Mohon tunggu...
Laila Dzuhria
Laila Dzuhria Mohon Tunggu... Penulis - Parenting and Family Bloger

Ibu dua orang putra ini hobi sekali menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun, setelah kelahiran putra keduanya ia lebih menekuni dan fokus pada dunia pengasuhan dan keluarga. Tulisan-tulisan ini ia tuang atas ilmu yang telah didapatkan dari ahli dan berhasil diterapkan pada buah hati, sehingga ia tuangkan kembali melalui aksara untuk berbagi ilmu kepada parent lainnya. Semoga tulisan dalam blog ini dapat membantu parent pembelajar, ya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hindari Dua Belas Gaya Pengasuhan Popular

18 Juni 2021   14:42 Diperbarui: 18 Juni 2021   14:50 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Halo para orang tua pembelajar, Siapa nih di sini yang masih suka membandingkan buah hati? Yang menyindir? Melable/mencap si anak cengeng, pemalu, jorok, bla bla bla. Wah banyak deh capnya. 

Nah, ternyata gaya kita seperti itu adalah salah satu dari 12 gaya popular yang harus kita hindari dari pengasuhan, lho.

Ya, mungkin karena sudah tertanam dibenak kita pengasuhan dari orang tua kita terdahulu, sehingga kita tidak sadar dan menerapkannya kembali pada buah hati. 

12 gaya popular, adalah

  • Membandingkan, siapa yang masih suka membandingkan buah hatinya? Hentikan segera, ya parent. Kita saja tidak suka dibandingkan. Nah, anak pun sama. Ia tidak suka dibandingkan. Misalnya, "lihat tuh si Tini saja pintar Bahasa Inggris, masa kamu nggak bisa. Kalau orang lain bisa, kamu juga harus bisa." Hey, hey, hey... pak Bu.... anak kita, ya anak kita, beda sama anak orang lain. Dan sudah pasti anak kita ada kelebihan dibidang tersendiri. Cukup dukung kemampuan buah hati, biarkan ia berkembang menjadi dirinya sendiri. Tugas kita mengarahkan, mendukung, dan mendoakan.
  • Memerintah, "Ali, ambilin minum mama, cepetan, mama haus!" Hadeh, nggak ada kata tolong, nggak ada kata makasih. Kalau nanti anak kita seperti itu ke kita, kita ngomel-ngomel. Jangan, ya sayang. Ubah memerintah itu menjadi meminta tolong dan mengajak. Misalnya, "Kak, ayo tolong Manda rapikan mainannya, yuk. Kita taro truknya di garasi, yuk." Istilahnya tempat menyimpan mainannya kita beri lable: garasi truck molen, garasi truck beco. Misalnya begitu. Jadi bukan memerintah jika kita ingin anak melakukan sesuatu sesuai keinginan kita, tetapi mengajak anak dengan hal menyenangkan. Agar anak tidak terbebani dan dengan senang hati melakukannya.
  • Melable/Mencap, "dasar cengeng, penakut, jorok. Jadi anak nyebelin banget!" Nah kata-kata itu yang akan terpatri di hatinya, sehingga si anak yakin dirinya cengeng, nyebelin, jorok, dan penakut. Anak itu percaya apa yang dikatakan orang tuanya, lho. Jadi sebaiknya kita beri lable positif, ya. Klo di cap di jidad sih, mudah menghilangkannya. Tapi, ini di hati anak kita. Sudah pasti sulit dihapusnya. Jika kita kesal, ubah kata negatif menjadi kata positif, misal anak ngompol, biasanya kita cap dia anak jorok, nah kali ini coba diubah menjadi, "Ya Allah ngompol lagi anak Manda. Jadi anak yang bersih, ya Dik.  Nanti pipis di kamar mandi, ya pintar. Anak salih." Nah enak kan terdengarnya? 
  • Meremehkan, hayo siapa yang suka meremehkan si kecil? "Alah baru bisa nulis huruf A aja udah seneng. Mana melengkung gitu hurufnya." Masyaallah, mam.. itu anak sedang belajar, berusaha membanggakan hasil karyanya. Ya, mbok dipuji gitu lho. Di semangatkan, didukung, kalau melengkung nulisnya, ya pelan-pelan arahkan. Namanya juga belajar. Kita saja baru menjadi orang tua juga tidak langsung tepat kan pengasuhannya? Masih saja banyak salah dan harus belajar. Ya, sama anak kita juga begitu, mam.
  • Menyindir, "tumben bersih-bersih. Pantas saja tuh matahari terang hari ini." Hadeh, mam... tidak ada urusannya matahari sama kerajinan anak kita. Ketika anak rajin, maka pujilah. "Alhamdulillah, Kakak beresin tempat tidur. Pintar, berarti Kakak sudah tanggung jawab atas diri sendiri. Begitu seterusnya, ya sayang. Manda senang deh kalau kamu begitu." Lalu berilah pelukan untuknya. Ketika kita puji dan peluk, insyaallah anak akan melakukannya lagi dan ia merasa dihargai. 
  • Menghakimi, ketika anak cerita lalu kita langsung saja menghakiminya. Misalnya, ketika anak baru cerita ia bertengkar dengan seorang temannya, padahal kita belum tuntas mendengarkannya, tapi langsung saja kita menghakiminya. "Kamu pasti usilin si Nana, kan? Jadi dia marah sama kamu. Makanya, jadi anak jangan nakal. Kamu jadi nggak punya teman." Nah dengan cara kita seperti itu, akan menimbulkan jarak. Anak akan segan bercerita dengan kita di lain waktu. Cobalah untuk mendengarkan hingga tuntas baru memberikan tanggapan. "Ya Allah, jadi kamu dimusuhi teman kamu karena, ada teman yang fitnah kamu? Sedih banget, ya Kak. Manda juga kalau jadi kamu akan sedih." Setelah mendengar tuntas, kita samakan perasaan kita dengannya. Insyaallah anak menjadi nyaman ketika bercerita. Karena, merasa didengarkan, kita bisa berempati dengannya. Untuk memberikan nasihat, tunggu sampai anak tenang, ya. Karena, Bu Elly Risman berpesan, "jangan menasihati orang ketika emosinya sedang bermasalah." Nah ini pesan dari beliau bukan dari saya lho. Jadi keabsahannya insyaallah sudah pasti.
  • Menganalisa, siapa yang suka menjadi detektifnya anak? Apa-apa sudah menganalisa. Misal, anak bercerita, ia sudah berusaha jujur. Tapi, kita malah analisa kejadian sebenarnya, "kayaknya kejadiannya nggak gitu deh, Kak. Bohong kamu ya?" Nah ketika kita sudah begitu, anak akan malas bercerita lagi. Sebaiknya kita mendengar ceritanya sampai habis dan percaya dengan apa yang diucapkannya. 
  • Mengkritik, ketika anak mewarnai suatu gambar, misalnya warna sesungguhnya hijau, tapi dia mewarnainya kuning. Lalu kita langsung saja mengkritiknya, "ini kan daun, Kak, harusnya warna hijau dong. Jangan warna kuning, mana ada daun warna kuning." Misal begitu. Dengan cara kita ini, anak akan terputus imajinasinya. Bisa saja anak saat itu melihat daun yang sudah layu berwarna kuning kecoklatan, sehingga itulah yang tertanam dibenaknya. Atau bisa saja kuning itu warna kesukaannya sehingga anak mewarnai daun dengan warna kuning. Sebaiknya kita biarkan anak berimajinasi. Kita hanya mendukungnya dan memuji keunikan tersebut. "Masyaallah warna daunnya cerah, ya Kak. Warna apa itu? Kuning. Kakak suka, ya dengan warna kuning?" Timbulkan perbincangan di situ, ketika anak menjawab, kita akan tahu kenapa ia mewarnai daun menjadi warna kuning? Apapun jawabannya, terimalah, pujilah, besarkan jiwanya, kembangkan imajinasinya. Terkadang ada orang dewasa yang tak mampu mengembangkan imajinasinya, tidak tahu arah passionnya kemana? Itu dikarenakan sejak kecil, sudah terdistrack imajinasinya. Naudzubillah.
  • Mengancam, "awas ya kalau kamu main jauh-jauh, Mama kunciin kamu." Waw seram ya terdengarnya? Ganti kalimat tersebut dengan, "mainnya dekat rumah saja, ya Kak. Sebentar saja. Kalau sudah azan pulang, ya." Ketika kita memberikan penjelasan seperti itu, anak akan paham omongan kita. Anak juga tidak merasa tertekan. Kita saja tidak suka diancam, apalagi buah hati. Ketika kita mengancam, anak akan melakukan hal yang sama nantinya kepada teman-temannya dan bisa saja kepada kita, ketika ia dewasa. Tidak mau kan? 
  • Menasihati, menasihati boleh. Asalkan tidak terlalu panjang ya mam. Menasihati pun ada waktunya, ketika anak tenang. Maka berilah nasihat dengan jelas. Misal, anak main tidak meminta izin, "kamu dari mana?" Beri kesempatan anak menjawab. "Kamu kalau mau main, ya minta izin Manda dulu gitu lho. Kan biasanya Kakak minta izin." Berikan anak kesempatan merespon (biasanya Omar minta maaf dan menjelaskan alasannya ia melakukan hal tersebut), "besok-besok tidak diulangi lagi ya. Kalau main minta izin, ya. Manda tidak suka kalau kamu main tanpa izin." Sudah sampai di situ saja ketika kita menasihati. Anak tahu perasaan kita, perbuatannya yang salah sudah kita tegur, puji kebiasaannya, berikan peringatan untuk tidak mengulanginya. Anak pun biasanya akan memberikan penjelasan, tidak apa. Beri kesempatan anak menjelaskan. Dengarkan dan terima. Dengan cara seperti itu anak merasa dihargai dan melatih ia memberikan pendapat ketika dewasa kelak. Karena ini dipakai di dunia kerjanya, lho.
  • Menghibur, ketika anak bersedih biasanya kita langsung menghiburnya. Sebaiknya kita sebutkan nama perasaannya, tebak alasan ia bersedih, dan salurkan perasaannya. Ketika kita menghiburnya saat ia bersedih, ini yang akan membuat anak tidak bisa mengungkap perasaannya. Membuat anak menjadi tidak mengenal diri sendiri. 
  • Membohongi, "Ma, aku mau biskuit itu." Ketika anak melihat iklan biskuit yang jarang dibelinya. "Iya ntar beli, ya." Jawab si Mama. Padahal sama sekali Mamanya tidak niat membelikannya. Nah, gaya seperti ini bisa dikatakan membohongi. Sebaiknya bilang saja, "biskuit itu bukan rasa cokelat seperti biskuit kesukaan kamu lho. Lebih baik kita beli biskuit yang pasti kamu makan saja, ya?" Dengan cara kita berdiplomasi pada anak, insyaallah anak akan mengerti. Jika anak masih kekeh meminta biskuit tersebut, tidak ada salahnya membelikannya, tepati janji, agar anak merasakan rasa biskuit yang kita jelaskan tadi.

Itulah 12 gaya popular pengasuhan yang disampaikan oleh seorang ahli. Ketika aku mengubah 12 gaya popular tersebut, alhamdulillah hasilnya sangat memuaskan. Lebih berdampak positif, anak menjadi bisa membaca perasaannya sendiri, bahkan bisa menebak raut wajahku. Ia bisa berempati, simpati, menghargai, menjaga sikap, dan berani bersuara. 

Semoga tulisan di atas dapat dipahami, bermanfaat, dan dapat kita terapkan pada buah hati. Agar buah hati menjadi sosok yang berkarakter dan menyenangkan. Aamiin. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun