Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Terus Ditekan, Revisi UU KPK Tak Terhindarkan dan 14 Cita-cita Mulia DPR dan PDIP

1 Desember 2015   12:21 Diperbarui: 1 Desember 2015   13:55 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama lebih sepuluh tahun keberadaannya, KPK telah menjelma menjadi momok menakutkan bagi banyak pihak.  Bagi DPR dan partai politik, KPK adalah ‘hantu berwujud’, lembaga ‘superbody’ yang setiap saat mengintai mereka dalam menikmati jabatannya. KPK bagaikan ‘buldozer’ yang menghancurkan karir para anggota DPR dan petinggi partai politik di negeri ini.

KPK telah ‘membuldozer’ karir mentereng sekaligus partainya Anas Urbaningrum (ketum Demokrat), Surya Dharma Ali (PPP), Lufthi Ishag (PKS). KPK juga berwujud sosok ‘hantu menakutkan’  bagi ketum PDIP (Megawati) terkait BLBI, ketum Nasdem (Surya Paloh) terkait kasus Patrice Rio Capella, Setya Novanto (ketua DPR) terkait ‘Papa Minta Saham’ itu.

Kekuatan buldozer KPK terletak pada senjata mematikan yang dia miliki yakni kewenangan penyadapan. Senjata mematikan ini terbukti sangat ampuh meruntuhkan berbagai argumen para tersangka KPK di pengadilan. Keampuhan senjata KPK itu, membuat para anggota DPR bersumpah untuk melucuti senjata maut itu dengan satu cara legal yakni revisi. Hanya dengan revisilah, maka KPK itu bisa dipreteli kewenangannya sehingga bisa berubah dari bulldozer menjadi ‘singa macan ompong tak bergigi’.

Maka koor bersahut-sahutan para anggota DPR terdengar nyaring sekali untuk merevisi UU KPK. Suara nyaring PDIP juga tak kalah nyaringnya memaksa Jokowi untuk menyetujui revisi. Pun Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menkumham Yasonna Laoly, Menko Polhukam, Luhut Pandjaitan bersuara bahwa revisi UU KPK amat dibutuhkan. KPK sendiri tak berkutik atas revisi UU KPK itu. Terjadilah persengkokolan legislatif, petinggi partai, pengusaha, pejabat pemerintah untuk merevisi UU KPK.

Menkumham Yasonna Laoly dipaksa ‘offside’ dan bermanufer ‘tanpa persetujuan’ Jokowi ikut menghadiri rapat dengan Baleg DPR (Jumat, 27/11/2015). Dalam pertemuan itu, diperoleh kesepakatan bahwa pemerintah akan mengusulkan RUU Pengampunan Pajak dan DPR akan mengusulkan RUU KPK. Kedua RUU akan dibahas dalam Prolegnas Prioritas 2015. Dengan demikian ada ‘barter’ DPR dengan pemerintah. Pemerintah akan menggarap RUU Tax Amnesty sebagai RUU inisiatif pemerintah dan DPR akan menggarap RUU KPK sebagai RUU inisiatif DPR 2015. Jadilah kongkalingkong pemerintah dan DPR yang berujung Capim KPK dilanjutkan oleh DPR dengan melakukan fit dan propert test.

Kesepakatan dengan pemerintah itu membuat DPR bersorak. Cita-cita mulia dan impian mereka selama ini untuk ‘menguatkan’ KPK akan mulai terwujud. Apa cita-cita ‘mulia’ DPR yang didukung penuh  oleh PDIP itu? Mari kita lihat ke-14 cita-cita mulia DPR  itu berdasarkan draft revisi yang telah beredar di media.

Pertama, KPK harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan untuk melakukan penyadapan. Izin penyadapan ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a RUU KPK, yang pada intinya mewajibkan KPK untuk memperoleh izin penyadapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Permintaan izin penyadapan ini akan membuat para anggota DPR bisa bernafas. Bila ada penyadapan terhadap dirinya, maka besar kemungkinan informasi penyadapan akan bocor terlebih dahulu.

Kedua, KPK dapat menghentikan penyidikan perkara korupsi. Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga penuntutan (Pasal 40 UU KPK). Hal ini adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang, dan sudah dibuktikan pula melalui pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 % conviction rate). Kewenangan menerbitkan SP3  ini membuat DPR bisa meminta agar sebuah kasus dihentikan alias di-SP3-kan.

Ketiga,  penyitaan harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 49 Ayat 1 RUU KPK mengatur penyitaan oleh KPK harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Padahal sebelumnya (dalam UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat dilakukan tanpa izin Ketua  Pengadilan Negeri.

Keempat, KPK wajib lapor ke Kejaksaan dan Polri ketika menangani perkara korupsi. Pasal 52 Revisi Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa KPK wajib memberi notifikasi (pemberitahuan) kepada Kepolisian dan Kejaksaan ketika menangani perkara korupsi. Kewajiban ini menempatkan KPK dalam posisi di bawah Kejaksaan dan Kepolisian, karena dalam Revisi Undang-Undang KPK ini, kewajiban tersebut hanya ada bagi KPK tapi tidak bagi Kejaksaan dan Kepolisian.

Kelima, umur KPK dibatasi hanya 12 tahun. Pasal 5 dan Pasal 73 Revisi UU KPK ini menyebutkan secara spesifik bahwa usia KPK hanya 12 tahun sejak Revisi UU KPK disahkan. Pembubaran KPK secara permanen melalui Revisi UU KPK yang disahkan, akan menjadi berita gembira bagi DPR yang sudah lama memimpikan pembubaran KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun