Pihak-pihak yang ingin mendongkel Risma di Surabaya sedang menyusup ke Jakarta saat ini. Ada empat tim yang disusupkan masuk dan bekerja sama dengan warga dan politisi setempat. Keempat tim ini sedang bereaksi secara elegan. Mereka hadir di tengah-tengah warga dan mengatasnamakan warga Jakarta untuk berkoak-koak bahwa Risma sangat dibutuhkan oleh warga Jakarta.
Tim satu terus-menerus menggaungkan infromasi bahwa warga Jakarta sudah mempersiapkan sebuah sambutan hebat untuk menyambut kedatangan Risma. Â Tim kedua, sedang menggalang dukungan pro Risma dari berbagai lini. Tim ketiga sedang bereaksi di media dan terus menerus mem- blow-up informasi bahwa begitu banyak pihak yang menginginkan Risma maju bersaing melawan Ahok. Dan tim keempat, adalah tim destroyer, yang mencoba melancarkan kampanye pelemahan Ahok. Dalam tim keempat ini, masuk Masinton Pasaribu, yang terus berkoar bahwa kambing yang dibedakin pun akan menang melawan Ahok.
Jelas dan amat jelas bahwa mereka yang sangat ngebet merebut dan mendikte posisi Risma adalah para anggota DPRD Surabaya yang gagal mewujudkan tol di tengah kota, wakil wali kota Surabaya, Wisnu Sakti Buana, yang sekian lama merindukan posisi Risma dan Ketua DPP PDIP pemenangan Pemilu Bambang DH yang dulu gagal menjadi Gubernur Jatim yang juga orang dekat Wisnu. Tujuan jangka panjangnya adalah menguasai kursi gubernur Jawa Timur pada Pilkada 2018 mendatang.
Risma jelas tahu skenario pencokelan dirinya. Itulah sebabnya dia berulang kali menegaskan bahwa dia tidak akan meninggalkan rakyat Surabaya. Dia sudah berkomitmen penuh di Surabaya. Berita bahwa Risma telah minta maaf kepada rakyat Surabaya, adalah plintiran media. Risma juga tahu bahwa pada last minute, Mega akan mengusung Ahok untuk menjadikan negeri ini jauh lebih baik. Ahok di Jakarta, Risma di Surabaya, Jokowi di RI-1, Tito di Polri, dan Ganjar di Jateng. Klop sudah, sebuah tim super era PDIP.
Kalau Mega sampai sekarang belum memutuskan pilihan, itu karena dia ingin tahu sejauh mana air liur orang-orang rakus yang ingin mencokel Risma keluar meleleh. Ibarat makanan, mereka sedang mencium aroma sedapnya kekuasaan. Di samping itu, Mega juga ingin tahu sinetron plus skenario rakus para lawan Ahok yang sangat ngebet mendongkel Ahok dari posisinya. Mega jelas sabar dan tertawa-tawa melihat situasi panas menjelang Pilkada DKI. Mega juga tersenyum kecut melihat usaha Yusril dan Rizal Ramli yang juga ngebet memimpin ibu kota.
Tenang bro, toh tidak ada salahnya jika Mega menjatuhkan pilihan pada detik terakhir, atau satu menit sebelum KPUD menutup pendaftaran. Tujuannya adalah  membiarkan hawa panas bercampur tensi tinggi lebih mendidih melanda kota Jakarta dan Surabaya. Nantinya kalau Mega sudah mengusung Ahok, maka tensi politik langsung turun drastis.
Keputusan final dan kartu truf untuk memilih siapa calon yang diusung PDIP ada di tangan Mega dan tak ada yang mampu menggugat dan mengubahnya. Mega juga berencana memainkan Golkar yang merasa dirinya sudah menang dengan menelingkung PDIP. Istilahnya, Mega sedang mengambil ancang-ancang membuat penipu jadi tertipu dan terlihat mati kutu pada akhirnya. Mega akan membuat Golkar mati kutu pada akhirnya.
Bagi warga Jakarta, pada situasi sekarang ini, Ahok masih is the best. Ahok adalah sosok yang paling cocok meenduduki kursi panas DKI Jakarta ketimbang Risma. Dan Mega plus Jokowi amat paham itu. Baik Mega maupun Jokowi, paham bahwa Ahok adalah orang yang tepat memimpin ibu kota dan bukan Risma. Ahok yang ‘bajingan’ lebih cocok di Jakarta ketimbang Risma yang santun.
Sebagaimana Sutiyoso berulang kali mengatakan bahwa Jakarta adalah kota buas yang dipenuhi binatang buas, Â maka butuh sosok yang memiliki kebuasan super untuk menangani ibu kota. Bahkan Letnan Jenderal Sutiyoso pun yang menjabat Gubernur DKI selama sepuluh tahun, tidak mampu membenahi kota Jakarta dari preman liar, PKL liar, pemukiman liar, begal APBD, korupsi berjamaah dan seterusnya.
Hal yang sama terjadi di jaman Fauzi Bowo, jebolan Doktor lulusan Jerman, juga tidak berdaya membenahi kota Jakarta yang dikendalikan FPI jaman itu. Baik Sutiyoso dan Fauzi Bowo dalam lima belas tahun terakhir, terpaksa melakukan politik win-win solution plus politik damai untuk mengakomodasi berbagai kepentingan berbagai pihak di Jakarta.
Lalu mengapa sosok jenderal sekaliber Sutiyoso dan Doktor Fauzi Bowo (Foke) gagal membenahi Jakarta di jamannya? Jawabannya terletak pada tingkat kegilaan dan kebajingan mereka. Sutiyoso dan Foke jelas tidak memiliki kegilaan yang dimiliki Ahok. Ahok yang lulusan lokal dan double minoritas memiliki tingkat kegilaan dan ‘kebajingan’ super dalam membenani Jakarta. Dan itulah yang dibutuhkan di Jakarta, sebuah kegilaan super. Mengapa?