Mohon tunggu...
Laila Fitria Handayani
Laila Fitria Handayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jangan lupa kunjungi instagram Learn.novo Terimakasih 😊

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka: Bebas Belajar atau Bebas dari Belajar?

30 Desember 2024   14:51 Diperbarui: 30 Desember 2024   14:50 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kurikulum Merdeka diperkenalkan dengan ambisi besar: memberikan kebebasan bagi peserta didik untuk belajar sesuai minat dan bakat mereka. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan personal, kurikulum ini dimaksudkan untuk mengurangi tekanan sistem pendidikan yang terlalu kaku dan menekan. Namun, implementasinya di lapangan ternyata menghadirkan masalah serius yang merugikan kualitas pendidikan itu sendiri.

Salah satu kebijakan utama dalam Kurikulum Merdeka adalah penghapusan ujian atau evaluasi yang menuntut peserta didik untuk lulus berdasarkan hasil belajar mereka. Peserta didik didorong untuk naik kelas tanpa memandang seberapa banyak yang telah mereka pelajari. Tujuan dari kebijakan ini konon adalah untuk mengurangi stres dan memberikan kesempatan bagi siswa yang mungkin menghadapi kesulitan dalam proses pembelajaran. Namun, konsekuensinya lebih jauh dari yang dibayangkan.

Fenomena yang muncul adalah, banyak peserta didik yang kini merasa tidak ada urgensi untuk belajar. Mereka tahu bahwa meski tidak belajar dengan baik, mereka tetap akan naik kelas. Dengan kata lain, siswa diajarkan bahwa usaha bukanlah hal yang utama. Meskipun tujuan kebijakan ini adalah memberi kesempatan lebih bagi mereka yang kesulitan, kenyataannya ini justru menghilangkan motivasi bagi sebagian besar peserta didik untuk berusaha keras. Mereka tahu bahwa tidak ada konsekuensi nyata jika mereka tidak serius dalam belajar.

Sikap ini semakin tercermin dari banyaknya komentar peserta didik yang meremehkan proses belajar. Ada yang mengatakan, "Santai saja, Bu, nanti juga naik kelas." Ini bukan sekadar candaan, tetapi refleksi dari pandangan bahwa belajar kini tidak lagi menjadi prioritas utama. Padahal, pendidikan sejatinya bukan hanya soal lulus atau naik kelas, tetapi tentang proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang didapatkan sepanjang perjalanan. Dengan menghapus mekanisme evaluasi yang tegas, kita mengajarkan peserta didik bahwa proses itu tidak penting, yang penting hanyalah hasil akhir yang mudah didapatkan

Bagi guru, tantangan ini semakin besar. Alih-alih menjadi pengarah yang menginspirasi peserta didik, banyak guru yang kini merasa terperangkap dalam sistem yang tidak mendukung mereka untuk menanamkan nilai-nilai penting kepada siswa. Bagaimana mungkin seorang guru bisa mendorong peserta didik untuk lebih baik, ketika sistem itu sendiri memberi mereka "jalan pintas" untuk naik kelas tanpa harus berusaha keras? Keberadaan Kurikulum Merdeka dengan sistem yang terlalu permisif ini membuat guru kehilangan otoritas untuk mendidik peserta didik secara optimal.

Sebagai hasilnya, peserta didik kehilangan pengertian tentang pentingnya disiplin dan usaha. Tanpa adanya evaluasi yang ketat, mereka tidak dipaksa untuk meningkatkan kualitas diri. Padahal, dunia luar tidak akan memberi mereka kebebasan serupa. Di dunia kerja, di masyarakat, dan dalam kehidupan nyata, tidak ada istilah "naik kelas otomatis." Oleh karena itu, kita harus mulai bertanya, apakah kebebasan yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka benar-benar mendidik peserta didik, atau justru mengabaikan pentingnya pembelajaran yang sesungguhnya?

Pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter peserta didik, yang meliputi rasa tanggung jawab, disiplin, dan kerja keras. Kurikulum Merdeka, meski dihadirkan dengan niat baik, tidak dapat dipungkiri telah melunturkan makna tersebut. Tanpa ada konsekuensi terhadap usaha yang dilakukan, peserta didik kehilangan kesempatan untuk belajar nilai-nilai tersebut. Mereka mungkin lulus dan naik kelas, tetapi mereka tidak akan memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks.

Untuk memperbaiki keadaan ini, kita perlu mengevaluasi kembali Kurikulum Merdeka. Kebebasan belajar yang diberikan harus tetap disertai dengan tanggung jawab. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memperkenalkan kembali sistem evaluasi yang lebih ketat dan berimbang. Peserta didik harus diberikan pemahaman bahwa setiap usaha yang mereka lakukan akan menentukan kualitas hasil yang dicapai. Tidak ada yang instan dalam pendidikan. Selain itu, guru harus diberi pelatihan lebih agar mereka mampu mengelola kebebasan belajar ini tanpa mengorbankan nilai-nilai penting dalam pendidikan.

Kurikulum Merdeka tidaklah salah dalam niatnya, namun perlu ada penyesuaian dalam implementasinya. Pendidikan bukan hanya soal memberi kebebasan, tetapi juga tentang mendidik karakter dan membentuk peserta didik yang tangguh, disiplin, dan bertanggung jawab. Jika kebijakan ini terus berlanjut tanpa evaluasi dan perbaikan, kita akan kehilangan generasi yang siap menghadapi tantangan kehidupan di dunia nyata.

Kebebasan dalam pendidikan seharusnya bukan berarti kebebasan dari belajar. Jika kita tidak segera melakukan perbaikan, kita akan menciptakan generasi yang tidak menghargai proses, yang hanya mengejar hasil tanpa pernah benar-benar memahami apa yang telah mereka capai. Sudah saatnya kita mengubah arah pendidikan Indonesia untuk menjadi lebih bijak dan mendalam, dengan mempertimbangkan bahwa pembelajaran sejati membutuhkan usaha, disiplin, dan pengorbanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun