Saat dipilih menjadi Ketua Umum PSSI Periode 2015-2019 dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI beberapa bulan yang lalu, euforia tinggi La Nyala Mattalitti, luar biasa. Saat itu proses pemilihan La Nyala menjadi ketua umum PSSI menggantikan Djohar Arifin, super lancar. Ia didaulat secara aklamasi, santun, penuh dengan pelukan dan balutan kegembiraan.
Kegembiraan La Nyala yang terpilih sebagai Ketua Umum PSSI dalam KLB 18/4/2015 itu bercampur dengan kegetiran. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi secara resmi membekukan PSSI di saat induk organisasi sepak bola Indonesia itu sedang melakukan Kongres Luar Biasa (KLB). Pembekuan PSSI tentu saja atas persetujuan Presiden Jokowi yang ingin membenahi persepakbolaan Indonesia dari para mafia.
Awalnya La Nyala tidak begitu menggubris surat pembekuan Menpora itu dan yakin surat itu hanya sebagai ancaman dan akan segera dicabut. La Nyala memperediksi bahwa tidak mungkin pemerintah akan mengambil resiko dari FIFA yang akan memberikan sanksi kepada Indonesia akibat intervensi pemerintah. Namun pada kenyataannya, Menpora sama sekali tidak mencabut surat pembekuan itu, kendatipun Wapres Jusuf Kalla sudah turun tangan dan PTUN sudah memenangkan La Nyala.
Ternyata sehebat apapun ketegaran dan keteguhan seseorang, maka jika berhadapan dengan sang waktu yang terus berputar, maka akan melemah juga, termasuk La Nyala. Saat final pertandingan Piala Presiden 2015 hari Minggu yang lalu La Nyala terlihat lemas, tidak bergairah dan tidak mau datang. La Nyala seolah-olah tidak ikut dalam euphoria masyarakat yang menyaksikan perhelatan Piala Presiden di Stadion Gelora Bung Karno, Mingu 18 Oktober 2015 itu.
Dari ungkapannya, kelihatan sekali bahwa euphoria La Nyala sudah semakin suram dan padam. Padahal euphoria masyarakat Indonesia saat final Piala Presiden itu, sungguh luar biasa. Puluhan ribu penonton memenuhi Stadion Gelora Bung Karno serta puluhan juta rakyat Indonesia menonoton lewat layar kaca televisi.
Ketika ditanya wartawan bahwa euforia masyarakat untuk menyaksikan final Piala Presiden itu, sangat tinggi, La Nyala hanya mengatakan bahwa: "Itu cuma segelintir pemain saja yang merasakan euforia". Menurutnya masih banyak pemain yang tak menikmati kompetisi. Sangat tidak etis jika ikut bergembira atas perhelatan final itu. Alasannya sepak bola kita masih berkabung, masih mendung dan belum ada secercah harapan. La Nyala mengaku bahwa ia tidak bisa berbahagia diatas penderitaan pelaku sepak bola yang lain.
Dalam kacamata La Nyala, klub-klub yang berpartisipasi dalam merebut Piala Presiden itu sama sekali tidak diperhitungkan. Alasannya karena hanya diikuti belasan klub Indonesia Super League (ISL) dan beberapa klub dari Divisi utama, sehingga masih banyak yang belum terlibat. Demikian juga dengan para perangkat pertandingan. Selama ini kompetisi tidak hanya ISL namun Divisi Utama hingga Liga Nusantara.
Bagi La Nyala, perhelatan Piala Presiden itu hanyalah artifisial, sesaat dan akan sirna dengan cepat. Buktinya banyak pihak yang belum merasakan euforia termasuk para pedagang asongan hingga tukang parkir. "Jangan kita lupakan kesengsaraan mereka, kesusahan hidup mereka, karena kompetisi tidak berputar, yang semua kita tahu, intervensi pemerintah dalam hal ini Menpora Imam Nahrawi membuat semua ini terhenti,” katanya seperti dilansir Tempo.co (17/10/2015).
Ungkapan La Nyala terkait dengan perhelatan Piala Presiden kemarin itu, memberikan sinyal bahwa ada penyesalan di dalam diri La Nyala yang ditujukan kepada seniornya Djohar Arifin yang tidak mendengar teguran pertama, kedua dan ketiga Menpora Imam Nahrawi. Sampai sekarang dada La Nyala terus-menerus dipenuhi dengan penyesalan. Mengapa mantan ketua PSSI Djohar Arifin tidak mendengar teguran dari Menpora itu? Akibatnya PSSI-nya La Nyala semakin terperosok. Tak ada kompetisi, tak ada uang yang berputar.
Andaikan saja teguran dari Menpora itu didengar, maka surat pembekuan PSSI tidak akan keluar. Dengan demikian singgasana La Nyala sekarang semakin empuk, manis dan penuh dengan kebanggaan. Jika PSSI tidak dibekukan, maka sosok La Nyala mendapat tempat kehormatan di tribun Stadion Gelora Bung Karno dan duduk di samping Presiden Jokowi, Gubernur DKI Ahok di stadion Gelora Bung Karno. Kamera para wartawan tentu saja akan menyorotnya sesekali dengan wajah senyum. Oh betapa hebatnya.
Namun sekarang La Nyala semakin bingung. Bagaimana nasib PSSI yang dipimpinya ke depan? Saat merenungi nasib PSSI itu, La Nyala ingat setahun pemerintahan Jokowi-JK. Bagi La Nyala, setahun pemerintahan Jokowi-JK itu identik dengan setahun dengan penderitaan PSSI-nya. Jokowi telah membuat La Nyala dan PSSI-nya terperosok penuh derita. Andaikan Prabowo-Hatta yang menang saat Pilpresi lalu, maka besar kemungkinan nasib PSSI yang dipimpninya masih seperti yang dulu, alias seperti sediakala, nol prestasi. Walupun tidak berprestasi, La Nyala yakin perputaran uang tetap mengalir dari kompetisi yang dilaksanakan. Mungkin juga La Nyala tidak peduli jika tim nasional akan dibantai lagi oleh Bahrain 10-0 bila berjumpa. Bagi La Nyala kepentingan pribadi dan kelompoknya lebih diutamakan dari pada prestasi. Tapi sekarang? Itu kelihatannya tinggal kenangan.