"Nduk. Sing temen yo nek mondok. Ndak usah neko-neko. Eling tujuanmu soko omah. Nggolek ilmu karo barokah e kyai seng akeh. Insya Allah dungo bapak ibu mboten supe." --Ibu
("Nak, yang serius ya kalau mondok. Tidak perlu nyleneh-nyleneh. Ingat tujuanmu dari rumah apa. Carilah ilmu dan barokahnya kyai yang banyak. Insya Allah doa bapak ibu tak akan pernah lupa. -Ibu )
Beberapa tahun lalu, ibu titip pesan nasehat itu sebelum langkahku beranjak pergi jauh dari kampung halaman. Kuputuskan untuk merantau ke seberang provinsi selepas aku sekolah menengah pertama. Kuputuskan untuk mewujudkan mimpi ibu yang sempat tertunda. Ia ingin aku menjadi seorang Hafidzul Qur'an seperti adiknya. Beliau ingin agar hidupku lebih baik dari pada dirinya. Meski pada dasarnya keputusanku bukan bermula dari keinginan diri sendiri.
"Ah, kalau mau lebih baik memang harus dengan hafalan qur'an. Kan banyak caranya? Lagipula ngapain capek-capek hafalan." gerutuku dalam hati.
Sebenarnya, aku sedikit kesal jika harus dipaksa. Tapi apa dayaku, mau tak mau, aku penuhi permintaan itu meski awalnya aku sempat ragu dengan kemampuanku. Sayangnya, lagi-lagi, kata-kata ibu selalu disuntikkan padaku agar aku menurutinya.
"Orang kalau hafal al-qur'an insya allah senantiasa dilindungi Allah nduk, bagaimana tidak? Lah yang kamu jaga kalam-kalam allah, mana tega Allah nanti menelantarkan kamu?"
Deg. Kata-kata ibu benar-benar mengena sekali. Seolah-olah ibu mengerti gerutu kekesalanku dalam hati. Kalau sudah disuntik kata-kata begini, itu berarti aku harus mengalah dan mencoba melangkah di tanah rantauan demi seutas harapan ibu agar terwujud nyata.
Di tanah rantauan ini, tak hanya menghafalkan al-qur'an saja, aku juga meneruskan sekolahku di jenjang Aliyah. Gegara itu, aku harus pandai membagi waktuku antara sekolah dan menghafal. Aku harus bisa mengatur waktu agar bisa menyelesaikan tugas pondok dan sekolah.
Berhari-hari sudah dijalani, berhari-hari itu pula aku jatuh bangun dengan keadaanku. Acapkali aku menangis di kamar mandi karena tidak kerasan dengan suasana pondok dan sekolah. Ditambah dengan kemampuan membaca al-qur'anku yang masih perlu bimbingan lagi sebelum menghafal. Tak jarang hal itu yang menyebabkan pula aku sering terkena sentakan abah kyai karena tak pernah lancar setoran. Memang, syarat awal sebelum menghafal ialah menguasai ilmu tajwid terlebih dahulu, minimal sudah lancar cara membaca al-quran, agar tidak mengalami kesulitan dalam menghafalkannya.
Sempat berpikir untuk berpindah saja atau berhenti berjuang. Egois sekali aku waktu itu. Aku tak pernah memikirkan biaya berapa yang telah dikeluarkan selama diperantauan ini. Lagi-lagi, rencana itu gagal karena tidak didukung sama sekali oleh keluarga.
"Yang sabar ya. Dimana-mana kalau mau jadi orang sukses ya harus berjuang dulu. Tidak ada yang instan. Semua butuh proses".Â