Ditulis oleh : Laila Adzahra, Dr. Dinie Anggraeni Dewi M.Pd., M.H., dan Muhammad Irfan Andriansyah S.Pd.Â
Pancasila memiliki fungsi pokok sebagai dasar negara Indonesia yang berarti dasar maupun pedoman dalam mengatur penyelenggaraan negara. Secara yuridis, hal ini tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada alinea keempat. Berkaitan dengan itu, Pancasila sendiri memiliki kekuatan yang mengikat. Jadi, apabila bertentangan dengan Pancasila maka akan dinyatakan tidak berlaku dan harus dicabut.
Fungsi lain dari Pancasila salah satunya ialah sumber dari segala sumber hukum. Hal tersebut ditegaskan oleh Peraturan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Cara Perundang-undangan, tercantum dalam Pasal 1 TAP MPR yang berbunyi, "...Sumber konstitusi nasional adalah Pancasila, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945,...".
Seperti yang kita ketahui bersama isi dari sila ke-lima yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keadilan berarti sikap moral yang menempatkan sesuatu pada tempatnya, ataupun memberikan hak kepada yang berhak. Keadilan ini pun dapat diartikan sebagai tidak berat sebelah, menimbang sama berat, dan mengukur sama panjang. Maka, dapat dikatakan bahwa keadilan ialah pilar dasar terciptanya masyarakat yang sejahtera juga bermartabat.
Sedangkan, keadilan dalam hukum sendiri ialah prinsip atau konsep yang mengacu pada keseimbangan, kesetaraan, dan perlakuan yang adil bagi semua individu dalam sistem hukum. Dapat diartikan bahwa setiap individu tanpa melihat latar belakang apapun, mau itu ras, bahasa, suku, agama, terkhusus status sosial dan lain sebagainya, memiliki hak yang sama di mata hukum untuk diperlakukan secara adil tanpa adanya diskriminasi.
Lalu, sudahkah setiap keputusan hukum yang diambil sesuai dan berlandaskan sila ke-lima Pancasila?
Berkaca pada kasus yang sedang marak diperbincangkan publik, yaitu salah satu tersangka yang terbukti melakukan korupsi komoditas timah dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan inisial HM yang telah merugikan negara sebanyak Rp 300 triliun namun hanya divonis selama 6 tahun dan 6 bulan penjara. Kasus tersebut menjadi bulan-bulanan masyarakat dikarenakan hukuman yang tidak sepadan dan dirasa tidak adil. Bahkan, baru-baru ini dilansir dari liputan6.com, Mahfud MD mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) angkat bicara dan mendorong kejaksaan untuk dilaksanakan banding atas vonis yang dijatuhkan kepada tersangka karena dinilai alasan pertimbangan yang ada tampak mengada-ada juga dibuat-buat.
Adapun menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, hukuman yang dijatuhkan kepada tersangka dinilai terlalu ringan dan tidak sebanding dengan kerugian juga dampak kerusakan yang diakibatkan terhadap negara.
"Hukuman itu terlalu rendah menurut saya. Karena saya berbasis pada teori pemidanaan. Konsep teori pemidanaan itu kan ada tiga. Ada retributif pembalasan, ada rehabilitatif, ada restoratif. Nah dalam kasus-kasus korupsi tambang, saya sepakat dengan Kejaksaan dengan menggunakan konsep retributif pembalasan," kata Hibnu kepada merdeka.com, Selasa, (24/12/24).
"Karena apa? Dengan hukuman yang tinggi nanti, misalkan banding yang tinggi, itu berdampak pada tambang-tambang yang lain tidak semena-mena terhadap tambang itu," sambungnya.