Ahok sendiri yang sebetulnya menginginkan lokalisasi prostitusi di Jakarta, tidak berani secara frontal merealisasikan program itu. Ahok setuju lokalisasi prostitusi, namun bukan model seperti Kalijodo. Bagi Ahok, Kalijodo justru harus ditertibkan dan direlokasi. Ahok ingin lokalisasi khusus yang bisa dipantau, dikelola, dan dikenakan pajak oleh pemerintah. Namun membuat lokalisasi baru, sangat tidak mungkin. Karena sudah amat jelas, ia akan ditentang oleh berbagai elemen masyarakat Jakarta. Itulah sebabnya Ahok tidak memprioritaskan penyelesaian prostitusi di Kalijodo dalam proyeknya. Ahok hanya menunggu moment yang paling tepat untuk bertindak.
Ketika Riki Agung Prasetya dengan mobil Fortunernya mengalami kecelakaan dan penyebabnya berawal dari Kalijodo, Ahok pun langsung bermanufer. Ahok yang sudah tahu kekuatan preman di Kalijodo yang amat kuat, melempar gertakan awal. Ahok mengatakan akan ia sikat Kalijodo dengan membawa tank, tentara dan polisi. Itu adalah pernyataan cerdas. Ahok pasti sadar betul bahwa rayuan atau bujukan apapun kepada warga dan preman Kalijodo tidak akan digubris. Strategi gertakan Ahok yang membahana akan mengirim sinyal kepada para preman Kalijodo untuk tidak berani melawan.
Strategi berikutnya Ahok adalah strategi jepit. Secara pelan-pelan, aparat keamanan akan dikirim ke sana untuk mendata warga, sekaligus mengukur kekuatan preman yang ada di sana. Para aparat kepolisian dan mungkin tentara akan mulai memberi penyuluhan sambil membujuk setengah memaksa warga agar pindah dari lokasi. Jika saatnya tiba, Ahok bersama TNI dan Polisi akan menutup lokasi secara paksa dengan kekuatan penuh seperti strategi Ahok di Kampung Pulo. Strategi perang frontal mungkin akan diambil Ahok untuk menangani Kalijodo.
Penutupan lokasi prostitusi di Kalijodo adalah uji nyali dan strategi Ahok menjelang Pilkada 2017 mendatang. Kalau wali kota Surabaya Tri Rismaharini dapat menutup lokalisasi Dolly, maka Ahok juga ditantang untuk melakukan hal yang sama. Ahok dengan dukungan penuh Polda Metro Jaya dan TNI dapat meniru sebagian cara Risma dalam menangani prostitusi Kalijodo. Jika Ahok berhasil menutup Kalijodo dengan meminimalkan dampaknya, maka citranya semakin menanjak menjelang Pilkada.
Tentu saja menutup Kalijodo tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ahok harus kerja keras dan waspada. Kalijodo bukanlah Dolly. Para preman Kalijodo memang berani mati. Kalijodo juga sudah benar-benar dikelola bak mafia. Sudah pasti penutupan Kalijodo, akan mendapat perlawanan sengit dari warga dan para preman di sana. Bukan tidak mungkin, akan terjadi pertumpahan darah yang menyebakan tragedi kemanusiaan. Hal itu bisa mencoreng reputasi Ahok. Jadi Ahok harus hati-hati, harus ada persiapan matang, kalkulasi akurat dalam menghitung kekuatan sebelum melakukan penertiban di Kalijodo.
Tentu saja Negara tidak boleh kalah dengan preman. Jika Ahok berani menentang dan membubarkan FPI, maka Ahok juga harus berani menghadapi warga dan preman Kalijodo tanpa takut. Kalijodo memang sudah harus ditutup. Ia adalah tempat tumbuhnya penyakit masyarakat. Benar bahwa di sana ribuan dan bahkan puluhan ribu orang menggantungkan hidup. Namun tetap saja tidak bisa dibenarkan. Menggantungkan hidup dengan sumber pencaharian yang salah, tetap salah. Ke depan persepsi kita terhadap Kalijodo sebagai tempat prostitusi mungkin akan  segera berubah. Kita mungkin kembali mengenang Taman Kalijodo sebagai tempat yang indah, tempat bertemunya para muda-mudi seperti di era kejayaannya tahun 1950. Di saat itulah sejarah indah Kalijodo kembali bersemi.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H