Publik sesak napas ketika Ahok menyerempet Surat Al Maidah ayat 51. Sesal pilu berkumandang di seantero negeri. Seharusnya Ahok tidak menyerempet ayat-ayat sensitif di bumi Pancasila ini. Di jaman digital ini, terkait soal agama, Indonesia masih hidup di era kegelapan, zaman Galileo, 500 tahun yang lalu.
Di bumi pertiwi ini, agama adalah senjata paling canggih, paling jitu untuk menjegal Ahok yang disebut kafir di Pilgub DKI 2017. Ketika Ahok menyerempet agama, musuhnya pun bersorak. Dengan tafsiran berbeda, Ahokpun dipaksa salah dan dicap telah menista agama. Ahokpun sukses dihancur-leburkan. Tinggal satu patokan ular, diadili di pengadilan dengan tuduhan penistaan agama, Ahok akan tenggelam selama-lamanya.
Jika publik menyayangkan sikap Ahok, tidaklah demikian bagi Ahok sendiri. Ahok paham benar bahwa ia kerap diserang dengan Surat Al Maidah ayat 51. Begitu banyak ia menghadapi pembungkaman dengan memakai ayat itu. Maka Ahok kembali menunjukkan karakternya. Ia melawan takdirnya yang bukan agama mayoritas. Ia membakar dirinya, memurnikan dirinya dengan berani terjun di episentrumdan hiposentrum serangan. Ia menyerempet ayat sakral.
Ahok paham bahwa saatnya telah tiba untuk bertarung. Ia siap menjadi arang atau emas. Jika ia seorang pendusta, penista, penipu, munafik, penjahat dan koruptor di negeri ini, maka saat ia membakar dirinya, ia akan keluar sebagai arang. Namun jika ia benar sebagai pejuang bangsanya, pembakar api revolusi bangsanya, maka saat ia membakar dirinya, ia akan keluar menjadi emas. Ya emas. Ia akan menjadi mutiara langka mengikuti segelintir putera terbaik bangsa sebelumnya.
Ahokpun membakar dirinya dengan menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 itu. Lalu seantero negeri terbakar. Netizen berdebat. Terjadi kegaduhan luar biasa. Para ulama, agamawan terkemuka dan cendekiawan terbaik keluar dari sarang memberi tafsiran. Tafsiran ayat 51 yang sebelumnya tak banyak diketahui publik, kini terkuak lebar-lebar. Publik dipaksa membaca aneka tafsiran di berbagai sumber. Publik mencari kebenaran. Lalu di saat yang tepat, Ahok meminta maaf.
Nusron Wahid menjadi bintang pencerah nalar-nalar gelap publik. Setiap orangpun diuji level nalarnya apakah mengutuki Ahok atau memahami nalarnya. Sementara Ahok berhasil masuk dalam jantung serangan, netizen terbelah. Ahok sukses memancing publik untuk kembali membuka kebenaran hakiki Surat Al Maidah ayat 51 itu.
Strategi menyerang frontal, sekali lagi ditunjukkan Ahok. Jika calon kepala daerah lain tidak berani menyinggung ayat itu, Ahok justru berani menyinggungnya. Hasilnya, ada di nalar publik. Di satu sisi memang Ahok dipandang telah melakukan blunder besar. Namun di sisi lain Ahok dipandang telah membuka cakrawala publik. Ahok melakukan kejutan. Ia mendahului lawannya yang akan menyerangnya dengan ayat itu di akhir masa kampanye. Namun Ahok telah lebih dulu membakar dirinya dengan ayat itu. Di akhir masa kampanye, serangan atas nama agama tidak lagi berbisa.
Menjelang Pilkada Februari 2017 mendatang, jika ada serangan dengan ayat itu, maka publik tidak lagi terkejut. Publik sudah paham tafsirannya. Inilah yang membuat Ahok satu langkah lebih unggul dari lawan-lawannya. Senjata terakhir atas nama agama untuk membungkam Ahok sudah diketahui publik. Apakah Ahok sukses dengan strategi ini? Ya, sukses. Ia telah memporak-poraknda kadar nalar publik.
Ahok yang berkarakter ingin selalu bebas dari cengkeraman sandera, membuat darahnya tak takut melakukan serangan frontal. Dan itulah yang membuatnya hingga saat ini keluar sebagai pemenang. Ditilik dari belakang misalnya, karakter serangan frontal Ahok yang membakar dirinya dengan serangan frontal bisa ditelusuri. Ahok kerap menghadapi langsung segala bentuk serangan yang berpotensi menyenderanya.
Ketika ia merasa bahwa DPRD DKI Jakarta akan menyandera dirinya, maka Ahok langsung menyerang frontal DPRD DKI. Ahok berani membeberkan anggaran siluman yang nilainya triliunan itu. Hasilnya, kini DPRD DKI Jakarta tidak lagi bisa mendikte Ahok.
Ketika Ahok merasa bahwa FPI akan menyandera dirinya di DKI Jakarta, Ahok langsung menyerang frontal dan berani menyuarakan pembubaran FPI. Hasilnya, dua tahun terakhir ini, tidak ada lagi sweeping liar yang berani dilakukan oleh FPI di ibu kota.