Mohon tunggu...
Laila
Laila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Farmasi

Membuat artikel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mempertahankan Tata Krama di Tasikmalaya: Pelajaran Warisan Budaya dalam Menghadapi Modernitas, Oleh: Salis Sri Rahmi

3 Januari 2024   11:57 Diperbarui: 3 Januari 2024   12:13 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, Tasikmalaya sebuah kota di Jawa Barat, Indonesia, menonjol sebagai contoh unik bagaimana sebuah masyarakat dapat mempertahankan warisan tata krama budayanya. Di sini, tradisi dan modernitas bertemu, membentuk sebuah tapestri sosial yang kaya dan kompleks. Artikel ini bertujuan menggali lebih dalam tentang bagaimana Tasikmalaya mempertahankan tata kramanya dan mengapa hal ini penting dalam konteks global saat ini.

Sejarah dan Konteks Sosial Tasikmalaya

Tasikmalaya, dikenal sebagai kota santri karena banyaknya pesantren, memiliki sejarah panjang dalam menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan budaya Sunda. Nilai-nilai ini tidak hanya tercermin dalam kehidupan religius masyarakatnya tetapi juga dalam interaksi sosial sehari-hari. Untuk memahami tata krama di Tasikmalaya, penting untuk mengakui latar belakang historis dan sosial yang membentuk praktik ini.

Penggunaan Sebutan "Akang" dan "Teteh" - Simbol Keakraban dan Penghormatan

Di Tasikmalaya, sebutan "akang" untuk pria dan "teteh" untuk wanita lebih dari sekadar pengganti kata "Bapak" atau "Ibu." Sebutan ini menciptakan suasana keakraban yang mendalam dan menggarisbawahi pentingnya menghargai orang lain terlepas dari usia atau status sosial mereka. Praktik ini mengajarkan bahwa setiap interaksi adalah kesempatan untuk mempererat ikatan sosial dan memperkuat komunitas. Dalam masyarakat Sunda, sebutan "akang" dan "teteh" melampaui sekadar panggilan hormat. Mereka menandakan pengakuan terhadap kedewasaan seseorang dan penghargaan atas peran mereka dalam masyarakat. Praktik ini mencerminkan konsep bahwa setiap individu, tidak peduli usianya, memiliki tempat yang penting dalam struktur sosial.

Menundukan Kepala dan Mengucapkan "Punten" - Ungkapan Kesopanan Universal

Salah satu aspek unik dari tata krama Tasikmalaya adalah penggunaan kata "punten." Ungkapan ini sering diikuti dengan menundukkan kepala, sebuah tindakan yang menunjukkan rasa hormat dan pengakuan terhadap orang lain. Ini bukan hanya tentang tata bahasa tetapi juga tentang sikap dan cara menyampaikan rasa hormat. Penggunaan kata "punten" saat menundukan kepala, baik saat meminta maaf atau saat melewati orang yang lebih tua, adalah praktik yang menunjukkan kesadaran akan ruang pribadi dan rasa hormat terhadap orang lain. Kebiasaan ini merupakan simbol dari kesopanan yang mendalam, mengingatkan kita pada pentingnya sikap rendah hati dan pengakuan terhadap sesama.

Bahasa Sunda yang Halus - Refleksi Etiket dan Kelembutan

Dalam bahasa Sunda, tingkatan bahasa menunjukkan hubungan antara pembicara dan pendengar. Penggunaan bahasa yang halus, khususnya dalam berinteraksi dengan orang yang lebih tua atau di situasi formal, tidak hanya menunjukkan pengetahuan dan pendidikan tentang bahasa tetapi juga sikap hormat dan pertimbangan terhadap orang lain. Ini merupakan aspek penting dari identitas budaya Sunda yang terus dipertahankan di Tasikmalaya. Bahasa merupakan cerminan budaya, dan di Tasikmalaya, penggunaan bahasa Sunda yang halus dalam interaksi sehari-hari adalah hal penting. Ini bukan hanya soal etiket tetapi juga tentang memelihara dan merayakan kekayaan budaya Sunda. Dalam konteks ini, bahasa bukan hanya alat komunikasi tetapi juga kendaraan untuk menghargai dan memahami warisan budaya

Tasikmalaya sebagai "Kota Santri"

Label "kota santri" tidak sekadar mengacu pada jumlah pesantren di Tasikmalaya, tapi juga mencerminkan bagaimana nilai-nilai keagamaan membentuk perilaku dan tata krama masyarakatnya. Praktik-praktik keagamaan telah mengakar dalam setiap aspek kehidupan sosial, memperkuat nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, dan hormat kepada orang lain. Status Tasikmalaya sebagai kota santri memberikan dimensi religius yang kuat pada tata kramanya. Di sini, pengajaran Islam tidak hanya berkutat pada aspek ibadah tetapi juga pada bagaimana berinteraksi dengan sesama. Hal ini memperkuat praktik tata krama sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan menunjukkan bagaimana nilai-nilai agama bisa berdampingan dengan tradisi lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun