Akibat demo berseri, Ahok terlihat linglung. Ibarat arena tinju, demo itu ibarat hook telak lawan. Ketika kewaspadaan lengah, pukulan lawan amat mudah masuk. Â Dan itu yang terlihat terhadap Ahok. Ia lengah, lidahnya keseleo. Ia menyerempet surat Al-Maidah ayat 51. Lalu ia dicap menista agama.
Demopun datang bagai air bah. Ahok dengan cepat dinyatakan tersangka. Jokowi, Tito Karnavian, Kejaksaan Agung, melantunkan koor bersama. Ahok  harus menjalani proses hukum. Untungnya Ahok tidak sampai TKO apalagi KO seketika. Ia tidak ditahan. Dan karenanya, ia masih berdiri tegak.
Saat jutaan orang dari berbagai penjuru menghakiminya, Ahok terlihat tetap tegar dan masih mampu berdiri kokoh. Ia masih giat berkampanye. Jujur, hanya segelintir orang yang mampu bertahan dalam situasi demikian. Kalau bukan Ahok, mungkin sosok lain yang senasib dengan dia, sudah menyerah. Keyakinan Ahok bahwa ia tidak seperti yang dituduhkan, ia yakin di jalan yang benar, membuatnya masih mampu bertahan hingga saat ini.
Hari ini Selasa, (13/12/2016), jam 09.00 pagi, Ahok akan menjalani sidang  sidang perdana.  Pengamanan super ketatpun sudah dan akan terus dilakukan. Ahokpun siap mengikuti sidang. Ahok hanya berharap semuanya berjalan lancar. Ahok terlihat tabah dan siap menjalani persidangan. Dalam setiap kesempatan, Ahok berkali-kali meminta maaaf atas ucapannnya dan tidak bermaksud menghina agama orang lain. Sebuah contoh hebat dari pejabat dalam menjalani proses hukum.
Hanya ada satu pertanyaan besar di benak publik saat ini. Apakah Ahok akan masuk penjara atau bebas dari tuduhan penistaan agama? Kini, mata dan telinga tertuju ke tempat pengadilan, Jalan Gajah Mada, Jakarta Utara.
Jika logika demo yang menjadi pertimbangan, maka jawaban pertanyaan di atas mudah ditebak. Ahok dipenjara. Mengapa? Kelima hakim yang akan mengadili Ahok, tidak akan kuat menghadapi tekanan demo. Logikanya, jika seorang Presiden, Kapolri, Jaksa Agung, dan keempat partai pendukung Ahok tunduk pada tekanan demo, maka apalah artinya kekuatan kelima hakim itu. Demo lanjutan akan membuat independensi mereka goyah.
Proses kasus Ahok dari Bareskrim Polri sampai dilimpahkan ke pengadilan yang super kilat, sudah cukup bukti bahwa tekanan demo mempunyai efek luar biasa. Bisa dipahami jika proses kasus Ahok yang super kilat itu telah menimbulkan dua persepsi publik.
Pertama, Polri benar-benar memilik dua alat bukti yang valid untuk menjerat Ahok. Jika ada bukti valid, maka prosesnya sangat cepat. Tetapi premis ini menyisakan celah untuk mendebatnya. Polemik  beberapa pihak saat dilakukan gelar perkara 15 November lalu, membuat publik menjadi ragu. Benarkah cukup alat bukti untuk melimpahkan kasus Ahok itu ke pengadilan?
Kedua, Bareskrim Polri tidak memiliki bukti yang benar-benar kuat terkait kasus itu. Namun Polri beranggapan bahwa biar pengadilan yang memutuskan. Jika Ahok menang, tak masalah. Jika kalah, juga tidak masalah. Yang penting, kasus itu sudah melewati institusi kepolisian. Hal yang sama berlaku di Kejaksaan. Biarkan pengadilan yang memutuskan. Dengan bukti-bukti yang mudah dibantah, maka Ahok akan berada di atas angin. Lalu apakah Ahok bebas di pengadilan? Tidak juga.
Sekarang lawan Ahok sedang membangun opini bahwa Ahok sedang dikorbankan. Ahok tidak akan bebas di pengadilan. Sematan tersangka tidak akan membuat Ahok bebas. Apalagi ada stigma yang menjadi sejarah di republik ini bahwa tidak pernah ada satupun tersangka penista agama di negeri ini pernah bebas di pengadilan. Ini jelas bagian dari propaganda politik, agar para pendukung Ahok menjadi berangsur-angsur lemah.
Bahkan di kalangan para kader PDIP sendiri  ada keyakinan bahwa Ahok akan dihukum satu tahun penjara. Skenarionya Ahok diusahakan menang satu putaran. Lalu setelah menang, keluar vonis pengadilan bahwa Ahok dinyatakan bersalah dan dihukum penjara satu tahun. Vonis itu akan keluar setelah Pilkada. Dengan demikian, Djarot naik menjadi Gubernur. Wakilnya tinggal di pilih oleh pertai pendukung.
Lalu bagaimana jika Ahok kalah di Pilkada 15 Februari 2017 mendatang? Ahok tetap divonis satu tahun penjara. Begitulah skenario yang sedang dirancang di belakang layar. Jadi, menang atau kalah, Ahok tetap masuk penjara. Lalu apakah begitu skenario mudahnya? Tidak juga. Selalu saja ada celah yang membuat Ahok bebas di pengadilan.
Jika disebut bahwa Presiden, Kapolri, Kejaksaan, tunduk pada tekanan demo, maka jawabannya tidak juga. Demo 212 yang meminta agar Ahok ditahan dan dipenjarakan sebelum disidang, ditentang mati-matian oleh Kapolri. Buktinya, sampai sekarang Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung tetap berpegang kepada keputusannya untuk tidak menahan Ahok. Nah, di sini harapannya. Polri akan membela dan berpegang kepada keputusan hakim, jika Ahok dinyatakan bebas di pengadilan.
Fakta sejarah yang menyebutkan bahwa tidak pernah ada seorang pun tersangka penista agama yang pernah bebas di pengadilan. Fakta itu benar, namun tidak mutlak. Kasus penistaan agama sebelumnya terbukti telah menista agama secara terang-terangan melalui aksi ucapan dan tindakan. Akan tetapi pada kasus Ahok, sebaris ucapannya, terdapat banyak celah bila disimpulkan telah terjadi penistaan. Â Sangat mungkin fakta sejarah di atas tidak berlaku bagi Ahok.
Poin berikutnya adalah tersangkanya Buni Yani yang menjadi biang provokator  isu penistaan agama itu. Sulit melepas Buni Yani terkait video yang telah disebarkannya. Jika memang Ahok benar-benar menista agama, maka logikanya Buni Yani tidak ikut terseret dalam kasus itu. Faktanya, Buni Yani, telah dinyatakan sebagai tersangka dan kini sibuk melawan di Pra-Peradilan. Sementara Ahok tidak melirik pra-peradilan. Ahok ikhlas menjadi tersangka dan tidak tertarik melawan di pra-peradilan.
Lalu jika Ahok benar-benar bersalah telah menista agama, lalu mengapa harus ada demo  berseri dan memaksa dia  agar ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, didakwa dan ingin dijadikan sebagai terpidana penista agama? Jika Ahok salah, tidak perlu ada demo. Fakta sejarah di negeri ini, tidak pernah ada penista agama yang didemo besar-besaran dulu, baru ditetapkan tersangka. Jelas unsur politik sangat kental bercampur pada kasus itu.
Poin terakhir yang menjadi intrik bahwa Ahok bisa bebas di pengadilan adalah ketakutan siaran langsung oleh berbagai pihak. PWI, KPI, MK menyarankan agar sidang Ahok tidak disiarkan secara langsung. Setelah beberapa pihak keberatan siaran langsung pada saat gelar perkara 15 November, lalu mengapa sekarang banyak pihak yang ketakutan siaran langsung? Takut terbukti bahwa Ahok tidak terbukti menista agama? Jika tidak, maka siaran langsung mutlak dilakukan. Itu adalah bagian dari kebebasan pers.
Survei SMRC (8/12/2016) mengatakan bahwa 87 persen warga masih belum pernah menonton video Ahok secara utuh. Mereka hanya menonton video potongan Buni Yani. Nah, jika ada siaran langsung, maka video utuh Ahok di Kepulauan Seribu itu pasti akan diputar secara utuh. Lalu publik akan dengan mudah menilainya. Siapa benar, siapa salah, publik akan bisa menilainya sendiri.
Lalu bagaimana peluang Ahok bebas? Â Berdasarkan intrik-intrik di atas, maka jawabannya 50-50. Jika Ahok cerdas memainkan argumen, pesona, dan berlaku sebagai korban kriminalisasi di pengadilan, maka persentase kebebasannya akan semakin besar. Sebaliknya, jika ia salah langkah di pengadilan, maka persentase masuk penjara semakin besar. Jadi persentasenya sama-sama besar. Â Selamat menyaksikan sidang-sidang Ahok.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H