Gerakan ‘lawan Ahok’ yang dideklarasikan pada tanggal 22 Agustus 2015 lalu, besar kemungkinan gagal. Alasannya, bentuk-bentuk perlawanan itu terlalu konvensional, rumit, frontal, ambigu dan tidak efisien dan efektif. Apalagi ada gerakan ‘teman Ahok’, itu sudah cukup menetralisir gerakan lawan Ahok itu.
Kalau kita melihat ke belakang, ada beragam cara telah dilakukan dalam melawan Ahok, namun semuanya gagal. Ahok sulit ditembus dan digoyang. Ia berdiri bagai tembok raksasa China. Ahok punya pertahanan kokoh, efisien dan sangat hebat bagaikan tank lapis baja. Serangan-serangan yang datang dari bawah, kiri-kanan, atas dan belakang, semuanya kandas di tangan Ahok.
Saya terus mencermati gerakan-gerakan yang telah dilakukan untuk menjatuhkan Ahok. Mulai dari kekuatan di DPRD DKI Jakarta, mobilisasi kekuatan ormas menakutkan macam FPI, GMJ, pengangkatan isu-isu rasis (ras, suku, agama) seperti aseng-asing, blow up isu pemberian ijin reklamasi pantai Jakarta kepada Agung Padomoro, isu pembelian tanah di Rumah Sakit Sumber Waras, penggiringan opini lewat BPK sampai mobilisasi preman, massa dan buruh. Semua gerakan untuk menjatuhkan Ahok itu, kandas dan buntu.
Padahal sebetulnya ada cara lain yang lebih sederhana untuk menjatuhkan Ahok. Cara ini tidak rumit, tidak butuh biaya dan tidak butuh mobilisasi massa, namun sangat jitu.
Pertama, munculkan tokoh yang lebih hebat daripada Ahok. Ahok sendiri telah berulang kali berkoar-koar dengan mengatakan, “Jika ada gubernur yang lebih pintar dan lebih hebat dari pada saya, saya akan berhenti dari jabatan saya sebagai gubernur DKI Jakarta”. Sangat simpel sekali. Penduduk Jakarta ada 12 juta jiwa dan mayoritas muslim. Di antaranya ada suku Betawi, suku asli Jakarta.
Adalah hal yang aneh jika tidak ada satu pun di antara penduduk 12 juta itu yang mampu menyaingi Ahok. Adalah hal yang irrasional, jika di antara penduduk Jakarta dan kebanyakan mayoritas muslim, tidak ada orang yang lebih hebat integritasnya dari pada Ahok. Juga hal yang tidak bisa dimengerti, jika sekian puluh, mungkin ratusan ribu orang Betawi, tidak ada yang lebih hebat dari pada Ahok? Saya yakin pasti ada.
Masak Ahok menang lawan 12 juta penduduk Jakarta dan tidak ada orang yang lebih hebat atau sekurang-kurangnya sama dengan Ahok dalam kepintaran, integritas, ketegasan, kegigihan dan konsisten? Jawabannya pasti ada. Sekarang saatnya orang-orang yang melawan Ahok atau tidak sepaham dengan dia, munculkan dirimu. Tunjukkan ide-ide cemerlangmu dalam membangun Jakarta. Lawan Ahok dengan ide, bukan dengan otot.
Jika Ahok membuka daftar kekayaannya di depan publik; jika Ahok mengumumkan penghasilannya sebagai gubernur DKI setiap bulan, lakukanlah yang lebih hebat dari itu. Bukalah di hadapan publik daftar kekayaanmu, plus isterimu, anak-anakmu dan sanak familimu. Terlihat lebih hebat kan?
Jika Ahok ngomong tidak pernah korupsi, tidak menilap uang APBD, hanya menggunakan uang operasionalnya saja, lakukan lebih hebat dari itu. Anda umumkan kepada publik bahwa jika anda berhasil jadi Gubernur DKI Jakarta, anda tidak akan menerima gaji 1 Rupiah pun sebagai gubernur DKI Jakarta. Anda hanya butuh biaya operasional yang setiap bulan dibuka di depan publik. Terlihat lebih hebat kan? Jika Ahok selalu naik Land Cruiser setiap kali bepergian, pakailah angkot B01 atau Metromini, Kopaja, Bajaj setiap kali bepergian. Itu lebih hebat kan?
Jika Ahok membenahi DKI Jakarta dengan keras, menggusur tanpa ampun, menerapkan aturan dengan tegas, maka munculkan ide yang lebih hebat. Misalnya membenahi DKI Jakarta dengan lemah-lembut, tanpa kekerasan, cukup senyum atau rayuan plus doa kusuk, niscaya penduduk di bantaran sungai, para PKL dan pedagang liar akan tertib dan pindah sendiri karena perkataan hebat plus doa dan kharisma anda.
Kedua, jangan pilih PDIP dan Ahok pada pemilu 2017. Sangat sederhana. Kita punya pemilu kan? Jika tidak ada orang yang memilih PDIP pada pemilu 2019 dan tidak ada juga yang memilih Ahok pada Pilkada 2017, maka selesailah sudah Ahok. Mengapa PDIP? Karena Ahok sangat dekat dengan Megawati dan PDIP. Hak angket DPRD tidak bisa dilanjutkan ke HMP, karena tidak disetujui oleh PDIP. Akibatnya perlawanan DPRD yang dimotori Lulung dan Taufik, kandas. Jika tidak ada yang memilih PDIP, maka tidak ada partai yang membela Ahok di DPRD. Apalagi kalau tidak ada orang yang memilih Ahok pada Pilkada 2017, maka selesailah sudah Ahok.