Hari itu dengan tekad yang sudah bulat, perempuan asal Sragen tersebut mantap melepas pendidikan kedokterannya yang sudah ditempuh selama 2 tahun. Dikarenakan Ia sudah tidak betah dengan lokasi universitasnya terus mengalami kebanjiran dan beberapa hal lain, membuatnya yakin untuk tidak melanjutkan kuliahnya.Â
Terhitung sejak sekitar tahun 1997 Sumiyarsih atau yang akrab dipanggil 'Bu Asih' mulai merintis usaha yang menjadikan 'konsekuensi' atas pilihannya sendiri. Namun, perjalanan tersebut tidak selalu mulus, begini lah cerita awal mula bu Asih mengembangkan usahanya yang masih eksis sampai sekarang.
Perjalanan itu diawali dengan cerita bu Asih yang saat setelah pulang dari Semarang; universitasnya dahulu, Ia merasa bosan jika dirumah saja, dan berpikir untuk membantu bapak dipasar yang memiliki toko sembako. Pekerjaan yang dilakukannya saat itu adalah menjadi pemasok atau sales ke daerah-daerah terpencil di Sragen.Â
Berhubung pada masa itu handphone masih jarang ditemukan, bu Asih harus lebih ekstra untuk mempromosikan barang dagangannya. Dibarengi dengan diadakannya pernikahannya saat itu membuat bu Asih berfikir untuk hidup mandiri tanpa bantuan orangtuanya. Hal ini Ia lakukan selama kurang lebih 1 tahun.Â
Lalu bu Asih berhenti menjadi pemasok saat mengandung anak pertamanya. Disitulah Ia mulai berjualan dipasar tradisional yang sudah tetap dan tidak berpindah-pindah. Pada masa itu, kios yang Ia miliki masih kecil dan hanya dibantu satu atau dua karyawan saja. Tentu saja saat merintis, banyak cobaan yang bu Asih hadapi, seperti orang berhutang yang tidak dibayar-bayar.Â
Masa itu kerap pembelinya membawa barang dulu namun membayarnya nanti, dipikirnya tidak apa-apa, biar dikenal orang dulu. Namun setelah kejadian itu, bu Asih berfikir jika diteruskan akan berdampak buruk bagi sirkulasi keuangan ditoko. Maka dari itu Bu Asih melakukan evaluasi untuk memperbaiki sistem yang diterapkan ditokonya.
Seiring waktu berjalan, kios yang dirintis bu Asih mulai menunjukkan perkembangannya. Semula hanya 1 kios dan 2 pegawai, sekarang bu Asih memiliki 3 kios dan 7 karyawan. Namun cobaan tidak berhenti disitu, saat covid-19 mulai merebak di Indonesia, sektor ekonomi pun jadi lumpuh seketika.Â
Masyarakat dibatasi untuk mobilitasnya, dan pedagang pun bingung harus membuka toko atau tidak. Dampak dari pandemi ini juga meningkatnya daya beli masyarakat dalam berbelanja di online shop. Dengan adanya online shop ini, toko-toko tradisional dipasar mulai ditinggalkan karena kurang fleksibel.Â
Masyarakat lebih menyukai berbelanja daring dikarenakan transaksi mudah, tidak perlu jauh-jauh kepasar, dan banyak promo yang ditawarkan. "Iya mbak, semenjak ada online shop pasar mulai sepi, mungkin lebih enak ya tinggal lihat-lihat hp barang sudah nyampai." Ujar bu Asih saat diwawancarai.Â
Pengalaman pahit tersebut tidak membuat bu Asih putus asa. Ia semakin semangat untuk mempertahankan tokonya di era digital ini. Bu Asih beradaptasi dengan perkembangan zaman, dimana Ia menambah metode pembayaran non-tunai untuk transaksi di tokonya.Â
Dan juga bu Asih sudah menggunakan nota digital yang membantunya untuk memberikan harga pada barang-barang yang dijualnya. Bu Asih juga melakukan team work dengan karyawan dan beberapa distributor untuk mendapatkan barang. Dengan keuletan dan kerja keras bu Asih, toko tersebut masih berdiri sampai saat ini.