[caption caption="Mata Dita Aditya Ismawati lebam mengaku dianiya oleh anggota DPR, Masinton Pasaribu (Foto detik.com)"][/caption]
Jika lelaki jantan, Masinton Pasaribu, membogem Fadli Zon, mungkin publik tidak begitu bereaksi. Toh, dua-duanya pejantan, dua-duanya anggota DPR, dua-duanya bermulut besar dan dua-duanya berdarah panas. Jika hal itu benar terjadi, reaksi publik paling keras menyebut mereka sebagai anak-anak TK yang gemar berkelahi, persis seperti ucapan mantan Presiden Gus Dur. Tetapi bagaimana kalau lelaki jantan Masinton Pasaribu, elit PDIP, anggota DPR itu membogem seorang wanita sampai bengkak dan berdarah-darah?
Demonstrasi kelelakian Masinton membogem Dita Aditia Ismawati, jelas menjijikkan. Dita, stafnya sendiri dari Nasdem, bukanlah lawan yang sepadan bagi Masinton. Dita adalah wanita yang mungkin belum berlatih Kungfu Panda untuk menangkis bogem mentah Masinton. Jika berhadapan dengan Masinton, Dita pasti kalah telak. Duel tangan kosong Masinton vs Dita jelas sebuah pertarungan yang timpang. Tangan kekar, wajah garang dan amukan Masinton membuat Dita terhuyung-huyung tak berkutik. Efeknya, mata Dita pun dalam sekejap bengkak dan merah merona dengan rasa perih-pedih berhari-hari.
Pengakuan langsung Dita bahwa dia telah ditinju oleh Masinton dan disertai dengan foto-foto penganiyaan itu, jelas amat menyedihkan dan memilukan. Itu adalah tindakan memalukan yang melanggar hukum. Boleh-boleh saja Masinton Pasaribu membantah perbuatannya dan membuat alibi bahwa Dita itu mabuk, lalu terantuk, tersenggol, terbogem atau tertindih dan sebagainya. Namun publik ragu dan tidak percaya omongan itu. Bantah-membantah itu umumnya ucapan wajib bagi anggota DPR, pengacara dan para pelanggar hukum. Dita sendiri di media telah membantah bahwa dia mabuk. Siapa benar-siapa salah, pasti akan terungkap. Motif penganiayaan Masinton pasti akan terkuak dan terang-benderang.
Peristiwa pembogeman Dita oleh Masinton Pasaribu itu telah membuat publik geram. Masinton sebagai anggota DPR, elit sebuah partai besar, tentu sangat paham bahwa menganiaya, memukul, membogem seseorang adalah tindakan melanggar hukum. Perbuatan itu juga jelas semakin mencoreng wibawa tipis DPR dan membuat malu para kader PDIP lainnya. Emosi tak terkendali Masinton mengindikasikan bahwa karakter pribadi seorang Masinton sangat labil, mudah terprovokasi, kurang perhitungan dan miskin pengendalian diri.
Sifat-sifat preman Masinton Pasaribu itu jelas tidak dibenarkan sebagai seorang wakil rakyat. Apalagi tindakannya itu tertuju kepada seorang wanita, jelas amat memalukan. Apapun alasannya apakah cinta segitiga, asmara panas, terkait dengan duit atau bocornya rahasia pribadi, aksi kekerasan tetap tidak dibenarkan. Bahkan sebagai seorang anggota DPR, Masinton seharusnya harus cerdas, cerdik dan lihai mengatasi masalah pribadinya dengan orang lain lebih-lebih bagi seorang wanita.
Kekerasan yang telah dilakukan Masinton kepada wanita bernama Dita itu akan menjadi ujian bagi kewanitaan Rieke Pitaloka, Puan Maharani dan Megawati Soekarno Putri. Mengapa? Publik menunggu reaksi Rieke Pitaloka, anggota DPR dari PDIP, mantan ketua Pansus Pelindo II yang separtai dengan Masinton. Selama ini Pitaloka selalu berkoar-koar untuk membela hak-hak wanita, buruh wanita, pembantu rumah tangga dan segala macam hak terkait kewanitaan. Publik menunggu kecaman seorang Diah Pitaloka kepada Masinton dan menunjukkan pembelaan nyata kepada Dita.
Bagi seorang Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, seorang wanita tulen, puteri dari ketua partai, penganiayaan Masinton itu tentu dianggap sebagai tindakan sadis. Namun apakah Puan akan mengecam, mencela dan mendukung upaya penegakan hukum kepada kader Partainya itu? Jika Puan berani mencela perbuatan Masinton itu apalagi mendukung aparat mengusutnya, maka rasa terluka publik tentu sedikit terobati. Pasalnya, Menteri Puan beberapa waktu lalu telah melecehkan masyarakat miskin yang menurutnya harus diet dan tahan lapar agar harga tidak mahal.
Tentu saja hal yang paling ditunggu-tunggu adalah rekasi dari Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri sekaligus sebagai ketua umum PDIP. Apa reaski dari Mega? Apakah dia diam, membisu dan berpura-pura tidak mendengar ulah buruk Masinton itu? Apakah Mega justru akan membela Masinton dan menyebutnya sebagai hal biasa karena Masinton adalah kader terbaiknya di DPR? Publik tentu sangat mengharapkan reaksi keras dari Mega. Sebagai satu-satunya mantan Presiden wanita, sudah sangat layak jika rasa kewanitaan Mega ikut dilecehkan dan dianiaya akibat ulah kadernya itu. Mega seharusnya bisa memposisikan dirinya pada pihak Dita Aditia.
Harapan publik selanjutnya adalah Mega bersama partai Nasdem sama-samai mendukung MKD DPR memproses Masinton dan menghukumnya jika terbukti benar. Mega juga harus mendukung Bareskrim Polri memeriksa Masinton dan rela jika Masinton dipecat dari anggota DPR dan dijadikan sebagai tersangka penganiaya wanita. Jika Diah Pitaloka, Puan dan Mega bereaksi keras atas tindakan memalukan dari Masinton itu, maka publik pun akan menghormati mereka. Namun jika rasa kewanitaan mereka tetap beku, dingin, tak bereaksi, maka publik akan mencap mereka sebagai wanita pelindung aksi preman Masinton.
Jadi, ketika Masinton Pasaribu bertindak di luar daya nalar, mengutamakan otot daripada otak dengan menganiaya seorang wanita, maka rasa kewanitaan Diah Pitaloka, Puan Maharani dan Megawati Soekarno Putri diuji, digelitik kadarnya oleh publik.