertemankan rembulan dan bertabur bintang gemintang. Sore itu, cerah ceria terlukiskan di panggung langit Pantai Pandan. Namun, keceriaan panggung langit dan keindahan Pandan bukanlah lagi miliknya. Dia tidak tahu kapan terakhir kali ia menikmati keindahan Pandan, bahkan dia tidak perduli lagi dengan keceriaan yang dimainkan oleh orkestra langit di sore hari, seperti hari ini. Pandan memang tempat tinggalnya, tapi pandan juga menjadi neraka baginya. Afifah namanya. Gadis bisu anak nelayan yang telah lima tahun di tinggal ibunda tercinta menghadap Sang Pencipta. Seperti hari-hari biasanya, setiap sore ketika semburat jingga menghiasi langit, Afifah duduk di tepian pantai sambil memandang lepas kearah lautan. Tatapannya kosong, seolah ia hendak berbicara kepada laut, tapi laut tak mengerti apa yang di katakan Afifah. Di tangan kanannya tergenggam selembar foto, foto sang bundatercinta. Nanar ditatapnya foto itu, seketika bulir bening jatuh membasahi pipinya. Ia rindu bunda. Dalam hatinya tersirat keinginan untuk segera menyusul bunda, tapi entah kapan waktu itu datang. Nun dari kejauhan, Afifah melihat segerombolan perahu nelayan mendekat. Diantara gerombolan perahu itu, dia melihat sebuah perahu yang sangat ia kenal. Perahu itu? Perahu lelaki itu. Lelaki yang telah membuatnya menganggap Pandan sebagai neraka. Lelaki itu, lelaki itu adalah ayahnya. Lelaki itu lalu turun dari perahunya menghampiri Afifah. Wajahnya hitam legam, perawakannya kasar, dan matanya seperti elang yang hendak mencengkram mangsanya.
“Plak!!!.” Tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Afifah.
“Sedang apa kau disini, heh? Apa sudah tidak ada lagi yang bisa kau kerjakan di rumah sehingga kau enak-enakan bersantai disini, sementara aku di tengah laut sana mencari uang…, menantang ombak?!! Pulang kau!!!” Bentak lelaki itu pada Afifah sambil menarik paksa rambutnya. Begitulah tingkah laku lelaki itu setiap hari pada Afifah sejak ia di tinggal mati istrinya. Afifah sering di tampar, di tendang, di kurung dalam kamar mandi, dan di sulutnya dengan puntung rokok yang masih menyala. Afifah menangis kesakitan. Namun, bila lelaki itu mendengar Afifah menangis, keamarahannya semakin menjadi-jadi. Untung saja di rumah, Afifah tidak sendiri, ada Etek* Rasidah yang menjadi pembelanya. Etek Rasidah adalah kakak sepupu ibunya yang sangat menyayangi Afifah seperti anak kandungnya sendiri, sebab sejatinya etek Rasidah tidak memiliki anak. Karena tidak bisa memberikan keturunan itulah makanya etek Rasidah di tinggal pergi oleh suaminya yang menikah lagi dengan wanita lain dan kini tinggal di pedalaman Barus.
“Rasidah! Rasidah!.” Teriak lelaki itu sambil mengetuk pintu dengan keras.
“Sebentar!.” Jawab etek Rasidah dari dalam rumah. Tak lama, pintu pun terbuka. Lelaki itu kemudian mencampakkan Afifah ke lantai, sehingga Afifah tersungkur.
“Ada apa ini, Badrun? Memangnya apa salah si Afifah sampai kau perlakukan dia seperti ini?! Apa kau sudah lupa, si Afifah ini anak kandung kau, Badrun! Apa pantas kau berbuat seperti ini padanya?”
“Apa salahnya kata kau? Lamak inyo duduk di pantai tu samantara ambo malaut di pantai nun mancari kepeng! Apo indak ado lai karajonyo di rumah ko!”**