Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Taruhan Resiko, Fadli Zon Menjerit, Fahri Lengser, Sanusi Jatuh, Padomoro Kena Aib

4 April 2016   16:54 Diperbarui: 6 April 2016   01:36 45509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar dari proyek Hambalang yang menjadi sarang hantu karena korupsi, Jokowi tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Pertama, ia memastikan benar bahwa proyeknya sedang berlangsung (terus dipantau) dan kedua, proyek tersebut bebas dari korupsi para oknum pejabat. Tentu saja Jokowi tidak ingin satu rupiah pun uang pinjaman atas negara itu bocor dan masuk ke kantong pribadi. Maka iapun terus meminta Rizal Ramli agar mengepret para menteri yang berpotensi menyalahgunakan wewenangnya.

Demi keberhasilan proteyek insfrastrukturnya, maka Jokowi terlihat semakin ketat, sangar, bengis dan menolak takut memberantas korupsi. Strategi Jokowi melancarkan perang melawan korupsi hanya ada dua, yakni mencegah dan menindak. Jokowi kemudian menutup super rapat semua kran potensi korupsi. Untuk pencegahan, ia menuntut semua kementeriannya melakukan transparasi penggunanaan dana. Jika ada kelebihan dana, harus dikembalikan dan tidak boleh dihabiskan begitu saja. Setiap Rupiah harus bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan peruntukannya.

Untuk penindakan, Jokowi mendorong KPK untuk lebih sangar, lebih galak, lebih ‘membunuh’ dalam menindak para koruptor. Para menteri, gubernur dan Bupati/walikota, dipetakan oleh KPK dan terus dimatai-matai siang malam untuk melacak potensi korupsinya. Pun partai-partai pun dimatai-matai oleh para penegak hukum siang dan malam. Akibatnya, partai-partai mulai menjerit kekurangan dana. Partaipun tidak bisa melakukan korupsi. Tidak berlebihan jika Fadli Zon dari Gerinda kemudian ikut menjerit. Fadli mengeluh dan mengeluarkan pernyataan bahwa sekarang sangat sulit bagi sebuah partai untuk mendapat dana. Fadli Zon pun meminta agar dana subsidi untuk partai dinaikkan dari Rp. 108 per perolehan suara menjadi Rp. 5000,- per perolehan suara.

Jeritan Fadli Zon juga dialami oleh Pertai Keadilan Sejahtera (PKS). Di zaman SBY, PKS yang berada di dalam lingkaran pemerintahan dengan gampang memperoleh dana baik dari kadernya yang masuk dari pemerintahan, duta besar, atau komisaris BUMN atau jabatan penting lainnya. Belum lagi dana yang diperoleh dari sebuah Kementerian (ingat korupsi) sapi Lufthi Hasan Ishaq  yang bisa membuat pundi-pundi PKS tebal. Tetapi sekarang dengan situasi PKS yang bertindak sebagai partai oposisi, plus penutupan seluruh keran korupsi oleh Jokowi, lalu seluruh kepala daerahnya dimatai-matai KPK, maka praktis dana untuk PKS sangat minim dan bisa jadi ke depan partai ini kehabisan dan untuk sekedar bertahan.

Sementara itu kebijakan PKS untuk menentang terus pemerintahan Jokowi sudah tidak memberi manfaat apapun. Malah justru partai ini semakin rusak di mata publik. Hal itu disebabkan oleh sepak terjang Fahri Hamzah yang hanya omong besar di DPR dan sibuk membela koleganya Setya novanto. Maka untuk mengatasi situasi itu jalan satu-satunya bagi PKS untuk menyelamatkan partai adalah sedapat mungkin bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Jika berhasil bergabung dengan pemerintahan Jokowi, maka PKS bisa memperoleh lebih banyak manfaat ketimbang oposisi.

Namun ada satu batu sandungan bagi PKS yang membuat hubungan PKS dengan Presiden Jokowi tidak bisa mesra. Batu sandungan itu adalah kader PKS Fahri Hamzah yang sangat getol menghina Jokowi. Untuk menghilangkan batu penghalang itu maka jalan satu-satunya adalah memecat Fahri Hamzah sebagai kader PKS. Jika PKS berhasil mendepak Fahri Hamzah dari PKS, khususnya dari kursi wakil ketua DPR, maka PKS akan memulai hubungan baru dengan Jokowi. Isu yang beredar mengatakan bahwa surat pemecatan Fahri Hamzah sudah dikeluarkan oleh para petinggi PKS.

Kebijakan Jokowi yang menutup semua celah korupsi diikuti dengan sangat keras oleh Ahok di DKI Jakarta. Sekarang DPRD DKI Jakarta tidak bisa lagi bermain anggaran karena sudah masuk dalam e-budgetting. Akibatnya para anggota DPRD terpaksa  mencari lahan baru untuk melakukan korupsi. Muhammad Sanusi, anggota DPRD dari Gerinda pun adalah korban dari penutupan rapat kran korupsi dari Ahok di Jakarta. Sanusi pun bersama anggota DPRD lain hanya bisa bermain pada penjualan pasal-pasal Raperda. Itupun sial bagi Sanusi, ia tertangkap tangan oleh KPK. Mimpi Sanusi untuk menjadi Cagub pun menjadi sirna dan bahkan ia mendapat gelar baru: “maling teriak maling”.

Bagi Agung Padomoro, sulitnya menyuap Jokowi semasa menjadi Gubernur DKI Jakarta terulang di masa Ahok. Sebetulnya Ahok telah mengeluarkan ijin reklamasi pulau G untuk Agung Padomoro Land pada tahun 2014. Namun namanya kerakusan, Agung Padomoro Land ingin mendapat keuntungan lagi pada penyusunan Raperda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan tata ruang strategis Jakarta Utara. Agung Padomoro sangat tergiur dengan potensi omzet reklamasi wilayah pesisir yang mencapai Rp.1.500 triliun untuk puluhan tahun ke depan.

Terkait proyek reklamasi, Ahok  telah meminta kewajiban pengembang agar membagi hasil 15% kepada Pemda DKI dari nilai jual objek pajak (NJOP) dari setiap Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pengelolaan (HPL) yang dijual. Kontribusi tambahan ini harus dibayarkan oleh pengembang termasuk Agung Padomoro agar mendapat izin pembangunan reklamasi pulau. Karena merasa kontribusi tambahan itu terlalu berat, maka Agung Padomoro pun melakukan sejumlah lobi uang kepada anggota DPRD. Hasilnya sejumlah anggota DPRD pun mengusulkan agar kontribusi itu hanya 5% saja.

Nah karena Ahok masih sulit disuap, maka Agung Padomoro pu masuk lewat belakang, lewat DPRD. Sial bagi Agung Padomoro, niat busuk untuk meraup keuntungan yang lebih besar, tercium oleh KPK. Anggota DPRD DKI Jakarta M. Sanusi tertangkap tangan sebagai pihak yang disuap. Sementara Presdir Agung Padomoro, Ariesman Widjaja ditetapkan KPK sebagai tersangka penyuap. Akibatnya, nama besar Agung Padomoro pun menjadi tercemar. Kasus itupun menjadi aib  bagi Agung Padomoro. Agung Padomoro pun menjadi korban penutupan super ketat kran korupsi di DKI yang digagas oleh Jokowi dan Ahok.

Itulah pertarungan sengit Jokowi. Ia bertarung di infrasrukturnya di tengah masih maraknya korupsi. Subisidi BBM untuk infrastruktur ternyata tidak banyak membantu karena menurunnya penerimaan pajak. Namun demikian, Jokowi pun terus berambisi membangun infrastruktur dengan dana sebagian dari utang. Nah, agar utang itu tetap tepat sasaran, maka Jokowi melancarkan perang terhadap korupsi. Ia mendorong KPK untuk lebih sangar dalam menindak para koruptor. Akibatnya partai, anggota DPR, DPRD, para kepala daerah tidak bisa lagi bebas melakukan korupsi anggaran dan terpaksa menjual peraturan daerah sebagai bahan bancakan korupsi baru. Sialnya itu pun dipelototi KPK. Dan Sanusi pun terjatuh, Agung Padomoro kena aib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun