Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

7 Dampak Psikologis-Moral Atas Tersangkanya OC Kaligis

16 Juli 2015   10:19 Diperbarui: 4 April 2017   16:28 7281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terseretnya pengacara kondang OC Kaligis pada kasus suap Hakim PTUN Medan, membuat publik terkejut. OC Kaligis yang selama ini terkenal dengan kegigihannya dalam menegakkan keadilan di negeri ini nyatanya tidak beda dengan para pengacara lain. Suap-menyuap, jual-beli perkara dan memutarbalikkan fakta serta mencari celah hukum adalah ciri khas pengacara yang diyakini dan dipercaya oleh masyarakat selama ini. Lalu apa dampak psikologis-moral atas tersangkanya OC Kaligis?

Pertama, karir cemerlang OC Kaligis di akhir masa tuanya tercoreng hitam. Ibarat kata pepatah ‘Kemarau setahun pupus oleh hujan sehari’, atau lebih tepatnya: "Karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Kaligis yang selama puluhan tahun membangun reputasi sebagai pengacara hebat, terkenal, disegani lawan mapun kawan dan banyak memenangkan perkara, kini jatuh ke titik nadir. Kaligis menyandang ‘gelar fenomenal’ baru yakni tersangka KPK. Ke depan, Kaligis akan terus menyesali nasibnya di penjara KPK dan menyalahkan dirinya sendiri kenapa tidak berhenti jadi pengacara 15 tahun yang lalu seperti yang pernah dijanjikannya. Moral para murid didikan Kaligis semacam Amir Syamsuddin, Hamdan Zoelfa, Juniver Girsang dan sejumlah pengacara lain turun drastis di hadapan publik.

Kedua, stigma pengacara di mata publik terus-menerus buruk. Bila Kaligis saja yang gigih memperjuangkan keadilan publik selama ini dan memperjuangkan kejujuran dalam berperkara, apalagi dengan pengacara-pengacara lain yang hanya berjuang demi material semata. Publik semakin tidak mempercayai pengacara kondang lain sebagai pengacara yang bersih, berintegritas tinggi dan bermartabat. Malahan stigma pengacara identik dengan jual-beli perkara dan kental dengan aroma suap-menyuap demi memenangkan perkara klien yang dibelanya.

Ketiga, terseretnya Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, yang juga kader PKS yang ikut disebut-sebut dalam kasus ini, akan membuat moral para elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) semakin jatuh. Sisa-sisa kejayaan PKS pasca tertangkapnya Presiden PKS Luthfi Hasan dan terlibatnya Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan pada kasus korupsi stadion Gedebage, Bandung, membuat reputasi PKS sebagai partai bersih, habis sudah. Partai ini terpuruk sudah di mata masyarakat dan dicap sebagai Partai yang lihai bermain korupsi dan tidak ada bedanya dengan partai lain semacam partai Demokrat yang kadernya banyak terseret kasus korupsi.

Keempat, penangkapan ketiga Hakim PTUN Medan bersama karyawan OC Kaligis dan ikut menyeret Kaligis sendiri telah membuat pamor KPK yang sudah mulai pudar kembali sedikit beranjak naik. KPK yang selama ini diobok-obok oleh Kabareskrim Budi Waseso dan tiga kali kalah dalam pra-peradilan serta para pimpinannya dijadikan tersangka dengan pasal karet oleh Polri, telah membuat pesimistis publik atas kinerja masa depan KPK di negeri ini. Publik bertanya-tanya apakah KPK masih bergigi dan berani membongkar kasus-kasus korupsi dan membersihkan negeri ini dari kerakusan koruptor? Penangkapan ketiga Hakim PTUN, Kaligis dan karyawannya membuat harapan publik tumbuh bersemi kembali bagaikan setitik embun di pagi hari. KPK bolehlah sedikit berbangga karena berhasil menangkap mangsa besar di bulan Ramadhan ini.

Kelima, terbongkarnya kasus suap yang menyeret Gatot Pujo Nugroho sebagai Gubernur Kepala Daerah Sumatera Utara, telah menguatkan bukti bahwa selama ini, pemerintah daerah tidak juga lepas dari pemerasan para hakim lewat para pengacara. Kasus-kasus yang melibatkan pemerintah daerah kerap dikalahkan oleh pengadilan. Sebagai contoh Pemrov DKI Jakarta kerap dikalahkan oleh pengadilan atas berbagai kasus sengketa tanah, properti dan sebagainya. Itu menandakan bahwa pemerintah daerah menjadi sasaran para pengacara untuk membangun reputasi bahwa pemerintah pun bisa dikalahkan oleh swasta. Celakanya pemerintah daerah juga ikut-ikutan arus dan situasi. Banyak pemerintah daerah ikut menyuap para hakim agar bisa menang di Pengadilan. Jadi pemerintah sendiri ikut andil dalam merusak moral bangsa ini.

Keenam, tersangkanya OC Kaligis menjadi pembelajaran bagi sederet pengacara kondang lain macam Hotman Paris Hutapea, Hotma Sitompul, Todung Mulya Lubis, dan seterusnya. Sudah banyak pengacara ikut tertangkap dan menjadi tersangka dalam kasus suap oleh KPK. Dengan tertangkapnya Kaligis, maka pengacara harus sadar bahwa suatu hari mereka akan mengalami nasib yang sama. Seperti peribahasa mengatakan: “Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga”, “Bau busuk yang dibungkus dengan rapi sekalipun akan tercium juga baumnya”. Dengan kata lain nyali untuk menyuap para hakim adalah suatu perjuadian. Kalau tidak pandai menyembunyikannya dan terus memakai strategi suap demi memenangkan perkara, maka suatu saat akan mengalami nasib apes seperti Kaligis, diseret oleh KPK.

Ketujuh, tertangkapnya ketiga hakim PTUN di Medan itu adalah gambaran masih carut-marutnya hukum di Indonesia. Berbeda dengan Denmark, Singapura, Swiss, Norwegia yang pengadilannya benar-benar murni adu logika, adu pasal hukum, adu bukti dan fakta hukum. Namun di Indonesia, hukum lebih pada adu kerabat hakim, jaksa, polisi, adu beking, adu suara besar, adu trik, adu modal suap dan adu nama pengacara. Tersangkanya OC Kaligis dan tertangkapnya ketiga Hakim PTUN di Medan itu membuat indeks persepsi korupsi Indonesia sangat sulit beranjak naik dan stagnan pada peringkat 107 dari 175 negara.

Itulah ketujuh dampak psikologis-moral tersangkanya OC Kaligis. Adalah tugas Mahkamah Agung (MA) untuk benar-benar menyeleksi dan mengawasi ketat para hakimnya di seluruh Indonsia. Tertangkapnya ketiga hakim di PTUN di Medan itu hanyalah fenomena gunung es adanya suap-menyuap di kalangan para hakim. Praktik itu sebenarnya sudah lama terjadi dan tidak pernah bisa diberantas sampai sekarang ini termasuk oleh MA sendiri dan komisi Yudisial yang berwewenang mengawasi para hakim.

Asaaro Lahagu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun