Awalnya KMP (Koalisi Merah Putih) dibentuk untuk menjegal pemerintahan Jokowi-JK. Kemenangan gilang-gemilang KMP yang berhasil menggolkan UU MD3 dan Pilkada lewat DPRD (walaupun untuk sementara), telah menginspirasi para elit KMP untuk menjadikan Jokowi dan partai pendukungnya sebagai bulan-bulanan yang mengasyikkan.
Peta politik sebelum dan sesaat setelah pelantikan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla pun semakin berpihak kepada KMP. Mereka berhasil menyapu bersih pimpinan dan wakil pimpinan DPR dan MPR. Saat itu begitu bangganya Aburizal Bakri (panggilan Ical) menyaksikkan seluruh skenarionya berhasil tanpa cela. Ia mulai bermimpi bahwa segala kebijakan di DPR dan di pemerintahan akan dia atur sesuai dengan kemauannya.
Ketika Jokowi-JK dilantik, Ical, Prabowo, Anis Matta, Akbar Tanjung, Amin Rais, hanya tersenyum kecut. “Biarkan mereka dilantik dan menikmati jabatan orang nomor satu dan dua RI untuk sementara. Nanti kita akan menjegal mereka”, begitulah kira-kira yang ada di benak para elit KMP. Dan benar saja, satu-dua bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK, kaki tangan Ical, Bambang Soesantyo, terus merongrong pemerintahan Jokowi dengan aneka ancaman hak angket. Ada wacana hak angket kartu pintar Jokowi, hak angket kepada Menkumham dan penjegalan APBN-P 2015.
Kekuatan KMP yang begitu besar saat itu memang membuat segala kebijakan pemerintah sangat sulit berjalan karena selalu dihadang oleh keputusan DPR. Sementara di DPR sendiri saat itu, berlangsung konflik KMP vs KIH yang membentuk DPR tandingan. Situasi tak kondusif bagi pemerintahan Jokowi-JK. Tentu saja masyarakat tetap menyalahkan pemerintah kendatipun masalahnya sebenarnya ada di DPR.
Dalam situasi sulit tersebut, naluri politik senior Jusuf Kalla muncul. Ia mulai menjelma sebagai ‘kapal penyapu ranjau’ bagi Jokowi. Pengalamannya yang sudah melanglang buana di dunia politik yang begitu lama, menjadikannya sangat paham karakter teman dan lawan politiknya. Jusuf Kalla kemudian menunjukkan kapasitasnya sebagai lawan yang sepadan dengan Mahaguru Golkar, Akbar Tanjung. Kalla amat yakin bahwa para elit KMP terus menyebarkan ‘ranjau’ untuk menjegal ‘kapal perang’ Jokowi-JK. Karena itu, JK mengemban fungsi barunya ‘penyapu ranjau’.
Jusuf Kalla maju ke garis depan untuk mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintah dengan menyingkirkan ‘ranjau-ranjau’ yang ditanam oleh para elit KMP. Selain menyapu ranjau, JK juga bertugas untuk menyerang kapal-kapal KMP yang masih mabuk kemenangan. Ia mulai menggerogoti internal KMP. Hasilnya? Sungguh luar biasa. Berkat politik taktis JK yang diramu dengan taktik dan strategi jitu, pertahanan KMP kocar-kacir dan berhasil dilumpuhkan hingga 75 persen. KMP pun semakin lama-semakin lemah dan semakin tidak berdaya mengganggu pemerintahan Jokowi-JK.
Langkah taktis JK yang terus menyapu ranjau KMP membuat berbagai program Jokowi-JK berjalan dengan baik. Program infrastruktur, pencabutan subsidi BBM dan TDL, berjalan dengan lancar tanpa perlawanan yang berarti. JK pun berhasil membuat KMP terus sibuk dengan konflik di internal mereka sehingga tidak fokus untuk menyerang kebijakan pemerintah. Dan sekarang hal itu terbukti sudah.
Bila dilihat secara lugu, peranan JK di pemerintahan Jokowi memang terlihat berbeda. Masyarakat kerap melihat JK dengan Jokowi sering berbeda pendapat alias sering bertarung. Anehnya, Jokowi dan Jusuf Kalla menganggapnya biasa-biasa saja dan sama sekali beda pendapat mereka tidak menjadi masalah. Rupanya keduanya telah saling mengerti dan memahami peranan masing-masing. Jokowi berperan sebagai ‘Aktor Baik’ sementara JK berperan sebagai ‘Aktor Jahat’ untuk melibas lawan-lawan politik mereka.
Ketika JK berakting sebagai aktor jahat, Jokowi sudah memahaminya. JK kadang harus menjadi aktor jahat supaya ia dipercaya oleh lawan politiknya. Tujuannya adalah agar JK dengan mudah merapat dan menahan lawan poltik supaya tidak bermanufer lebih jauh. Resikonya memang ada. Kadang masyarakat menganggap JK jelek karena perannya itu. Namun hal itu jauh lebih bagus ketimbang lawan politik terus menggangu pemerintahan. JK pun kadang harus berakting seolah-olah berseberangan dengan Jokowi agar ia dianggap bagus dan tidak dicurigai oleh lawan politiknya ketika ia mendekat.
Pernyataan JK yang seolah-olah membela Polri saat berhadapan dengan KPK, membela PSSI saat dibekukan oleh Menpora dan terakhir membela pengeboran kembali Lapindo, adalah sebetulnya bagian dari langkah taktis JK untuk mendekati Ical lebih dekat. Dan jika sudah amat dekat, JK tinggal mencekiknya dalam senyap. Dan JK pun melakukan tugasnya sebagai penyapu ranjaunya dengan sukses.
Faktanya, kehancuran yang dibuat JK sungguh parah. Golkar terbelah, PPP terbelah. Dengan terbelahnya kedua partai anggota KMP itu, maka tidak ada lagi alasan untuk memperhitungkan Koalisi yang sebetulnya tidak ‘permanen’ itu lagi. Apalagi ditambah PAN yang pragmatis dan lebih memlih merapat kepada pemerintah, maka praktis KMP secara de jure sudah bubar.