Pernahkah engkau tau bu, Â air mata yang tertahan di pelupuk mataku. Yang bisa jatuh kapanpun ia mau.Â
Mungkin engkau lupa, Â bukan aku yang ingin engkau lahirkan dari rahimmu. Â Tapi engkaulah yang berharap aku ada dalam rahim mu. Memang aku tak seperti yang lainnya. Â Yang bisa engkau banggakan. Â Namun aku memiliki sesuatu yang ku harap bisa membanggakanmu. Â Namun sekali lagi, engkau tak melihatku.Â
Aku tumbuh besar jauh darimu, hingga engkau tak pernah mengerti perih luka yang pernah aku alami. Yang engkau tau, Â engkau bekerja demi bisa menghidupiku. Â Namun engkau lupa, aku tetaplah anak yang membutuhkan uluran tanganmu. Â Butuh dekapanmu saat dunia tak bersahabat denganku. Namun aku tak tau, Â dimana lengan lengan itu saat aku membutuhkanmu.Â
Hingga saat ini, Â di usiaku yang ke 24 engkau acuhkan diriku karena tak memilih apa yang menjadi kehendakmu. Apakah hanya karena dia mampu mengantarmu kesana kemari engkau paksakan ia tuk hadir dalam hidupku? Â Cukuplah sudah kehampaan yang selama ini aku rasakan. Â Tak izinkan kah engkau kebahagiaan datang dalam hidupku. Engkau tak pernah bertanya bagaimana hatiku. Â Engkau tak penah bertanya mengapa aku begini. Â Dan engkau dengan sekenanya menganggap aku durhaka. Â
Bu, Â ingatlah. Â Apa yang engkau tanam dalam diriku kan engkau tuai nanti di akhir hidupku. Aku menyayangimu dengan caraku. Mungkin tak pernah nampak dipelupuk matamu. Â Tapi andai engkau tau, aku mencintaimu hingga kita berada di dunia yang berbeda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H