Masuknya Rizal Ramli dalam Kabinet Jokowi membuat publik terkejut. Alasannya jelas. Rizal Ramli selama ini, sangat garang terhadap Bank Dunia, IMF, dan ADB. Tiga lembaga keuangan internasional itu dicapnya sebagai agen neo-liberalisme yang telah mencelakakan Indonesia.
Begitu Rizal masuk kabinet, sontak Rupiah dan IHSG merosot. Sosok Ramli yang sangat anti utang, membuat berbagai lembaga keuangan internasional sangat khawatir. Jelas itu indikasi bahwa dukungan dari lembaga-lembaga keuangan internasional kepada Presiden Jokowi makin hilang. Selain itu, ada kekhawatiran pasar bahwa Jokowi akan kesulitan mengendalikan Rizal yang sosoknya kontroversial.
Lihat saja sepak-terjang Rizal. Baru sehari dilantik menjadi menteri, dia sudah memancing kontroversi dan langsung membuka front perseteruan dengan Menteri BUMN Rini Soemarno. Tanpa basa-basi, Rizal langsung menyemprot Menteri Rini agar Garuda Indonesia membatalkan pembelian sejumlah pesawat untuk penerbangan jarak jauh. Proyek ini tidak layak. Menurut Rizal penerbangan jarak jauh Garuda, Jakarta-Amerika dan Jakarta-Eropa tidak laku dan telah menjadi sumber kerugian banyak perusahaan penerbangan termasuk Singapura. Rini diam, tak bisa membalas argument Rizal. Rini hanya membungkam mulut Rizal dengan berkata bahwa proyek Garuda bukan urusan Ramli.
Kontroversi Rizal Ramli juga terus berlanjut. Program Listrik 35 Ribu Mega Watt yang digagas Jokowi dan Jusuf Kalla dan kini menjadi Proyek Menteri Sudirman Said tak ketinggalan disemprot Ramli. Ramli mengatakan bahwa target pengembangan listrik 35 ribu MW itu harus direvisi. Alasannya menurut Ramli adalah target itu tidak realistis karena terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya target itu dipatok dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,6 persen per tahun. Semprotan Rizal itu ditentang ole Menteri ESDM Sudirman Said. Sudirman kukuh tidak akan merevisi target tersebut dan berkelit bahwa target tersebut adalah proyeksi kebutuhan listrik nasional hingga 2019.
Selain Garuda dan Listrik 35 Ribu MW, proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung juga tak ketinggalan disemprot Rizal. Rizal yang menjabat sebagai penasehat ekonomi PBB itu menduga ada kepentingan bisnis pribadi pejabat dalam “perang” proposal pengadaan kereta api cepat yang sedang diperebutkan Jepang dan Cina. Informasi adanya backing dan pejabat yang bermain dalam proyek kereta api cepat itu diperoleh Rizal dari Jokowi.
Akan tetapi meski adanya permainan di balik proyek tersebut, ujar Rizal, pemerintah tidak akan terpengaruh dan tetap akan memilih yang terbaik. Namun, menurut Mantan Menko Perekonomian Sofyan Djalil yang kini menjabat Kepala Bappenas, lamaran Jepang dan Cina sedang dinilai konsultan independen. Ditargetkan nama pemenang sudah keluar akhir Agustus mendatang.
Garangnya Rizal Ramli juga bisa dilihat perseteruannya dengan Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani yang masih penuh kebencian. Rizal pernah menuduh Sri Murlyani sebagai orang yang tidak memiliki nasionalisme sama sekali. Sri Mulyani, katanya di berbagai kesempatan, adalah kaki tangan kapitalis global. Rizal juga giat membangun opini publik bahwa doktor ekonomi lulusan University of Illinois itu sesungguhnya kriminal yang bertanggungjawab dalam ‘skandal’ Bank Century.
Tak hanya Sri mulyani, Partai Demokrat dan bahkan mantan presiden SBY serta keluarganya juga menjadi sasaran tembak Rizal dan kawan-kawan. Mereka seolah menerima aliran dana haram dari Bank Century. Ketika itu mereka tampak sangat kompak dengan Golkar dan PKS, yang juga sangat rajin menggempur pemerintah meski keduanya bagian dari koalisi.
Rizal Ramli juga gencar menyerang neo liberalisme, dan menawarkan ‘ekonomi kerakyatan’ sebagai konsep terbaik bagi pembangunan Indonesia. Sayang sampai sekarang tak jelas, apakah konsep tersebut sesungguhnya nama baru dari sosialisme atau bukan. Atau proteksionisme ala Soeharto, yang membatasi jumlah pemain dalam perekonomian nasional dengan alasan untuk menumbuhkan industri dalam negeri.
Terlepas dari hal tersebut, yang pasti pemerintah sekarang sedang butuh banyak uang untuk merealisasikan program-program pembangunannya. Sebuah kenyataan yang memaksa pemerintah berulang kali menerbitkan surat utang meski baru 8 bulan berkuasa. Demikian besarnya nafsu berutang tersebut, bila digabung dengan swasta, kini sekitar 56,8% dari nilai total ekspor Indonesia per tahun dipakai untuk mencicil utang!
Sebelum menjadi menteri, Rizal berulang kali menyatakan, menutup kekurangan dana APBN dengan berutang adalah perbuatan bodoh. “Semua orang bisa,” katanya. Berutang kepada lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia dan IMF, menurutnya, juga konyol. Lembaga-lembaga tersebut, katanya, selalu mengajukan berbagai persyaratan yang akhirnya hanya menguntungkan mereka sendiri.