Setelah berminggu-minggu lamanya menyita energi semua pihak, akhirnya Setya Novanto mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua DPR 2014-2019. Mundurnya Novanto tidak lepas dari pembacaan pendapat dari masing-masing anggota hakim MKD yang berlangsung hari ini (16/12/2015). Dari 17 orang hakim, 10 orang di antaranya menyatakan bahwa Setya Novanto telah melanggar kode etik dengan kategori sedang dan 7 orang hakim menyatakan pelanggaran kategori berat.
Hal yang menarik adalah masih adanya skenario penyelamatan Novanto di MKD di menit-menit terakhir yang digagas oleh Fahri Hamzah. Tanpa melalui mekanisme verifikasi di MKD, Fahri Hamzah menandatangani surat penonaktifan hakim MKD, Akbar Faisal dari Nasdem yang sangat kritis. Manufer lain adalah putusan beberapa hakim MKD terutama dari KMP yang menyatakan bahwa Novanto telah melanggar kode etik dan layak dikenakan sanksi berat. Dengan sanksi berat, maka konsekuensinya adalah para hakim MKD harus membentuk tim panel untuk kembali membuktikan apakah Novanto layak dihukum berat atau tidak. Di sini ada celah untuk kembali meloloskan Novanto.
Namun manufer-manufer para pembela Novanto itu semakin tidak berguna melihat tekanan dahsyat dari berbagai elemen masyarakat. Jutaan rakyat Indonesia terus mengikuti siaran langsung terbuka di MKD yang membuat para pembela Novanto mati kutu. Lewat siaran terbuka, semua gerak-gerik para hakim MKD bisa dipelototi oleh jutaan rakyat Indonesia. Tekanan jutaan mata itulah yang membuat para hakim MKD tidak punya pilihan lain selain menyatakan bahwa Setya Novanto telah melanggar kode etik.
Melihat sidang di MKD yang sudah tidak mungkin lagi menyelamatkan dirinya, akhirnya Novanto mengambil langkah pendahuluan, yakni mengundurkan diri dari kursi ketua DPR. Pengunduran diri itu membuat rakyat bersorak, mengembalikan kepercayaan publik kepada MKD sekaligus kepada lembaga setinggi DPR. Kegaduhan yang telah berlangsung berminggu-minggu lamanya, akhirnya berakhir dengan happy ending. Novanto akhirnya tidak bisa bertahan dari tekanan hebat berbagai pihak. Tentu saja, kalau Novanto sudah lebih cepat mengundurkan diri sebelumnya, maka kegaduhan luar biasa di DPR, mungkin tidak akan terjadi.
Era Mafia Minyak Berakhir
Mundurnya Novanto dari kursi ketua DPR membuat kedigdayaan Reza Chalid, mafia minyak yang bersosok hantu selama ini, berakhir. Mundurnya Novanto sebagai orang nomor satu di DPR, praktis membuat kekuatan Reza Chalid, semakin berkurang. Sekarang Reza menjadi orang yang akan dicari-cari oleh aparat hukum Indonesia. Reza diberitakan kabur ke luar negeri sejak 3 Desember 2015 lalu.
Ada dua kemungkinan alasan kaburnya Reza Chalid. Pertama, ia disuruh kabur oleh kubu Setya Novanto untuk menghilangkan jejak dan menyamarkan bukti kasus Novanto. Alasan kedua, Reza sengaja kabur, takut kepada Jokowi karena ia sudah tidak mendapat tempat di republik ini. Jika ia tetap di Indonesia, maka Reza akan berhadapan dengan hukum di Indonesia.
Kaburnya Reza Chalid merupakan akhir dari kiprahnya menguasai energi dan politik di tanah air. Sosoknya di belantara mafia dan politik identik dengan hantu, tak terlihat wujudnya, namun bergentayangan. Namanya seringkali terdengar, tetapi tak tampak wujudnya. Photonya di google amat minim, seminim informasi profilnya.
Sebagai seorang pengusaha, Riza tampak sekali menawarkan kemampuannya melancarkan perpanjangan kontrak dan proyek-proyek Freeport, seperti pembangunan Smelter dan PLTA. Hal itu terlihat sangat kental dalam rekaman pembicaraannya bersama Setya Novanto terkait rencana perpanjangan kontrak karya Freeport di Indonesia.
“Kita ini orang kerja, strateginya. Jadi Freeport jalan, bapak itu bisa terus happy, kita ikut-ikutan bikin apa. Kumpul-kumpul. Gua gak ada bos, nggak usah gedek-gedek. Ngapain gak happy. Kumpul-kumpul. Kita golf. Gitu, Kita beli private jet yang bagus, representatif. Apalagi,” kata Riza dalam transkrip tersebut.
Hebatnya, Reza sangat berani memastikan bahwa Presiden Jokowi akan jatuh dari kekuasannya jika tak memperpanjang kontrak Freeport di Indonesia.