Pandemi COVID-19 memberikan dampak yang sangat berpengaruh di bidang perekonomian. Salah satunya berupa kenaikan harga barang dan jasa. Sejak awal pandemi yaitu pada bulan Maret,  inflasi yang terjadi di Indonesia menurun hingga bulan Agustus sebesar 1,32% . Namun, setelah itu mengalami kenaikan kembali sampai akhir tahun 2020 kemarin mencapai 1,68%. Ada kemungkinan terjadi kenaikan lagi meskipun angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan tahun sebelumnya (tahun 2019 mencapai 2,27%) dan bahkan terendah sejak BPS merilis data inflasi.
Berdasarkan quantity theory of money, inflasi terjadi dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar, kecepatan perputaran uang (velocity of money), dan jumlah transaksi uang. Pada masa pandemi ini, jumlah transaksi uang di Indonesia menurun. Selain itu, kecepatan perputaran uang juga menurun. Hal ini menyebabkan jumlah uang yang beredar menjadi faktor utama yang sangat memengaruhi terjadinya inflasi.
Jumlah uang yang beredar di masyarakat dipengaruhi oleh suku bunga di perbankan. Suku bunga yang besar menyebabkan orang cenderung memilih untuk menabungkan uang mereka. Akan tetapi, tidak selamanya suku bunga besar. Ada kalanya suku bunga kecil. Seperti pada suku bunga pinjaman misalnya. Ketika suku bunga kecil, masyarakat yang sedang membutuhkan uang cenderung memilih untuk meminjam uang di bank. Kemudian digunakan untuk kebutuhan konsumtif atau modal usaha. Secara tidak langsung suku bunga ini juga ikut memengaruhi produksi suatu barang/jasa di suatu negara.
Sebagai contoh, saat ini harga kedelai di Indonesia mengalami kenaikan. Hal tersebut menyebabkan para pengrajin tempe dan tahu kewalahan bahkan mengalami kerugian karena sebagian besar pengrajin mengandalkan kedelai impor.Â
Pada periode awal pemerintahan Presiden Jokowi, ditargetkan Indonesia swasembada kedelai paling lambat tahun 2020. Namun, malah terjadi kenaikan impor kedelai. Artinya, produksi kedelai dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan kedelai nasional.
Sebagaimana dilansir di Kompas.com, Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo, mengakui bahwa pengembangan produksi kedelai oleh petani lokal sulit dilakukan untuk mencapai swasembada kedelai. Para petani lebih memilih menanam komoditas lain yang mempunyai kepastian pasar. Meskipun demikian, produksi kedelai harus tetap digenjot agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan kedelai secara mandiri dan tidak bergantung pada impor hingga mengalami krisis kedelai seperti saat ini.
Produktivitas petani menjadi hal utama yang disorot di sini. Seorang petani yang akan memproduksi kedelai pasti membutuhkan modal untuk benih, pupuk, dan lain-lain. Jika modal yang dimiliki tidak mencukupi, biasanya petani melakukan pinjaman, salah satunya ke bank. Pinjaman ke bank biasanya ada suku bunga pinjaman yang harus dibayar. Suku bunga yang kecil menjadi harapan bagi petani di kala seperti ini.
Untuk mencapai swasembada kedelai, petani harus menghasilkan produk kedelai yang mencukupi dan berkualitas. Di sini dibutuhkan pengetahuan menanam dan merawat hingga memanen yang baik. Selain itu, juga dibutuhkan teknologi yang menunjang proses produksi kedelai. Dengan begitu, produktivitas naik, petani dapat mengembalikan modal dan tidak terjadi masalah di perbankan maupun pasar. Ditambah si petani mendapat keuntungan bukan kerugian serta dapat menghasilkan kedelai yang berkualitas dan mencukupi kebutuhan nasional. Dengan demikian pula, swasembada kedelai dapat dicapai dan dapat menurunkan harga kedelai di Indonesia.
Sekian dari saya, terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat!
Sumber: [1]Â [2]Â [3]Â [4] [5]Â [6]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H