Jokowi lebih memilih KSAD, Jenderal Andika sebagai Panglima TNI. Pilihan lain dari mantra laut, KSAL Laksamana Yudo Margono, tidak beruntung. Apakah Jokowi memilih Andika karena balas budi atau bisikan?
Memang benar,  Andika menantu Jenderal Hendropriyono. Hendro dikenal dekat dengan Mega. Tetapi kalau ini ukurannya, Jokowi yang keras kepala, tidak  akan tunduk pada permainan ini. Jadi jelas bukan soal balas budi atau bisikan.
Jokowi  memilih Andika sebagai Panglima TNI karena faktor keseimbangan. Di istana ada Jenderal Moeldoko yang cukup kuat dan sulit digeser posisinya. Moeldoko, sudah mulai "bermain" dengan mengkudeta Demokrat. Permainan Moeldoko, yang offside, bisa dibaca sebagai sebuah 'kegatalan".
Kelihatannya Moeldoko sudah bosan sebagai KSP. Ia ingin variasi. Kursi yang dia incar adalah Menkopolhukam. Masalahnya di area itu ada Mahfud. jika Moledoko menggantikan Mahfud MD, masih ada di bawah koordinasinya Jenderal Prabowo, si Menhan, seniornya Moeldoko. Â Karena stagnan di KSP, Moeldoko mulai dikit-dikit nakal.
Walau begitu, Jokowi tidak sampai mengambil keputusan untuk menggantikannya. Moeldoko masih bisa diandalkan. Keberadaannya di KSP, cukup menjadi benteng pertahanan yang kokoh. Tetapi masalahnya, "kenakalan" Moeldoko bisa semakin menjadi-jadi kalau tidak ada yang menetralisir. Jadi perlu sosok Jenderal Andika.
Jenderal Andika dengan dukungan Hendropryono, bisa menetralisir Moeldoko. Dulu, Moeldoko masuk di lingkar istana untuk menetralisir pengaruh agresif Gatot Nurmantyo. Terbukti ketika Moeldoko masuk sebagai penyeimbang, Â Gatot gagal total mendikte Jokowi. Gatotpun dipecat lebih awal dari kursi Panglima TNI.
Taktik penerapan keseimbangan di kabinetnya menjadi senjata andalan Jokowi. Dulu untuk menetralisir pengaruh dominan para Menteri dan anggota DPR dari PDIP, Jokowi merekrut Luhut B. Panjaitan. Selain penyeimbang, Luhut juga dipasang sebagai penyapu ranjau dari Golkar Aburizal Bakri plus Setya Novanto. Dan berhasil. Namun keadaan justru mulai terbalik. Luhut menjadi dominan di Kabinet.
Kini, Jokowi mulai ganti pemain. Luhut, yang ternyata ikut "bermain" PCR , digeser dalam menangani Covid saat Natal-Tahun Baru. Muhadjir Effendy ditunjuk menggantikan Luhut mengkoordinir penanganan Covid selama Nataru. Jadi Luhut yang selama ini menjadi koordinator penanganan Covid digeser. Peran Muhadjir terlihat hanya untuk sementara. Nantinya, Jenderal Hadi yang bakal masuk ke istana untuk menetralisir peran Luhut yang dominan.
Jenderal Hadi, sosok yang tidak banyak bicara dan tidak mencari popularitas. Namun ia sangat setia, pekerja, loyal dan dan tegak lurus. Ini cocok untuk masuk di lingkar istana hingga 2024 mendatang. Di saat para Menteri seperti Airlangga, Prabowo, Sandi, Erick Tohir, Mahfud MD, dst yang gatal jadi capres, perlu masuk Jenderal Hadi sebagai penyeimbang baru.
Menjelang PIlpres 2024, Jokowi paham bahwa banyak pihak yang berlomba aji mumpung. Paham bahwa jabatan Jokowi, tinggal 3 tahun lagi, para menterinya mulai berhitung kesempatan. Nah 'aji mumpung'. Mumpung masih berkuasa, maka kesempatan untuk meraup keuntungan. Bisa saja aji mumpung inilah yang menyeret Luhut soal bisnis PCR.
Kita ingat di tahun 2012, saat jabatan SBY 2 tahun lagi berakhir di tahun 2014, para menteri doyan memanfaatkan 'aji mumpung'. Di tahun 2012 itulah, para menteri SBY doyan korupsi. Kisah Andi Malarangeng yang terkuak di siding KPK, bahwa sudah tiga tahun menjadi menteri, belum dapat apa-apa, menjadi contoh. Betapa para Menteri itu ingin meraup sesuatu di akhir masa jabatan. Lagi-lagi 'aji mumpung'