Mohon tunggu...
Laila AnjasariHarahap
Laila AnjasariHarahap Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Laila Anjasari Hrp

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Cerpen Purnama di Atas Pura Karya Wayan Sunarta dengan Pendekatan Pragmatik

9 Juni 2021   18:39 Diperbarui: 9 Juni 2021   18:50 4417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ABSTRAK

Cerpen atau cerita pendek merupakan jenis karya sastra yang dijelaskan dalam bentuk tulisan yang berwujud sebuah cerita atau kisah secara pendek, jelas, serta ringkas. Selain itu cerpen juga dapat disebut dengan sebuah prosa fiksi yang isinya mengenai pengisahan yang hanya terfokus pada satu konflik atau permasalahan. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Pendekatan pragmatik juga adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu hal yang dibuat atau diciptakan untuk mencapai atau menyampaikan efek-efek tertentu pada penikmat karya sastra, baik berupa efek kesenangan, estetika atau efek pengajaran moral, agama atau pendidikan dan efek-efek lainnya. Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut bagi pembacanya.

 Short story or short story is a type of literary work that is described in the form of writing in the form of a story or story in a short, clear and concise manner. In addition, short stories can also be called a prose fiction whose content is about a story that only focuses on one conflict or problem.The pragmatic approach is an approach that views literary works as a means of conveying certain goals to readers. The pragmatic approach is also an approach that views literary works as something that is created or created to achieve or convey certain effects on connoisseurs of literary works, either in the form of fun, aesthetic effects or effects of moral, religious or educational teaching and other effects. This approach tends to judge literary works based on the success or failure of achieving these goals for the reader.

 Kata kunci: pendekatan pragmatik, cerpen purnama di atas pura  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cerpen atau cerita pendek merupakan jenis karya sastra yang dijelaskan dalam bentuk tulisan yang berwujud sebuah cerita atau kisah secara pendek, jelas, serta ringkas. Selain itu cerpen juga dapat disebut dengan sebuah prosa fiksi yang isinya mengenai pengisahan yang hanya terfokus pada satu konflik atau permasalahan.

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Pendekatan pragmatik juga adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu hal yang dibuat atau diciptakan untuk mencapai atau menyampaikan efek-efek tertentu pada penikmat karya sastra, baik berupa efek kesenangan, estetika atau efek pengajaran moral, agama atau pendidikan dan efek-efek lainnya. Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut bagi pembacanya.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep Cerpen

Cerpen biasanya hanya memberikan kesan tunggal dan memusatkan fokus pada satu tokoh dan situasi saja yang penuh konflik, peristiwa dan pengalaman (Nurhayati, 2019: 116). Cerpen juga dapat disebut sebagai karangan fiktif yang berisikan hanya sebagian kisah kehidupan seorang tokoh.

Adapun unsur intrinsik dari cerpen adalah sebagai berikut:

1. Tema

Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Nurgiyantoro, 2005:68). Tema juga merupakan permasalahan utama yang ditampilkan pengarang. Dalam sebuah karya sastra bisa terdapat lebih dari satu permasalahan, tetapi dari beberapa permasalahan tersebut dapat ditarik benang merah yang disebut dengan tema utama.

2. Alur

Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam suatu cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian keseluruhan bagian fiksi (Semi, 1988:43). Maka alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun sebuah cerita.

3. Tokoh dan Penokohan

Pelaku yang memainkan peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin hubungan suatu cerita disebut tokoh. Adapun cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan (Aminuddin, 1978:79).

4. Latar dan Setting

Latar dan setting merupaka pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams melalui Nurgiantoro, 1994:175).

5. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah bagaimana cara menyampaikan cerita. Misalnya penulis cerpen menggunakan sudut pandang pertama (Aku) atau sudut pandang orang ketiga (Dia, mereka).

6. Amanat

Pesan moral yang terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit ataupun eksplisit. Implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Eksplisit, jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, anjuran; larangan dan sebagainya (Sudjiman, 1986:57-58). Pesan moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.

Sementara unsur ekstrinsik adalah berbagai unsur pembentuk yang membentuk cerpen diluar dari cerpen-nya sendiri, misalnya: latar belakang penulis, latar belakang masyarakat yang menyelubungi cerpen, norma di masyarakat, dsb. Berikut adalah penjelasannya:

1. Latar belakang penulis. Latar belakang penulis memberikan pengaruh tidak langsung terhadap cerpen. Bagaimana cara penulis memandang hidup, apa ideologinya, kondisi psikologis hingga ke aliran tulisan yang diusungnya.

2. Latar belakang masyarakat. Melalui bahasa yang digunakan dalam cerpen, secara tidak langsung cerpen juga akan mendapatkan berbagai latar belakang masyarakat penuturnya. Misalnya bagaimana waktu shalat dapat menjadi penunjuk waktu juga dalam bahasa Indonesia. "Saya akan berangkat ke rumahmu ba'da ashar" (sore). Selain itu, kondisi politik, ekonomi dan keadaan sosial dari suatu negara dimana masyarakat tersebut juga dapat secara tidak langsung berpengaruh pada cerpen.

3. Nilai atau norma di masyarakat. Berbagai nilai yang dijunjung oleh masyarakat dimana penulis hidup dan tinggal juga dapat memberikan ke-khas-an tersendiri pada cerpen yang ditulisnya. Nilai agama apa yang menjadi mayoritas, seperti apa nilai budayanya, apakah moralnya terhitung lurus, Bagaimana etika yang dijunjung, dsb.

B. Konsep Pragmatik

1. Pengertian Pragmatik

Ratna mengatakan pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan manfaat bagi pembaca (2009:72).

Levinson (dalam Rahardi, 2003:12) berpendapat bahwapragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkodifikasikan sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaannya.

Menurut Tarigan (1985:34) pragmatik merupakan telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara seseorang menafsirkan kalimat. Pendapat lainnya disampaikan Leech (1993:1) bahwa seseorang tidak dapat mengerti benar-benar sifat bahasa bila tidak mengerti pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Pernyataan ini menunjukan bahwa pragmatik tidak lepas dari penggunaan bahasa.

2. Tindak Tutur dalam Pragmatik

Leech (1993:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan; menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur;dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

Austin (dalam Leech, 1993:280) menyatakan bahwa semua tuturan adalah sebuah bentuk tindakan dan tidak sekedar sesuatu tentang dunia tindak ujar atau tutur (Speech act) adalah fungsi bahasa sebagai sarana penindak. Semua kalimat atau ujaran diucapkan oleh penutur sebenarnya mengandung fungsi komunikatif tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujarkan sesuatu dapat disebut sebagai aktivias atau tindakan. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam setiap tuturan memiliki maksud tertentu yang berpengaruh pada orang lain.

Menurut Chaer dan Leonie (2010:50) tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan.

BAB III

METODE PENELITIAN

Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah penelitian kepustakaan (library Research) yaitu dengan cara mengadakan studi lewat bahan bacaan yang relevan serta mendukung penelitian ini. Bahan bacaan yang dimaksud adalah cerpen. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode desktiptif kualitatif. Deskriptif yaitu penggambaran atau penyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai dengan objek penelitian, dengan cara menelaah secara seksama cerpen yang diteliti. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data tertulis berupa cerpen "Purnama di atas Pura". Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik baca catat. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bagaimana menganalis suatu karya sastra yaitu cerpen "Purnama di atas Pura" dengan mengunakan pendekatan pragmtik.

BAB IV

PEMBAHASAN

Bocah itu sangat suka menyaksikan purnama bertengger di pucuk-pucuk meru pura. Cahaya purnama telah memesona dan menyihir mata kanak-kanaknya. Sementara warga desa lainnya sibuk sembahyang, ia bersama kawan-kawan sebayanya bermain petak umpet di areal pelaba pura dekat pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Ia paling senang menyembunyikan diri di balik pohon beringin satu-satunya yang tumbuh di situ. Dari sana ia leluasa menatap purnama, tanpa mesti cemas akan tertangkap kawannya. Sebab tak seorang pun yang berani mendekati pohon beringin yang konon angker itu. Saat bengong menikmati cahaya purnama, ia lebih mirip pungguk kecil yang merindukan bulan muncul di sela-sela dedaun beringin. Seringkali ia membayangkan bidadari kecil bermain ayunan di bulan. Ia merasa bidadari itu memanggil-manggil dirinya. "Sstt...jangan berisik! Nanti aku ketahuan ngumpet di sini!" tegurnya pada bidadari yang dalam bayangannya ketawa menyaksikan kecemasannya.

Tapi bidadari kecil itu tidak ketawa, hanya senyum simpul dengan wajah berbinar-binar. "Tak usah cemas, mereka tidak akan tahu kamu ngumpet di situ. Ayo, ikut main ayunan bersamaku," ajak bidadari itu.

"Aku ingin sekali bermain bersamamu, tapi aku takut dimarahi Ibu. Apa kau lihat ayahku di sana? Ibu bilang, ayahku pergi ke bulan," ujar bocah itu murung. Setiap teringat ayah, wajahnya berubah sedih. Kawan-kawannya suka mengejeknya sebagai anak memedi, karena tidak jelas siapa ayahnya.

"Ayahmu?! Tidak ada siapa-siapa di sini, kecuali aku, ibuku dan ayahku. Seperti apa rupa ayahmu? Apa keningnya penuh kerut seperti ayahku?"

Bocah itu kebingungan menjawab pertanyaan bidadari kecil. Ia tidak pernah tahu seperti apa rupa ayahnya. Di rumahnya tidak ada foto keluarga. Ongkos membuat foto sangat mahal, dan hanya orang-orang kaya saja yang mampu membuatnya. Tapi dari cerita ibunya, ia bisa sedikit membayangkan seperti apa ayahnya.

"Kata Ibu, Ayah tidak tinggi, tapi tidak juga pendek. Ayah selalu berpakaian rapi, rambutnya juga suka disisir ke belakang dengan minyak yang tebal. Ibu bilang, Ayah punya banyak kawan yang sering main ke rumahku. Dan Ibu suka jengkel, sebab harus buat kopi banyak untuk kawan-kawan Ayah," tutur bocah itu dengan mata tidak lepas dari purnama.

"Lalu, ada urusan apa ayahmu ke bulan?" tanya bidadari kecil terheran-heran sambil masih berayun-ayun.

"Aku juga tak tahu. Ibu bilang, aku masih bayi saat Ayah pergi ke bulan. Ayah dijemput teman-temannya berbaju hitam-hitam. Ibu bilang, Ayah diajak menari di bulan. Kau tahu, ayahku pandai menari. Ingat ya, kalau kau ketemu ayahku, tolong bilang aku merindukannya!"

"Bagaimana mungkin aku ketemu ayahmu? Sudah kubilang, di bulan tak ada siapa-siapa!" ujar bidadari kecil kesal. Tapi, bidadari itu kasihan juga melihat bocah murung yang semakin murung itu. "O, ya, mungkin ayahmu sedang jalan-jalan ke bintang. Nanti kalau ketemu, aku akan sampaikan salammu," hibur bidadari kecil sambil mengerdipkan sebelah matanya dengan jenaka.

Perlahan segulung awan tebal melewati permukaan purnama sehingga cahayanya meredup. Bidadari kecil itu pun menghilang tanpa sempat mengucapkan salam pamit.

"Naahhh! Kena kau!" teriak seorang kawannya menepuk punggungnya sambil tertawa-tawa kegirangan. Kecuali dia, semua kawannya sudah tertangkap. "Kau curang, sembunyi jauh-jauh!"

Keesokan paginya ia beranikan diri mengulangi pertanyaan yang sama pada ibunya. "Ayah ke mana, Bu? Mengapa sampai sekarang tidak pulang-pulang? "Sampai kapan ibunya mesti berbohong pada anaknya yang hampir berusia 10 tahun itu? "Ayahmu masih sibuk di bulan! Tidak boleh diganggu!" kata ibunya agak ketus.

Si anak tidak puas dengan jawaban ibunya yang itu-itu saja. Ia mulai berani membantah. "Tapi, temanku si bidadari bilang, tidak ada siapa-siapa di bulan!"

"Apa? Bidadari?! Sejak kapan kau punya teman bidadari? Kau sudah gila, ya?!" ujar ibunya kesal. "Sekarang kau mandi dan pergi sekolah. Dan, jangan ulangi lagi pertanyaan bodohmu itu! Ibu sudah capek, mengerti kau?!"

Ketika Paman pindah tugas ke Jakarta, aku pun mengikutinya, dan melanjutkan pendidikan di sana. Sebenarnya beberapa kali Paman menyuruhku mengunjungi Ibu, tapi aku tidak pernah mau dengan alasan sibuk kuliah dan mengurusi berbagai kegiatan yang menyita waktuku di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang kudirikan bersama kawan-kawan. Aku pulang ke kampung. Sejak tadi, aku berharap menemukan kawan-kawan sepermainanku ketika masih bocah. Aku ingin mendengar kisah mereka selama aku minggat dari rumah. Tentu mereka terkejut melihat kemunculanku yang tiba-tiba. Mungkin mereka sudah beristri dan beranak. Atau mungkin mereka tidak lagi mengenaliku. Tapi, tidak satu pun kutemukan mereka. Di manakah Ole, Sindu, Arcana, Pala? Ke mana mereka pergi? Mengapa mereka tidak hadir di pura? Padahal ini odalan besar yang hanya dirayakan enam bulan sekali. Apa mereka juga telah menjadi orang-orang kualat seperti aku?

Lelah mencari mereka, aku mampir di sebuah kedai kopi yang sepi pengunjung. Belum habis kopi dalam gelas, aku dikejutkan oleh kehadiran perempuan tua yang masuk ke dalam kedai melalui pintu belakang. Rambutnya separuh memutih, namun parasnya masih membiaskan kecantikan masa lalu. Aku hapal betul bentuk tulang hidungnya yang keras dan mancung. Aku merasakan sorot mata itu masih seperti dulu, penuh pancaran luka dan dendam, entah pada apa. Aku pernah akrab dengan mata itu! Tidak salah lagi, dia ibuku.

Ibu menatapku dengan pandangan aneh dan penuh selidik yang membuat gadis penjaga kedai menjadi tidak enak padaku. Apa Ibu masih mengenaliku? Dua puluh tiga tahun telah berlalu. Aku ingin memeluk Ibu dan berlutut di kakinya. Tapi niat luhur itu kutekan kuat-kuat dalam batinku. Ibu masih menatapku seperti melihat mahluk aneh.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Ibu, nadanya penuh curiga.

Aku terdiam. Rupanya dia masih mampu mengenaliku. Mungkin kepahitan hidup yang telah menempa ingatannya menjadi kuat.

"Bukankah di kota hidupmu telah makmur! Buat apa ke sini lagi?!" Nada bicara Ibu masih belum ramah. Agaknya Ibu masih menyimpan marah karena aku minggat dan tidak mau balik ke desa. Sekilas aku melihat gadis di sebelah Ibu kebingungan, tidak tahu apa yang mesti dilakukannya. Dia mencoba menenangkan Ibu.

"Bu, maafkan saya. Saya telah banyak mengecewakanmu. Saya ke sini mencari Ayah. Apa Ayah sudah pulang dari bulan, Bu?" Dengan perasaan campur-aduk, aku mencoba menggoda dan menyindir Ibu.

"Ayahmu sudah mati!" ujar Ibu ketus.

Aku segera meninggalkan kedai. Gadis itu teriak-teriak memanggilku sambil mengacungkan uang kembalian, aku tidak menghiraukannya.

Udara pantai berhempus menerpa daun-daun pandan. Cahaya purnama berpendaran di hampar air. Kami duduk di pasir putih. Dulu ketika bocah aku suka sekali mencari kerang aneka warna di pantai ini.

"Kau sudah dewasa sekarang. Rasanya baru kemarin kau mencuri mangga di kebunku. Apa kau sudah menikah? Kerja di mana sekarang?"

Lelaki tua itu menghujaniku dengan kenangan-kenangan masa kecil dan berbagai pertanyaan basa-basi. Aku menjawab seperlunya saja. Meski aku memang pernah mencuri mangganya, tapi aku tidak terlalu akrab dengan kawan ayahku ini. Aku terkenang cerita Ibu tentang kebiasaan kawan-kawan Ayah. Mungkin lelaki ini salah satu kawan Ayah yang suka minum kopi sambil ngobrol berlama-lama di rumah kami dulu.

"Pak, saya ke sini mencari kuburan ayah saya. Apa Bapak tahu di mana ayah saya dibunuh dan dikubur saat gestok dulu?" Aku langsung menyasar pada pokok permasalahan yang memang khusus kubawa dari Jakarta. Lelaki tua itu nampak tenang mendengar pertanyaanku, meski sesekali ia melirik kiri-kanan. Setelah menarik nafas, ia mulai berkisah tentang Ayah dan hari-hari akhir kepergian Ayah.

"Ibumu memang menyuruhku menemuimu untuk membuka rahasia yang bertahun-tahun kami simpan dengan penuh luka. Memang, aku berkawan akrab dengan ayahmu. Kami satu regu saat gerilya melawan Nica dulu. Kami sama-sama mengagumi Bung Karno. Ayahmu orang yang cerdas dan berpikiran luas, terlebih lagi ia sangat menyukai kesenian," lelaki tua itu terdiam sejenak seperti berusaha mengumpulkan ingatannya. Kemudian...

"Saat itu, ayahmu jadi ketua kelompok janger di desa ini. Kami biasa kumpul-kumpul di rumahmu membicarakan pementasan yang akan digelar. Dan pada malam naas itu kami dikepung, dan ayahmu diberangus...," tutur lelaki tua itu dengan nada diliputi kesedihan yang dalam.

Aku mendengarkan dengan seksama. Sebelumnya aku sudah cukup banyak mendengar kisah korban tragedi '65 yang serupa ini. "Bapak tahu di mana kuburan Ayah?" tanyaku tidak sabar.

Lelaki tua itu mengangguk pelan. Jantungku berdebar seperti sedang menanti vonis hakim. "Di mana kuburan Ayah?!" desakku.

"Di pelaba pura, tidak jauh dari beringin yang tumbang itu. Mereka ditumpuk dalam satu lubang!"

Aku merasakan langit malam penuh awan tebal runtuh menerpaku. Aku tidak kuasa menyembunyikan kekagetan. Jadi, Ayah dan kawan-kawannya yang dituduh komunis dibantai dan dikubur di tanah pelaba pura!? Berarti dulu selama aku bermain di situ, aku sangat dekat dengan Ayah. Mengapa Ibu bilang Ayah pergi ke bulan?

Besok siang aku mesti kembali ke Jakarta, mengabarkan berita ini pada kawan-kawan aktivis dan menyusun rencana penggalian kuburan massal itu. Suara gamelan mengalun sayup-sayup dari dalam pura. Kutatap langit malam, purnama masih bersinggasana di atas pura. Tapi, bidadari kecil yang suka bermain ayunan itu telah tidak ada. Dari kejauhan aku menatap pelaba pura yang kini diramaikan pedagang kakilima. "Ayah, tunggu aku di situ. Aku akan segera menjemputmu!"***

Pembahasan "Purnama Diatas Pura"

Cerpen yang berjudul "Purnama Di Atas Pura" memiliki tema rasa rindu, karena dalam cerita tersebut menceritakan kerinduan seorang anak terhadap ayahnya yang telah lama pergi. Anak itu selalu bertanya pada ibunya, "Dimanakah ayahku ibu??". Tetapi ibunya malah selalu menjawab bahwa ayahnya sedang ke bulan untuk program kerja. Itulah yang menyebabkan anak tersebut setiap malam pergi ke pelaba pura untuk menyaksikan bulan purnama yang cahayanya terlihat sangat indah dan berharap dapat bertemu ayahnya. Disetiap menyaksikan bulan purnama ia selalu bertemu dengan bidadari kecil yang menemaninya. Cerpen ini mempunyai latar tempat yaitu di palaba pura (Tanah milik pura yang biasanya berlokasi tidak jauh dari area pura) dan dirumah anak itu sendiri. Sedangkan latar waktu menceritakan pada malam hari (saat menyaksikan bulan purnama). Tak hanya mempunyai latar tempat dan latar waktu, namun cerita ini  juga mempunyai latar suasana yaitu sedih, kaget dan marah. Serta cerita diatas mempunyai sudut pandang pertama, karena dibuktikan dengan menggunakan kata "aku". Alur cerpen diatas adalah campuran, karena cerita tersebut terdapat alur maju dan alur mundur. Amanat dari cerpen diatas adalah Jika ada seseorang yang berbuat tidak baik pada kita, jangan malah kita bales dengan perbuatan tidak baik pula. Melainkan balaslah dengan kebaikan dan jangan ada dendam pada diri kita masing -- masing.

Tokoh dari cerita pendek diatas adalah ibu, ibu mempunyai watak yang baik dan sabar karena dapat dibuktikan ketika sang anak memarahi sang ibu, ibu tetap sabar dan tidak membalas membentaknya. Anak, ia adalah seorang anak kecil yang baik, polos dan tegas. Ayah tiri, ayah tiri nya memiliki watak yang baik hati. Kakak tiri, anak kandung dari ayah tirinya ini juga memiliki watak yang baik seperti ayahnya. Bidadari kecil (imajinasi dari sang anak ketika berada dipura, ketika melihat purnama), bidadari tersebut memiliki watak yang baik dan tidak sombong, dibuktikan ketika sang anak menceritakan keluh kesahnya kepada bidadari kecil dan bidadari kecil selalu memberikan saran yang baik kepada sang anak.

Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi Lokusi atau lengkapnya tindak sosial adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu. Lokusi semata-mata merupakan tindak tutur atau tindak bertutur, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu dalam kamus dan makna kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya ( Gunarwan 1994:45).

(1) "Sstt...jangan berisik! Nanti aku ketahuan ngumpet di sini!"

(2) "Tak usah cemas, mereka tidak akan tahu kamu ngumpet di situ. Ayo, ikut main ayunan bersamaku,"

Tindak Lukosioner (Tindak preposisi) yang merujuk dan memprediksi.

(3) "Naahhh! Kena kau!"

(4) "Mau apa kau ke sini?"

(5) "Ayahmu sudah mati!"

Tindak Lukosioner (tindak ujar) yang merujuk pada ujaran kata-kata.

(6) "Apa? Bidadari?! Sejak kapan kau punya teman bidadari? Kau sudah gila, ya?!" ujar ibunya kesal. "Sekarang kau mandi dan pergi sekolah. Dan, jangan ulangi lagi pertanyaan bodohmu itu! Ibu sudah capek, mengerti kau?!"

Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan, menyarankan, menbual, mengeluh dan mengklaim.

(7) "Bu, maafkan saya. Saya telah banyak mengecewakanmu. Saya ke sini mencari Ayah. Apa Ayah sudah pulang dari bulan, Bu?" Dengan perasaan campur-aduk, aku mencoba menggoda dan menyindir Ibu.

Ekspresif (Expressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, berbelasungkawa.

(8) "Kata Ibu, Ayah tidak tinggi, tapi tidak juga pendek. Ayah selalu berpakaian rapi, rambutnya juga suka disisir ke belakang dengan minyak yang tebal. Ibu bilang, Ayah punya banyak kawan yang sering main ke rumahku. Dan Ibu suka jengkel, sebab harus buat kopi banyak untuk kawan-kawan Ayah," tutur bocah itu dengan mata tidak lepas dari purnama.

(10)"Ayahmu masih sibuk di bulan! Tidak boleh diganggu!" kata ibunya agak ketus.

(11)Si anak tidak puas dengan jawaban ibunya yang itu-itu saja. Ia mulai berani membantah. "Tapi, temanku si bidadari bilang, tidak ada siapa-siapa di bulan!"

(12) "Ibumu memang menyuruhku menemuimu untuk membuka rahasia yang bertahun-tahun kami simpan dengan penuh luka. Memang, aku berkawan akrab dengan ayahmu. Kami satu regu saat gerilya melawan Nica dulu. Kami sama-sama mengagumi Bung Karno. Ayahmu orang yang cerdas dan berpikiran luas, terlebih lagi ia sangat menyukai kesenian," lelaki tua itu terdiam sejenak seperti berusaha mengumpulkan ingatannya. Kemudian...

(13) "Saat itu, ayahmu jadi ketua kelompok janger di desa ini. Kami biasa kumpul-kumpul di rumahmu membicarakan pementasan yang akan digelar. Dan pada malam naas itu kami dikepung, dan ayahmu diberangus...," tutur lelaki tua itu dengan nada diliputi kesedihan yang dalam.

Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Jenis tindak tutur ini kadang-kadang disebut juga tindak tutur asertif. Termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini adalah tuturan-tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan menyebutkan, memberikan, kesaksian, berspekulasi dsb.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

https://media.neliti.com/media/publications/91024-ID-none.pdf

https://serupa.id/pengertian-cerpen-menurut-para-ahli/

https://eprints.uny.ac.id/9514/3/bab%202-08205244019.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun