Sejak berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, berkembang pula pemanfaatan alat komunikasi di masyarakat, salah satunya adalah gadget. Sebagai benda personal, maka pemanfaatan gadget sangat bergantung pada pengguna (user) dan sulit untuk dapat dikendalikan oleh pihak lain. Selain untuk tujuan entertain, pemanfaatan gadget juga merambah bidang-bidang lain, seperti pendidikan, kesehatan, psikologi, komputer dan bidang bidang lainnya, termasuk bidang pemasaran.
Pada umumnya, kecepatan informasi dan kemudahan untuk memperoleh informasi tersebut menjadi salah satu daya tarik kuat pemanfaatan gadget ini, sehingga dapat menyebabkan pengguna gadget terdorong untuk mengakses kembali gadgetnya secara terus menerus. Kecenderungan ini merupakan salah satu respon gaya hidup kekinian dan dampak kemajuan dalam teknologi komunikasi, yang dikenal dengan istilah Fear of Missing Out atau FoMO (Blott, 2016).
Dalam Oxford Dictionary disebutkan bahwa FoMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan akan ketertinggalan adalah suatu kecemasan pada diri seseorang bahwa suatu kejadian yang menyenangkan atau menarik mungkin sedang terjadi di tempat lain, yang seringkali hal ini disebabkan oleh postingan pada suatu website di media sosial. Sementara seorang ahli menyatakan bahwa Fear of Missing Out (FoMO) adalah ketakutan yang dialami oleh seorang individu bahwa jika dia tidak mengakses suatu informasi tertentu, maka dia akan tertinggal, dia tidak akan mendapatkan keuntungan sebagaimana orang lain yang mengakses informasi tertentu, sehingga hal ini akan menyebabkan individu tersebut terdorong untuk mengakses kembali informasi dari suatu konten secara terus menerus. Fenomena FoMO ini juga didefinisikan sebagai perhatian yang mendalam, bahwa orang lain mungkin akan mendapatkan pengalaman yang menarik pada saat seseorang absen (tidak hadir), yang kemudian dikarakteristikkan dengan dorongan untuk secara terus menerus terkoneksi dengan apa yang dilakukan pihak lain melalui gadget (Przybylski, Murayama, DeHaan, & Gladwell, 2013 dalam Alt, 2015).
Sebagai sebuah konsep yang baru muncul beberapa dekade terakhir, Fear of Missing Out (FoMO) ini bisa terjadi pada semua bidang. Konstruk ini relatif baru dengan jumlah penelitian empiris yang masih sedikit dan perlu dipelajari dalam konteks-konteks yang berbeda-beda, termasuk dalam bidang Pemasaran (Herz, 2015). Hal ini tentu saja membuat FoMO menjadi sesuatu hal yang menarik dan mengedepan, apalagi jika mencoba untuk melihat lebih dalam berdasarkan generasi yang mengalaminya.
 Berdasarkan temuan yang ada, diketahui bahwa penelitian-penelitian yang telah dilakukan lebih melihat pada konsekuensi negatif apa yang terjadi akibat adanya Fear of Missing Out (FoMO). Beberapa diantaranya adalah siswa akan berusaha melakukan begitu banyak hal tetapi tidak peduli dengan diri sendiri, kurang tidur, kurang olah raga, dan kurang peduli dengan personal life ataupun individu yang semakin terikat dengan sosial media sehingga semakin tergantung pada gadget. Sementara jumlah penelitian yang melihat konsekuensi positif dari adanya Fear of Missing Out (FoMO) ini diketahui masih sangat sedikit. Dengan mencermati adanya perhatian yang lebih besar pada konsekuensi negatif ini, maka dapat dipahami jika kemudian hampir seluruh penelitian-penelitian yang ada menunjukkan kesimpulan dan saran bahwa Fear of Missing Out (FoMO) adalah sesuatu yang harus dihindari, karena akan dapat menyebabkan kecanduan (adiksi) pada gadget dan pengaruh buruk lainnya. Padahal jika ingin mengetahui FoMO secara lebih komprehensif, maka selayaknya bukan hanya sisi negatif yang dilihat, tetapi sebaliknya, Fear of Missing Out (FoMO) ini juga perlu diteliti dari sisi positif.Â
Bagi Pemasar misalnya, adanya Fear of Missing Out (FoMO) ini tentu merupakan sesuatu yang menarik, dimana FoMO dapat diposisikan bukan lagi sebagai hambatan tetapi justru menjadi peluang. Ketakutan akan ketertinggalan yang dialami oleh calon konsumen seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Pemasar dengan membuat konsumen tertarik, kembali mengakses informasi yang diberikan, bahkan sampai dengan memunculkan keinginan pada konsumen untuk membeli apa yang ditawarkan Pemasar. Tentu saja, hal ini tidak mudah untuk dilakukan Pemasar, tetapi adanya ide-ide kreatif, inovatif dan konstruktif yang ditawarkan Pemasar sangat dibutuhkan agar FoMO ini muncul dan tetap ada pada diri konsumen, sehingga memunculkan dorongan kuat pada diri konsumen tersebut untuk selalu mengakses informasi yang dibuat oleh Pemasar, mengikutinya secara intens dan pada akhirnya akan memunculkan niat untuk membeli.
Apabila suatu konten menyediakan informasi penting atau memberikan keuntungan yang dibutuhkan oleh konsumen atau calon konsumen, maka informasi tersebut perlu dengan mudah diakses oleh konsumen atau calon konsumen. Sehingga, konsumen atau calon konsumen perlu dipersuasi oleh Pemasar dengan menyediakan konten yang menarik dan menguntungkan, sehingga akan terdorong untuk selalu mengakses konten tersebut dan merasa rugi apabila tidak mengaksesnya, karena akan kehilangan beberapa keuntungan yang seharusnya bisa diperoleh apabila yang bersangkutan mengakses informasi tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa justru Fear of Missing Out (FoMO) ini perlu diupayakan terdapat pada diri konsumen.
Tentu saja, upaya Pemasar untuk memunculkan FoMO ini bukan sekedar untuk mendapatkan keuntungan, tetapi perlu memperhatikan aspek-aspek yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan dan kebermanfaatan konsumen. Hal ini penting untuk dilakukan sehingga akibat negatif yang kerap ditemui saat individu mengalami FoMO dapat diminimalkan. Kepatuhan pada etika pemasaran menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar agar kepentingan konsumen tidak terabaikan.Â
(LSM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H